DMO Sawit Jadi Andalan Lagi

Foto: Antara

Pemerintah mencabut larangan ekspor minyak sawit mentah (CPO) dan produk turunannya, meski target harga yang dipasang belum tercapai. Aksi demo petani sawit dan tergerusnya devisa ekspor nampaknya jadi pertimbangan. Guna mengamankan harga, kebijakan domestic market obligation (DMO) dan domestic price obligation (DPO) kembali ditempuh. Padahal, sebelumnya, kedua instrumen itu terbukti gagal.

Keputusan Presiden Joko Widodo melarang ekspor CPO dan produk turunannya terbukti tak berumur panjang. Kurang dari sebulan sejak berlaku efektif pada 28 April 2022, Jokowi mengumumkan pencabutan larangan ekspor pada Kamis (19/5/2022) dan mulai berlaku Senin, 23 Mei 2022.

Entah memanfaatkan momentum aksi unjuk rasa petani dua hari sebelumnya atau memang beratnya efek dari kebijakan yang mengguncang industri sawit nasional dan pasar internasional tersebut, pencabutan dilakukan di saat target pemerintah menstabilkan harga minyak goreng curah — sesuai harga eceran tertinggi (HET) sebesar Rp14.000/liter atau 15.500/kg — belum tercapai. Yang jelas, Jokowi mengaku mempertimbangkan nasib 17 juta orang tenaga kerja di industri sawit sehingga larangan ekspor pun dicabut.

Lalu, bagaimana dengan harga minyak curah yang belum juga stabil di Rp14.000/liter, meski pasokan dalam negeri disebut sudah mencapai 211.638,65 ton atau 108,7% dari kebutuhan nasional 194.634 ton/bulan? Sampai akhir pekan, Sabtu (21/5/2022), harga rata-rata minyak goreng curah di Jakarta (menurut situs infopangan.jakarta.go.id) masih Rp18.829/kg atau masih mahal 21,4%.

Menko Perekonomian Airlangga Hartarto mengaku akan menerbitkan kembali aturan lama, yakni, “Penerapan aturan domestic market obligation (DMO) oleh Kementerian Perdagangan dan domestic price obligation (DPO), yang mengacu pada kajian BPKP, dan ini juga akan ditentukan oleh Kementerian Perdagangan.”

Masalahnya, ketentuan DMO sebelum distopnya ekspor CPO dan turunannya, terbukti tidak efektif. Bahkan, sikap keras pemerintah menaikkan DMO menjadi 30%, yakni eksportir harus memasok 30% produksi CPO dan produk turunannya ke dalam negeri, ditentang pengusaha. Alasannya, tidak semua produsen minyak goreng adalah eksportir

Jika klaim pengusaha benar, berarti persoalannya bukan lagi pasok, yang di atas kertas sudah melimpah. Kemungkinan besar penyakitnya adalah di distribusi. Hal itu terlihat dari pernyataan Sekretaris Jenderal DPP Ikatan Pedagang Pasar Indonesia (IKAPPI), Reynaldi Sarijowan, dalam keterangan tertulisnya, Jumat (20/5/2022). “Presiden mengharapkan agar HET bisa terpenuhi di pasar tradisional dan barang melimpah, tetapi faktanya kami belum mendapati minyak goreng curah itu cukup melimpah di pasar tradisional,” tuturnya. AI