Harga daging sapi yang terus tinggi akhirnya disikapi pemerintah dengan terobosan baru. Melalui paket ekonomi jilid IX yang dikeluarkan akhir Januari 2016, pemerintah akan mengubah aturan impor ternak maupun produk hewan yang tak lagi memakai basis negara, melainkan zonasi.
Dengan menggunakan basis zonasi, Indonesia tidak bergantung lagi pada pasokan daging impor dari Australia dan Selandia Baru — dua negara yang selama ini menjadi pemasok ketika Indonesia menggunakan basis negara. Indonesia bisa mengimpor daging dan hewan sapi dari negara-negara lain, yang wilayahnya ada yang tak terkena wabah penyakit mulut dan kuku (PMK).
Salah satu negara yang bisa dijadikan andalan dalam memasok daging dan hewan dengan basis zonasi itu adalah India.
“Akan disiapkan Peraturan Pemerintah (PP) untuk memperluas kemungkinan pemasukan ternak atau daging ke dalam negeri,” kata Menko Bidang Perekonomian, Darmin Nasution ketika memberikan penjelasan tentang rencana pemerintah menggunakan basis zona dalam kegiatan impor daging dan hewan sapi atau kerbau.
Darmin menjelaskan, melalui penentuan impor secara zonasi, maka bisa saja memasok ternak maupun produk hewan zona tertentu di suatu negara yang dianggap belum bebas dari penyakit berbahaya bagi ternak.
“Mungkin secara negara dianggap tidak bebas penyakit tertentu yang membahayakan, tapi bisa saja ada satu zona dari negara itu yang bebas, terutama di negara yang besar. Tapi kalau negara kecil tidak bisa juga (gunakan zonasi),” paparnya.
Dia juga menyebut beberapa negara yang bisa menjadi sumber pasokan ternak, antara lain India, Australia dan Selandia Baru. “Misalnya India. Kita bisa memasok ternak dari daerah itu, yang tadinya kita hanya terbatas betul. (Lokasinya) juga tidak terlalu jauh dari Australia dan Selandia Baru. Sekarang bisa yang lain,” ujar Darmin.
Berdasarkan UU No.41 Tahun 2014 tentang Perubahan atas UU No. 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan, Indonesia memang mengubah impor ternak tidak lagi ketat menerapkan sistem country-based, tapi membolehkan zona-based. Artinya, jika di suatu negara masih terjangkit penyakit hewan menular berbahaya seperti PMK, tapi ada satu zona bebas dari wabah tersebut, maka ternak atau produk ternak dari zona itu boleh diimpor.
Nah, sesuai pasal 36C, ternak ruminansia indukan dapat diimpor dari negara atau zona dalam suatu negara. Hanya saja, dalam pasal 36D, ternak ruminansia indukan yang berasal dari zona harus ditempatkan di pulau karantina dalam jangka waktu tertentu.
Hebatnya, UU 41/2014 ini, terutama pasal 36E, juga menyebut bahwa dalam hal tertentu dibolehkan impor dari zona suatu negara untuk produk ternak (daging, misalnya). Apa yang dimaksud dengan “dalam hal tertentu”? Ini yang menarik. Dalam penjelasan disebutkan “keadaan mendesak, antara lain, akibat bencana, saat masyarakat membutuhkan pasokan ternak dan/atau produk ternak.”
Zonasi
Nampaknya, pasal 36E ini akan diterapkan oleh pemerintah terkait paket kebijakan ekonomi IX. Seperti diketahui, harga daging sapi di dalam negeri sejak beberapa bulan lalu terus berada dalam posisi tinggi. Bahkan, pada akhir Januari lalu, harga daging sapi di pasar becek di Jabodetabek sempat menyentuh Rp140.000/kg. Setelah keluarnya kebijakan paket ekonomi jilid IX, harga daging sapi mulai turun dan pekan lalu harga komoditas itu di Jabodetabek telah turun menjadi sekitar Rp125.000/kg.
Walaupun sudah menurun, namun harga daging sapi masih dinilai terlalu tinggi. Apalagi, jika dibandingkan dengan keinginan Presiden Jokowi agar harga daging sapi di pasaran hanya sebesar Rp70.000/kg.
Berbagai upaya telah dilakukan pemerintah untuk menurunkan harga daging, seperti meluncurkan kapal khusus ternak yang mengangkut sapi hidup dari Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) ke Jakarta. Namun, tetap saja upaya ini belum menuai hasil yang memuaskan.
Salah satu pemicu tingginya harga daging sapi di dalam negeri adalah terus meningkatnya kebutuhan daging sapi dari tahun ke tahun. Pada 2016, misalnya. Kebutuhan daging nasional selama setahun diperkirakan mencapai 674,69 ribu ton atau setara dengan 3,9 juta ekor sapi.
