CPO pun Kena Getah Perang Dagang AS-China

Kelapa Sawit (pixabay.com)

Pemerintah Indonesia terus melakukan lobi-lobi kepada Amerika Serikat guna menghindari dicabutnya fasilitas GSP terhadap produk-produk asal Indonesia yang masuk ke negeri Paman Sam itu.

“Indonesia telah menyampaikan submisi ke USTR terkait produk-produk ekspor Indonesia yg di-review tersebut pada bulan April 2018 agar tetap masuk dalam fasilitas GSP AS,” kata Direktur Ekspor Produk Pertanian dan Kehutanan Kementerian Perdagangan, Tuti Prahastuti kepada Agro Indonesia, Jumat (13/7/2018).

Selain itu, berbagai upaya perbaikan di dalam negeri dan luar negeri untuk memperbaiki iklim perdagangan dan investasi juga telah disampaikan pada pertemuan bilateral TIFA RI-AS ke-17 (Mei 2018) di Jakarta, katanya.

“Pada bulan Juni 2018 juga telah dilakukan Public Hearing GSP Product Review dan Public Hearing  GSP Country Practice Review. Proses kegiatan ini masih berjalan hingga saat ini,” paparnya.

Tuti mengakui,  sejumlah produk Indonesia berpotensi tidak mendapatkan fasilitas GSP  bila mengacu pada tindakan USTR yang mengumumkan hasil Annual Review GSP 2017/2018 melalui Federal Register Vol.83, No.65 tanggal 4 April 2018. Dalam ketentuan tersebut tercakup produk pertanian dan perkebunan yang terdapat dalam kelompok produk dipertimbangkan mendapatkan fasilitas GSP kembali (redesignation), antara lain: Tobacco; Plywood, veneered panels and similar laminated wood, of bamboo; Plywood sheets n/o 6mm thick; dan Assembles flooring panels of bamboo.

Padahal, pada tahun 2017, Indonesia merupakan negara penerima fasilitas GSP terbesar ke-4 setelah India, Thailand, dan Brasil dengan total ekspor produk Indonesia ke AS (sebanyak 3.544 produk) yang memanfaatkan GSP sebesar 1,95 miliar dolar AS atau 9,6% dari total keseluruhan ekspor ke AS (sumber US ITC).

Adapun lima  produk utama Indonesia yang memanfaatkan GSP adalah  Jewellery (182,4 juta dolar AS), ban (164,8 juta dolar AS), insulated wire (118,7 juta dolar AS), industrial monocarboxylic fatty acid (91,4 juta dolar AS) dan alat musik sebesar 86,7 juta dolar AS.

Diundang ke AS

Upaya lobi-lobi yang dilakukan pemerintah guna mencegah dihapusnya fasilitas GSP terhadap produk asal Indonesia akhirnya berbuah positif. Pemerintah Amerika Serikat mengundang Indonesia untuk membicarakan soal isu tersebut.

Menteri Perdagangan Enggartisto Lukita menjelaskan, dari tiga negara yang tengah dikaji ulang fasilitas GSP-nya, Indonesia merupakan satu-satunya negara yang diundang pemerintah AS untuk membicarakan isu itu.

“Bisa kita nyatakan ini (Indonesia) satu-satunya negara yang menerima fasilitas GSP diajak duduk. Yang lain itu, (bagi pemerintah AS) ‘ini saya cabut, ini saya naikin’,” kata Enggar akhir pekan lalu.

Dia menjelaskan, dirinya akan memimpin kunjungan kerja ke Amerika Serikat (AS) pada 21- 28 Juli 2018 mendatang. Kunjungan kerja ini bertujuan menjaga keseimbangan hubungan dagang antara Indonesia dengan AS, dan akan menjadi pertemuan resmi pertama Kemendag dengan mitra kerjanya di AS sejak masa pemerintahan Presiden Trump awal 2017.

Kunjungan kerja itu juga melibatkan  perwakilan dari KADIN, asosiasi, para pelaku usaha, dan para pemangku kepentingan.

“Pemerintah Indonesia akan berupaya menjaga dan mengamankan pasar komoditas ekspor Indonesia ke negara-negara tujuan ekspornya untuk mencapai target pertumbuhan ekspor 11%. Oleh karena itu, pemerintah harus sigap bertindak jika ada indikasi pasar ekspornya akan mengalami hambatan. Kunjungan ke AS kali ini berupaya menjaga agar kepentingan ekspor Indonesia tidak terganggu karena AS adalah negara mitra dagang utama kedua setelah China,” kata Mendag.

Berdasarkan data kantor Perwakilan Perdagangan Amerika Serikat (USTR), pada tahun 2016 Indonesia menduduki peringkat ke-35 sebagai negara pengekspor barang-barang terbanyak ke Amerika Serikat.

Di tahun 2016 itu, Amerika Serikat mengalami defisit sebesar 13,2 miliar dolar AS dalam perdagangan dengan Indonesia. Jika diperingkat, Indonesia menduduki posisi ke-16 penyebab defisit perdagangan AS.

Bagi Indonesia, Amerika Serikat  berada di urutan kelima sebagai negara sumber impor. Posisi AS berada di bawah China, Singapura, Jepang dan Thailand.

