Bukti Pemerintah Semaunya Buat Aturan

Asosiasi Pengusaha Importir Daging Indonesia (Aspidi) menyelesalkan kesalahan yang dilakukan Kementerian Pertanian (Kementan) terkait dengan penerbitan Permentan No 42/Permentan/PP.040/7/2015 tentang Pemasukan Sapi Bakalan, Sapi Indukan, dan Sapi Siap Potong ke wilayah RI. Apalagi, kesalahan itu sampai melanggar Undang-undang No. 41 Tahun 2014 tentang perubahan atas UU No. 18/2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan.

Dengan adanya Permentan tersebut, Perum Bulog mendapat izin impor sapi siap potong sebanyak 50.000 ekor. Dari jumlah yang diizinkan, kini sudah terealisasi masuk ke Indonesia sekitar 7.800 ekor.

“Itu kesalahan Mentan. Ini juga sebagai bukti bahwa pemerintah semaunya saja membuat aturan. Ini kesalahan fatal,” kata Direktur Eksekutif Aspidi, Thomas Sembiring kepada Agro Indonesia. Permentan yang dimaksud adalah Permentan No.42/Permentan/PP.040/7/2015 tentang Pemasukan Sapi Bakalan, Sapi Indukan, dan Sapi Siap Potong ke wilayah RI.

Berdasarkan Pasal 28 ayat 1 Permentan 42/2015 disebutkan, dalam rangka stabilisasi pasokan dapat dimasukkan sapi siap potong oleh pelaku usaha maupun Badan Usaha Milik Negara (BUMN).

Padahal, pada UU 41/2014 dengan tegas disebutkan pada pasal 36B ayat 1 dan 2 bahwa pemasukan ternak dari luar negeri ke wilayah RI dilakukan apabila produksi dan pasokan ternak di dalam negeri belum mencukupi konsumsi masyarakat, dan ternak yang diimpor harus merupakan sapi bakalan.

“UU No.41 tersebut jelas mengatur yang diimpor sapi bakalan, bukan sapi siap potong,” katanya. Thomas menambahkan, jika sapi bakalan yang diimpor, maka ada nilai tambah yang bisa diberikan kepada peternak penggemukan (feedloter).

Beda dengan sapi siap potong, setelah melalui proses karantina, maka sapi itu mestinya langsung dipotong tanpa melalui proses penggemukan lagi. Dengan demikian, peternak tidak mendapatkan nilai tambah.

Akibat swasembada

Thomas mengatakan, masalah daging sapi dalam lima tahun terakhir ini selalu bergejolak. Semua ini, kata Thomas, berawal dari keinginan pemerintah mencapai target swasembada daging.

Untuk swasembada itu, impor daging pun dikurangi. Celakanya, pemerintah menganggap daging lokal mencukupi kebutuhan nasional, sehingga impor daging tidak boleh lebih dari 10% per tahun. “Jika pemerintah tidak memaksakan diri untuk swasembada daging, maka masalah daging sapi dapat diselesaikan,” tegasnya.

Menurut dia, populasi ternak sapi potong nasional belum mencukupi untuk berswasembada daging, karena itu mestinya pemerintah harus menghitung ulang, populasi ternak sapi nasional dan menghitung kebutuhan konsumsi daging nasional masyarakat per kapita per tahun.

Aspidi mempertanyakan data konsumsi daging nasional tahun 2015 hanya 454.000 ton. Data kebutuhan daging ini sama dengan kebutuhan daging nasional 20 tahun lalu. “Tahun 90-an kebutuhan daging nasional tercatat 451.000 ton, sekarang kebutuhan daging hanya 454.000 ton. Jadi, dalam waktu 20 tahun, konsumsi daging hanya naik 3.000 ton,” katanya.

Thomas menilai, data kebutuhan daging tahun ini sebanyak 454.000 ton adalah tidak benar dan dinilai pembohongan publik. Asosiasi Produsen Daging dan Feedlot Indonesia (Apfindo) bersama dengan Universitas Gadja Mada menghitung kebutuhan daging nasional tahun ini sebanyak 650.000 ton.

Hal ini hampir sama dengan hitungan kebutuhan daging nasional yang dilakukan Kementerian Perdagangan dan Universitas Indonesia yang juga mencatat sekitar 650.000 ton.

Di sisi lain, lanjut Thomas, data Ditjen Peternakan dan Kesehatan Hewan mencatat pertumbuhan produksi daging tahun 2016-2019 rata-rata 40.000 ton/tahun. ”Ini memberikan kesan seakan-akan Indonesia bisa mencapai swasembada daging. Padahal, Suswono, Menteri Pertanian 2009-2014, mengakui swasembada daging gagal,” katanya.

Butuh strategi impor

Direktur Eksekutif Apfindo, Johny Liano mengatakan, sejarah impor sapi bakalan itu dimaksudkan untuk mendukung swasembada dan impor daging sebagai penyambung.

