Penyakit sangat menular dan berbahaya seperti PMK (Penyakit Mulut dan Kuku) kini mengancam Indonesia. Indikasi ini sudah muncul dengan menyerang peternakan babi milik Usep di Gunung Sindur, Bogor, Jawa Barat.
Sebelumnya juga ditemukan kasus penyakit hewan menular pada babi di Kota Tangerang dan di Rumah Potong Hewan (RPH) Kapuk, milik PD Dharma Jaya.
“Gejala klinis babi yang terserang penyakit menular ini mirip dengan PMK, seperti erosi, lepuh-lepuh pada moncong dan kaki, kuku lepas,” kata Ketua Dewan Daging Nasional (DGN), Suhadji, kepada Agro Indonesia, pekan lalu.
Meskipun gejala penyakit yang menyerang ternak babi itu mirip dengan PMK, namun mantan Dirjen Peternakan ini tidak berani menyimpulkan bahwa itu adalah PMK. “Saya tidak punya kapasitas untuk menyatakan apakah itu PMK atau bukan. Harus instansi yang berwewenang, yaitu Kementerian Pertanian,” tegasnya.
Dia menyebutkan, setidaknya ada tiga hal yang perlu diperhatikan dalam kasus penyakit menular, yaitu tanda-tanda klinis, penularan ke hewan lain dan hasil tes laboratorium.
“Tanda klinis terhadap kasus babi yang mati di RPH Kapuk dan Gunung Sindur memang ada, tetapi tanda-tanda penyebaran belum ada. Saya sendiri tidak tahu apakah kasus ini sudah diuji di laboratorium apa belum,” katanya.
Kekhawatiran berawal dari munculnya PMK berawal pada bulan Agustus-September 2015, ditemukan kasus penyakit hewan menular pada babi di Kota Tangerang dan RPH Kapuk DKI Jakarta.
Setelah dilakukan rapat konsolidasi diambil tindakan pengendalian secara silent, tidak membuat gaduh, babi yang sakit dipotong, babi yang lain dipotong bersyarat di lokasi kandang sampai dengan berat potong yang tercapai, RPH ditutup dan pengawasan lalu lintas hewan diperketat.
Kemudian drh Supriyanto dan drh Nani Hendrayani dari Balai Pengujian dan Penyidikan Penyakit Hewan dan Kesmavet (BP3HK) tanggal 22 Oktober 2015 melakukan investigasi di Gunung Sindur, Bogor, Jawa Barat ditemukan 23 ekor babi milik Usep sakit dengan rincian 8 ekor indukan, 14 ekor babi muda, 1 ekor anak. Populasi yang dimilik Usep 95 ekor.
Investigasi lanjutan yang di lakukan drh Arif Hidayat Kabid Keswan Dinas Peternakan Provinsi Jawa Barat, dan dari dinas Kabupaten Bogor diwakili drh, Arne dan drh Guruh, dari Direktorat Kesehatan Hewan, Ditjen Peternakan Syahroni, Yunasri dan Martha. Sedangkan dari Balai Veteriner Subang drh Sodirun.
Hasil investigasi lanjutan ini menemukan peterakan (farm) sekitar Usep ada 2 unit, yaitu milik dadang dengan 52 ekor dan Ade 63 ekor, angka kesakitan (morbiditas) 100%. Tindakan yang diambil adalah pemusnahan sebanyak 5 ekor babi yang paling parah milik Usep. Pemusnahan ini tanpa biaya pengganti.
Menurut Suhadji, tindakan yang diambil sudah tepat, namun untuk memastikan jenis penyakit menular tersebut, maka sampel yang sudah diambil harus diuji pada laboratorium yang sudah terakreditasi.
Dirjen Peternakan dan Kesehatan Hewan Muladno, ketika dikonfirmasikan masalah penyakit menular yang menyerang babi di RPH Kapuk dan Gunung Sindur tidak mau memberi komentar.
Muladno justru meminta Agro Indonesia bertanya kepada Direktur Kesehatan Hewan, Ketut Diarmita. Anehnya, Ketut Diarmita baru akan memberikan penjelasan kalau sudah ketemu. “Saya akan jelaskan saat kita ketemu nanti,” katanya via pesan singkat.
Hati-hati
Munculnya penyakit yang melanda ternak babi ini menjadi penting mengingat belakangan pemerintah membuat kebijakan akan mengimpor ternak dari negara yang belum bebas penyakit ternak berbahaya dan masuk dalam daftar A OIE (Organisasi Kesehatan Hewan Internasional).
Itu sebanya, pengamat peternakan, yang juga mantan Dirjen Peternakan Sofjan Sudradjat, mendesak pemerintah berhati-hati membuka impor dari negara yang belum bebas PMK. “Kasus penyakit yang menyerang ternak babi belum lama ini merupakan peringatan bagi pemerintah,” katanya pada Agro Indonesia, pekan lalu.
Tetapi kalau pemerintah tetap membuka impor dari daerah (zona) yang bebas, tapi secara negara (country) belum bebas PMK, maka kasus yang terjadi akhir tahun itu merupakan azab. “Bisa saja jadi azab dari Allah karena manusia tidak mau diingatkan,” tegasnya.
Sebagai mantan pejabat, Sofjan berkali-kali mengingatkan pemerintah — terutama Kementan — agar tidak main-main dengan impor produk ternak dari negara yang belum bebas PMK.
PMK adalah penyakit yang disebabkan virus bersifat akut, sangat menular dan menginfeksi hewan berkuku genap seperti sapi, kerbau, kambing, domba dan babi.