Dampak Kedele

Panasnya perang dagang antara Amerika Serikat dan China mulai berdampak terhadap ekspor minyak kelapa sawit Indonesia yang harga jualnya mengalami penurunan akibat tertekan pasokan kedele yang melimpah.

Sikap AS yang menerapkan tarif pajak tinggi kepada barang dari China telah dibalas negeri Tirai Bambu itu secara proporsional dengan mengurangi pembelian kedele dari AS.

Pengurangan pembelian kedele oleh China menyebabkan stok komoditas tersebut di AS melimpah. Di sisi lain, China telah mempersiapkan diri dengan munumpuk stok di dalam negeri jauh hari sebelum perselisihan dagang  dimulai.

“Melimpahnya stok kedele AS dan permintaan pasar global yang lemah berkibat harga mulai jatuh. Pada saat yang sama, stok minyak nabati lain seperti rapeseed, bunga matahari dan minyak sawit juga cukup melimpah di negara produsen. Akibatnya, harga minyak nabati menurun karena hukum ekonomi mulai berlaku, ketersediaan barang melimpah, permintaan sedikit, maka harga murah,” kata Direktur Eksekutif Gabungan Perusahaan Kelapa Sawit Indonesia (Gapki), Mukti Sardjono, pekan lalu.

Menurutnya, sepanjang Mei 2018, volume ekspor minyak sawit secara total — termasuk biodiesel dan oleochemical — membukukan penurunan 3% atau dari 2,39 juta ton di April susut menjadi 2,33 juta ton pada  Mei. Khusus volume ekspor minyak sawit mentah (CPO) dan turunannya — tidak termasuk biodiesel dan oleochemical — pada Mei 2018 tercatat menurun 4% dibandingkan dengan April lalu atau dari 2,22 juta ton di April merosot menjadi 2,14 juta ton di Mei.

“Penurunan ekspor dipengaruhi stok minyak nabati lain yang melimpah di pasar global, sehingga harga yang murah juga tidak mendongkrak permintaan,” ujarnya.

Dia mengakui, pada Mei volume ekspor CPO dan turunannya ke Pakistan meningkat 29%. Peningkatan impor yang cukup signifikan setelah selama 3 bulan terakhir stagnan. Naiknya volume ekspor di Pakistan karena harga minyak sawit yang sedang murah, sehingga para trader memanfaatkan kesempatan untuk menggendutkan stok minyak sawitnya.

Peningkatan volume ekspor juga diikuti negara tujuan ekspor di Afrika yang membukukan kenaikan sebesar 29,5% atau dari 176,64 ribu ton di April terkerek menjadi 228,75 ribu ton di Mei. Ini adalah volume tertinggi sepanjang tahun 2018. AS dan China yang sedang berseteru juga mengeskalasi impor minyak sawitnya pada Mei ini. China membukukan kenaikan 6% dan AS mencatatkan kenaikan 18%.

Pada sisi lain, turunnya harga tidak mampu menarik pembeli dari India untuk menimbun stok minyak sawit. Sejak tarif bea masuk yang tinggi untuk minyak sawit, permintaan India mengalami kelesuan dan sudah pada tahap akut. Pada bulan Mei, India mencatatkan penurunan impor CPO dan turunannya sebesar 31% atau 346,28 ribu ton merosot menjadi 240,16 ribu ton. Pasar India — yang sudah tergerus lebih dari 50% dari sejak awal tahun — juga turut berkontribusi menyebabkan stok minyak sawit di Indonesia dan Malaysia menjadi tinggi karena susutnya pembelian yang sangat signifikan.

Sementara ekspor ke Uni Eropa sudah dipastikan menurun karena melimpahnya produksi minyak bunga matahari dan rapeseed. Sepanjang Mei, Uni Eropa membukukan penurunan impor sebesar 7%,  dari 385,10 ribu ton di April menyusut menjadi 359,31 ribu ton di Mei.

“Membaca situasi pasar yang semakin tidak menentu, dengan semakin memanasnya  perselisihan dagang AS dan China, pemerintah Indonesia diharapkan mulai memberikan perhatian khusus kepada industri minyak sawit untuk menjaga agar harga minyak sawit tidak terus merosot,” ujar Mukti.

Menurutnya, pemerintah sebisa mungkin perlu membuat kebijakan untuk meningkatkan konsumsi di dalam negeri dengan menggalakan penggunaan biodiesel yang lebih banyak. “Mandatori Biodiesel sudah waktunya diterapkan kepada non-PSO untuk mendongkrak konsumsi di dalam negeri,” jelasnya.

Hitungannya, jika konsumsi di dalam negeri tinggi, maka stok akan terjaga sehingga harga di pasar global tidak anjlok karena stok yang melimpah.

Hal lain yang dapat dilakukan adalah mulai menjajaki pasar Afrika yang masih memiliki potensi besar akan tetapi infrastruktur masih minim. Pemerintah dapat membuat kebijakan seperti menurunkan tarif ekspor minyak goreng kemasan ke negera Afrika.

“Afrika tidak dapat membeli minyak dalam bentuk curah yang harganya lebih murah daripada kemasan karena tidak memiliki infrastruktur tangki timbun,” kata Mukti. B Wibowo

Baca juga:

Kebijakan Perdagangan AS Sulit Ditebak

Ekspor Indonesia ke AS Terancam

Neraca Perdagangan Indonesia Selalu Surplus