
Norma fiktif positif pada Undang-undang No 30 tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan hanya berlaku untuk permohonan baru yang sebelumnya tidak pernah diterbitkan.
Demikian dinyatakan ahli hukum administrasi negara Zudan Arif Fakrulloh dalam sidang lanjutan perkara fiktif positif yang diajukan PT Riau Andalan Pulp and Paper (RAPP) untuk mencabut pembatalan Rencana Kerja Usaha (RKU) RAPP oleh Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta, Senin (11/12/2017).
“Original intens dari fiktif positif pada UU 30/2014 hanya untuk permohonan baru, tidak untuk membatalkan keputusan yang sudah terjadi,” kata Zudan yang juga pengajar ilmu hukum di sejumlah perguruan tinggi itu.
Pasal 53 UU 30/2014 menyatakan badan atau pejabat pemerintahan wajib menetapkan dan/atau melakukan keputusan dan atau tindakan dalam waktu paling lama 10 hari kerja setelah permohonan diterima. Jika tidak ada keputusan dan/atau tindakan sampai tenggat waktu berakhir, maka permohonan dianggap dikabulkan. Pemohon kemudian bisa mengajukan kepada PTUN untuk mendapat pengesahan.
Zudan memberi contoh untuk penerbitan izin mendirikan bangunan (IMB), apabila pejabat pemerintah tidak merespons permohonan yang diajukan masyarakat dalam jangka waktu 10 hari, maka permohonan dianggap dikabulkan dan dapat diajukan kepada PTUN untuk mendapat pengesahan.
Namun, kata Zudan, jika ada permohonan untuk membatalkan IMB yang sudah terbit maka hal itu tidak termasuk pada norma fiktif positif seperti yang dimaksudkan pada UU 30/2014.
Dia menambahkan, respons pemerintah tidak selalu mesti berupa jawaban tertulis melainkan bisa berupa tindakan nyata. Dia memberi contoh untuk permohonan KTP, tindakan nyata berupa melakukan pemotretan dan perekaman sidik jari, merupakan respons yang diberikan atas permohonan masyarakat.
Saat ditanya, oleh tim kuasa hukum RAPP, bagaimana kaitannya dengan Pasal 77 UU 30/2014 yang menyatakan keberatan atas keputusan pemerintah harus diselesaikan dalam jangka waktu 10, Zudan menegaskan bahwa original intens pada norma fiktif positif di pasal itu tetap mengacu pada pasal 53 UU 30/2014.
Dia juga menambahkan penyelesaian keberatan yang diajukan kepada pemerintah bisa berupa tindakan seperti rapat-rapat pembahasan atas keberatan yang diajukan. “Meski ada batas waktu 10 hari, tapi bisa saja belum ada keputusan sampai batas waktu berakhir untuk memenuhi azas umum pemerintahan yang baik yaitu pengharapan yang wajar kepada masyarakat,” katanya.
Sementara ahli hukum tata negara dan administrasi Phillipus M Hadjon menyatakan, secara prinsip sebuah keputusan hukum berlaku prospektif. Namun, sebuah keputusan hukum bisa direvisi jika ada peraturan perundang-undangan yang baru atau berdasarkan kondisi faktual yang terjadi. “Adanya kebakaran hutan itu kondisi faktual yang terjadi,” kata Hadjon yang Guru Besar di Universitas Airlangga.
Dia memberi penjelasan ketika ditanya oleh kuasa hukum Menteri LHK soal terkait ketentuan peralihan yang diatur pada Peraturan Pemerintah No 71/2014 yang telah diubah dengan PP No 57/2016 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut.
Sekjen Kementerian LHK Bambang Hendroyono yang juga kuasa hukum Menteri LHK menyatakan dari keterangan ahli dan sakti terbukti bahwa pemerintah tidak melakukan tindakan sewenang-wenang terkait terbitnya SK Menteri LHK No 5322/2017. “Pemerintah juga telah melakukan sejumlah tindakan nyata sebagai respons atas keberatan yang diajukan RAPP,” katanya.
Dia menegaskan, langkah pemerintah meminta pemegang izin HTI untuk merevisi RKU bertujuan untuk memperbaiki pengelolaan gambut dan mencegah terjadinya kebakaran hutan dan lahan hebat seperti yang terjadi tahun 2013 dan tahun 2015.
RAPP mengajukan permohonan fiktif positif kepada PTUN untuk mengabulkan pencabutan SK Menteri LHK No 5322/2017 tertanggal 16 Oktober 2017 yang membatalkan RKU RAPP. Permohonan itu diajukan setelah lebih dari 10 hari keberatan yang diajukan kepada Menteri LHK Siti Nurbaya pada 18 Oktober 2017 itu belum dijawab secara tertulis. Sidang perkara ini akan dilanjutkan dengan penyerahan kesimpulan pada 14 Desember 2017 dan penetapan vonis majelis hakim pada 21 Desember 2017. Sugiharto