“Tapi sekarang, saya tidak tahu kenapa ada impor sapi siap potong. Dulu, tahun 2013, kita pernah impor sapi siap potong. Tapi waktu itu masih UU Peternakan dan Kesehatan Hewan No.18/2009. Jadi, tidak menyalahi aturan,” katanya,

Joni mengatakan, Indonesia tahun ini masih akan impor sapi potong sebanyak 860.655 ekor dan sampai tahun 2024 impor  diperkirakan mencapai 2,6 juta ekor.

Dia mengatakan, mengurangi selisih antara ketersediaan dan konsumsi daging yang semakin besar setiap tahunnya, maka diperlukan strategi impor sapi betina produktif, tiga-lima tahun ke depan, di samping impor bakalan, daging dan offal.

“Untuk itu, diperlukan regulasi untuk kuota betina produktif. Kami punya skenario, kalau tidak impor bagaimana dan kalau impor juga bagaimana,” katanya kepada Agro Indonesia, di Jakarta pekan lalu.

Menurut dia, ada beberapa skenario yang bisa dilakukan pemerintah dalam melakukan impor untuk pengembangan peternakan dalam negeri.

Sebagai contoh, jika pemerintah menggunakan skenario kuota impor sapi betina produktif 500.000 ekor/tahun yang dimulai tahun 2015 selama lima tahun, maka akan menurunkan angka kekurangan sapi dari 1,5 juta ekor dan pada tahun 2017 menjadi hanya 410.000 ekor. “Tahun 2018 kita akan surplus sapi 194.000 ekor dan tahun 2024 surplus kita bisa mencapai 777.000 ekor,” tegasnya.

Lebih lanjut Johny mengatakan, untuk memenuhi kekurangan sapi siap potong, maka sebelum tahun 2018 dapat dilakukan dengan import sapi bakalan, di samping impor sapi induk. “Sistem industri sapi potong harus terintegrasi dari hulu (on-farm) dan hilir (off-farm) dalam satu holding company,” katanya. Jamalzen

Komisi IV: Permentan Langgar UU Peternakan

Permentan No.42/Permentan/PP.040/7/2015 tentang Pemasukan Sapi Bakalan, Sapi Indukan, dan Sapi Siap Potong ke wilayah RI ini yang disahkan 29 Juli 2015, dalam waktu yang sangat singkat terpaksa direvisi karena melanggar UU Peternakan dan Kesehatan Hewan.

Wakil Ketua Komisi IV DPR, Herman Khaeron mengaku, anggota dewan minta kepada pemerintah untuk segera mengubah aturan tersebut, karena bertentangan dengan UU No.41 Tahun 2014 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan.

“Komisi IV minta Menteri Pertanian mengubah Permentan tersebut. Permentan tersebut harus diselaraskan dengan UU di atasnya, kan Permentan itu di bawah UU posisinya,” jelas Herman.

Herman menunjuk Pasal 28 ayat 1 Permentan 42/2015 yang menyebutkan dalam rangka stabilisasi pasokan, dapat dimasukkan sapi siap potong oleh pelaku usaha maupun Badan Usaha Milik Negara (BUMN).

Padahal, pasal 36B ayat 1 dan 2 UU No.41/2014 menyebutkan, pemasukan ternak dari luar negeri ke wilayah RI dilakukan apabila produksi dan pasokan ternak di dalam negeri belum mencukupi konsumsi masyarakat dan ternak yang diimpor harus merupakan sapi bakalan.

Menurut dia, banyak anggota Komisi IV DPR yang menggugat keputusan pemerintah yang meminta Bulog mengimpor sapi siap potong. Pertimbangannya antara lain kemampuan Bulog, baik dari sisi dana maupun dari sisi infrastruktur. Bulog dinilai tidak memiliki kandang yang memadai untuk menampung hingga 50.000 ekor sapi siap potong.

Herman mengatakan, tugas dewan salah satunya melakukan pengawasan. Karena itu, ketika Permentan No.42 kedapatan melanggar, Komisi IV minta Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman segera melakukan revisi.

“Permentan No 42 itu sudah direvisi. Jadi, kami tidak perlu meneruskan hal ini. Kecuali kalau Mentan sudah diingatkan tapi masih tidak menjalankannya. Kalau begini, bisa saja kami memberi surat teguran,” katanya.

Menyinggung sapi siap potong yang sudah masuk ke Indonesia sebanyak 7.800 ekor yang dilakukan Bulog, Herman mengatakan agar Bulog tidak melakukan pemotongan, tapi harus dibesarkan dalam jangka waktu tertentu.

“Mestinya sapi yang sudah terlanjur masuk ke Indonesia harus digemukan terlebih dahulu. Kita minta kepada Bulog agar sapi yang sudah masuk ke tanah air harus digemukkan terlebih dahulu, sehingga peternak mendapat nilai tambah dari penggemukan itu,” ungkapnya. Jamalzen