Sayangnya, kebutuhan tersebut belum dapat dipenuhi oleh peternak dalam negeri. Produksi sapi di dalam negeri hanya mencapai 439,53 ribu ton/tahun atau setara dengan 2,5 juta ekor sapi. Dengan begitu, masih terdapat kekurangan pasokan 235,16 ribu ton daging yang harus dipenuhi melalui impor dari Australia dan Selandia Baru.
Tingginya ketergantungan impor daging sapi diakui oleh Menteri Perdagangan Thomas Lembong. “Indonesia memiliki ketergantungan yang tinggi pada daging impor dari Australia dan Selandia Baru. Karenanya, aturan baru soal diperluasnya zona impor diharapkan dapat mengurangi ketergantungan tersebut,” katanya.
Menurutnya, aturan baru soal daging impor diyakini dapat menciptakan kompetisi di antara para importir. Dengan begitu, diharapkan harga daging yang ditawarkan pun dapat lebih kompetitif.
Menunggu PP
Walaupun kebijakan penerapan basis zonasi dimungkinkan secara UU dan telah ditetapkan pemerintah, namun implementasi dari kebijakan tersebut belum bisa dilakukan dalam waktu dekat ini. Hal itu diseabkan proses penerbitan aturan turunan yang akan menjadi landasan hukum bagi kegiatan impor daging dan hewan sapi atau kerbau dengan menggunakan basis zonasi.
“Impor daging dari India belum bisa dilakukan dalam waktu cepat karena belum adanya aturan yang menjadi landasan hukum bagi kegiatan impor dengan basis zonasi,” kata Ishana Mahisa, Ketua Umum Asosiasi Industri Pengolah Daging (NAMPA) di Jakarta, akhir pekan lalu.
Menurutnya, saat ini pemerintah masih menggodok Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) — sebagai turunan dari UU No.41/2014 — untuk mensahkan impor daging dan hewan sapi dengan basis zonasi. “Sayangnya sampai saat ini RPP-nya baru diajukan ke kantor Menko Perekonomian,” papar Ishana.
Kalaupun RPP sudah diubah menjadi PP, ungkapnya, masih diperlukan sinkronisasi lagi berupa perubahan aturan-aturan di tingkat kementerian, seperti peraturan yang ada di Kementerian Pertanian (Kementan).
Saat ini, Kementan mencatat ada 31 negara alternatif impor sapi yang telah dinyatakan bebas penyakit mulut dan kuku (PMK) dan bebas penyakit sapi gila oleh Organisasi Kesehatan Hewan Dunia (Office International des Epizooties/OIE).
Ishana sendiri mengaku kebijakan pembukaan impor daging dan hewan sapi atau kerbau dengan menggunaan basis zonasi akan membantu pemerintah dalam menurunkan harga daging sapi di pasaran.
“Dengan adanya pasokan daging dari India, maka masyarakat mendapat pilihan untuk mendapatkan kebutuhan daging. Dengan adanya pilihan, tentunya akan membantu penurunan harga,” tuturnya.
Dia juga menyatakan, masyarakat tak perlu khawatir dengan daging impor dari India nantinya, karana kegiatan impor akan dilakukan melalui proses yang ketat yang tidak memungkinkan masuknya wabah PMK ke Indonesia.
India sendiri, ungkapnya, telah mengekspor daging ke 84 negara, termasuk ke Amerika Serikat — negara yang terkenal ketat dalam menerima pasokan komoditas pangan dari negara lain.
Sementara itu, sumber Agro Indonesia di Kementerian Perdagangan (Kemendag) menyebutkan, kegiatan impor daging dari India nantinya akan diberikan kepada Badan Usaha Milik Negara (BUMN). “Kemungkinan izin impor itu hanya diberikan kepada BUMN,” ujar sang sumber yang tak mau disebut namanya.
Jika mengacu kepada kebijakan selama ini, pemerintah diperkirakan akan memberikan tugas kepada Perum Bulog untuk melakukan kegiatan impor daging dari India.
Namun, Direktur Komersial Perum Bulog, Fajri Sentosa mengaku pihaknya belum mendapatkan tugas atau ditunjuk pemerintah untuk melakukan kegiatan impor daging dari India. “Hingga saat ini belum ada penunjukan kepada kami dari pemerintah untuk bersiap mengimpor daging dari India. Kita tunggu saja perkembangannya,” kata Fajri kepada Agro Indonesia.
Dia mengaku, Perum Bulog siap untuk melakukan kegiatan impor daging dari India jika pemerintah benar-benar memberikan tugas tersebut kepada lembaga itu. “Kami sangat siap untuk melakukan tugas itu,” ucapnya.
Sebelumnya, untuk mengatasi minimnya pasokan daging dan hewan sapi serta upaya stabilisasi harga, pemerintah telah memberikan tugas kepada Perum Bulog untuk mengimpor daging dan hewan sapi dari Australia.
Daging dan hewan sapi yang diimpor Perum Bulog itu kemudian dijual kepada masyarakat melalui operasi pasar dengan harga yang jauh lebih murah dari harga di pasaran. B Wibowo