Virus PMK di Indonesia adalah serotipe O, sedangkan di negara lain, misalnya Brasil, serotipe O, A dan C. Penularan PMK di Indonesia pertama kali terjadi pada sapi perah di Malang tahun 1887, kemudian menyebar keseluruh Jawa dan Luar Jawa.
Muncul kembali di Bali tahun 1973 dan tahun 1983 di Blora, Jawa Tengah. Penularan PMK bisa melalui berbagai cara seperti kontak langsung dengan hewan sakit, kontak dengan bahan tercemar virus (air, tanah, pakan dan peralatan), udara yang mengikuti arah angin dan pelaksanaan inseminasi buatan.
Sofjan mengatakan, serangan PMK menimbulkan kerugian ekonomi nasional yang sangat besar akibat penurunan produksi ternak, pemusnahan hewan dan terganggunya perdagangan hewan.
Kerugian akibat PMK diperkirakan sebesar 1,65 miliar dolar AS atau sekitar Rp16,6 triliun. Inggris harus mengleuarkan biaya pengendalian PMK (2001) mencapai 9,2 miliar dolar AS atau Rp92 triliun. “Untuk membebaskan PMK, kita butuh waktu 100 tahun,” katanya.
Mirip PMK
Menanggapi kasus ternak babi yang mati di RPH Kapuk dan Gunung Sindur, Sofjan mengatakan gejala yang muncul mirip dengan PMK. Meski demikian, dia meyakini penyakit itu bukan PMK.
“Kalau PMK satu atau dua minggu setelah kejadian itu, maka ternak disekitarnya sudah terserang. Tapi sampai sekarang ternak di sekitarnya tidak terkena. Ini berarti bukan PMK,” tegasnya.
Meskipun demikian, kata Sofjan, perkembangan penyakit menular pada ternak semestinya dilaporkan kepada Organisasi Kesehatan Hewan Dunia (OIE). Dia menyebutkan ada tiga jenis penyakit yang mirip PMK dan masuk daftar daftar A OIE.
Ketiga jenis penyakit itu pertama adalah PMK (Foot and Mouth Disease) yang menyerang hewan kuku genap dan babi, termasuk penyakit zoonosis.
Kedua, jenis penyakit Visicular Stomastitis, hewan yang diserang juga berkuku genap, babi jenis equide dan juga zoonosis. Ketiga, jenis penyakit Swine Vesicular Disease (SWD) yang menyerang khusus babi, tapi zoonosis.
“Saya berkesimpulan, penyakit yang menyerang ternak babi di RPH Kapuk dan Gunung Sindur itu adalah jenis yang ketiga (SWD), karena ternak disekitar kejadian tidak terjangkit,” tegasnya.
Namun demikian, untuk memastikan penyakitnya, maka perlu diuji dilaboratorium. Ada tiga laboratorium untuk pengujian PMK, yaitu laboratorium Perbright di Inggris, Laboratorium Lyon di Prancis dan Laboratorium Paechong di Thailand.
Sofyan kembali mengingatkan pemerintah, daripada membuka peluang masuknya wabah PMK, lebih baik membenahi tataniaga daging di dalam negeri yang selama ini menyebabkan harga daging sapi tinggi.
“Prinsipnya negara harus menolak untuk membuka impor dari negara-negara yang belum bebas PMK karena berbahaya bagi peternak lokal. Nilai kerugian ekonominya triliunan rupiah dan butuh waktu panjang untuk membasminya,” katanya. Jamalzen
Batalkan Rencana Impor dari Negara tak Bebas PMK
Sementara itu, Ketua Perhimpunan Peternak Sapi dan Kerbau Indonesia (PPSKI) Teguh Boediyana mengatakan, sampai sekarang belum ada laporan sapi dan kerbau yang kena penyakit menular. “Sampai sekarang belum ada laporan sapi atau kerbau yang terkena. Kita bersyukur karena ada pencegahan sebelum terjadi penyebaran,” katanya.
Dia mengaku punya data tentang ternak babi yang mati, baik di RPH Kapuk maupun di Gunung Sindur. Namun, dia tidak berani mengatakan apakah itu penyakit PMK atau bukan. “Saya bukan dokter hewan. Sebaiknya ditanya pada instansi pemerintah yang berwewenang,” tegasnya.
Teguh mengatakan, Peraturan Pemerintah (PP) untuk memasukan hewan dan produk hewan dari zona sudah selesai, sementara uji materi di Mahkamah Konstitusi (MK) terhadap UU 41 Tahun 2014 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan (PKH) belum selesai.
PPSKI minta pemerintah membatalkan rencana untuk pembukaan impor ternak dan produk ternak dari suatu zona dalam suatu negara karena dapat menimbulkan risiko mewabahnya PMK di dalam negeri.
Meskipun proses judicial review di MK belum tuntas, pemerintah lewat paket kebijakan ekonomi IX pemerintah akan menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) mengenai pemasukan ternak dan produk ternak dari zona tertentu salam suatu negara.
Data Organisasi Kesehatan Hewan Dunia mencatat, Indonesia telah ditetapkan kembali sebagai negara bebas PMK pada 1990. Untuk mendapatkan status bebas butuh waktu lebih dari dari 100 tahun.
“Kita sempat terjangkit PMK pada 1887 karena mengimpor sapi dari India,” katanya. Teguh menambahkan, dari perhitungannya yang diserahkan pada MK sebagai saksi ahli dalam sidang uji materi, kerugian pada tahun pertama kalau Indonesia terjangkit PMK mencapai Rp14 triliun. Jamalzen