Era globalisasi saat ini terus menyapu dunia. Melalui era itu, sekat-sekat yang selam aini menjadi pembatas atau pembatas kegiatan anusia antar bangsa dan negara, terutama di bidang ekonomi, mulai rontok. Hal ini ditandai dengan banyaknya perjanjian bersifat unilateral ataupun multilateral antar negara yang memudahkan masuknya produk suatu negara ke negara lainnya.
Selain perjanjian yang sifatnya antar negara atau kawasan, negara-negara di dunia juga terikat dalam perjanjian ekonomi yang lebih luas lagi, yakni perjanjian atau kesepakatan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO).
Melalui perjanjian WTO itu, diaturlah persyaratan-persyaratan bagi tindakan yang bisa dilakukan suatu negara dalam melakukan kegiatan ekonomi dalam tatanan dunia.
Namun, dalam prakteknya, masih ada saja negara yang berusaha menerapkan kebijakan yang tidak sesuai dengan kesepakatan yang berlaku, baik dalam perjanjian dalam lingkup kawasan maupun dalam lingkup dunia.
Kebijakan yang dilakukan sejumlah negara itu dilakukan demi memproteksi produk dalam negerinya dari serbuan produk asing. Berbagai hambatan pun diterapkan.
Seperti kebijakan yang akan diterapkan Perancis dengan memberlakukan pajak progresif terhadap produk kelapa sawit dan turunannya asal Indonesia dan Malaysia.
Sebenarnya, upaya untuk menghalau masuknya produk minyak kelapa sawit ke Eropa telah berulang kali dilakukan. Pada November 2012, Perancis juga pernah mengajukan pajak Nutella untuk produk-produk yang mengandung minyak kelapa sawit. Waktu itu bahkan pajak yang diminta 300 %. Tapi pada 2013, senat Prancis menolak pajak tersebut.
Kini ide pengenaan pajak untuk produk-produk minyak kelapa sawit oleh negara Perancis muncul lagi setelah pada 21 Januari lalu, senat Prancis juga memutuskan adanya rancangan undang-undang tentang keanekaragaman hayati yang salah satu isinya menerapkan pajak progresif untuk minyak kelapa sawit
Jika diterapkan, tentunya kebijakan itu memiliki preseden buruk karena bisa mempengaruhi pasar di seluruh Uni Eropa. Indonesia sebagai produsen utama kelapa sawit dan turunannya, tentunya akan menjadi pihak yang paling dirugikan jika kebijakan tersebut benar-benar diterapkan.
Sebagai negara yang menjadi angota dari WTO, sudah sepantasnya Indonesia memprotes rencana yang akan diterapkan Peranics itu. Dasarnya adalah peraturan WTO yang tidak memperbolehkan dilakukannya hambatan terlalu keras terhadap produk asing.
Namun, sebagai negara sahabat, penyelesaian masalah itu bisa dilakukan melalui pendekatan kedua negara terlebih dulu. Jika pendekatan antar negara tidak bisa menyelesaikan masalah tersebut, Indonesia dapat membawanya ke WTO.
Kebijakan yang akan diambil Perancis soal kelapa sawit juga bisa menjadikan pelajaran kepada kita bahwa kampanye hitam yang dilakukan terhadap produk kelapa sawit Indonesia selama ini bukanlah terkait dengan masalah ekosistem atau lingkungan semata. Upaya proteksi terhadap produk dalam negeri lebih kental nuansanya dalam kegiatan kampanye hitam terhadap produk kelapa sawit.