Gambut Seharusnya Bisa Dikelola Berkelanjutan

HTI di Lahan Gambut

Inovasi regulasi untuk pengelolaan gambut perlu dilakukan pemerintah. Pengelolaan gambut seharusnya tidak hanya untuk tujuan perlindungan tapi juga untuk pemanfaatan secara berkelanjutan.

Peneliti senior Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (LPEM FEB UI) Riyanto menuturkan perlindungan lahan gambut dari risiko kebakaran dan pelepasan emisi karbondioksida memang penting untuk dilakukan. Namun dengan inovasi regulasi, maka lahan gambut masih bisa dimanfaatkan secara berkelanjutan.

Regulasi itu misalnya dengan mewajibkan pelaku usaha menerapkan pengelolaan lahan gambut secara ketat. Upaya lain juga dapat dilakukan dengan melibatkan masyarakat dan pemerintah daerah sehingga aspek lingkungan hidup dapat tercapai tanpa menganggu  proses produksi berbasis laahan gambut.

Riyanto memberi gambaran pada pengelolaan stasiun pengisian bahan bakar. “Pom bensi rawan terbakar. Tapi tidak ada larangan untuk pemanfaatan sepanjang bisa dikelola risiko kebakarannya,” kata dia di Yogyakarta, Rabu (13/12/2017).

Riyanto menuturkan hal itu terkait hasil kajian LPEM FEB UI yang mengungkapkan, berlakunya Peraturan Pemerintah (PP) No 71 tahun 2014 yang telah diubah dengan PP No 53 tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut bisa berdampak pada kerugian senilai 5,72 miliar dolar AS atau setara Rp76,04 triliun. Kerugian itu berasal dari berkurangnya PDB nasional, pendapatan masyarakat, dan berkurangnya tenaga kerja dari pengelolaan hutan tanaman industri. Nilai kerugian bisa lebih besar jika memperhitungan dampak pada sektor perkebunan.

Menurut Riyanto, PP gambut bisa berdampak pada berkurangnya bahan baku bagi industri pulp dan kertas. Impor bahan baku tidak terhindarkan sehingga berujung terhadap anjloknya daya saing industri. “PP ini akan berdampak terhadap ekonomi secara makro, menurunkan rating investasi, dan memberikan dampak secara sosial, yaitu PHK yang akan meningkatkan pengangguran,” kata Riyanto

Berdasarkan kajian LPEM, kerugian akibat PP gambut selama lima tahun ke depan berasal dari penurunan produksi bahan baku sebesar 16,8 juta meter kubik (m3) akibat berkurangnya 58,5% areal HTI seluas 702.560 hektar (ha) dengan nilai ekonomi Rp48,5 triliun. Sedangkan output ke Provinsi Riau akan berkurang Rp29,17 triliun/tahun. PDRB Riau akan melorot Rp16,15 triliun/ tahun. Pendapatan masyarakat akan berkurang Rp4,9 triliun per tahun dalam bentuk upah/gaji yang di bayarkan.

Selain itu akan terjadi pengurangan 134.000 tenaga kerja selama lima tahun ke depan yang akan menimbulkan masalah sosial baru di Bumi Lancang Kuning, karena berisiko meningkatkan kemiskinan bagi sekitar 539.000 orang di wilayah tersebut, dengan asumsi setiap pekerja menghidupi empat anggota keluarga. “Dampak ini akan menimbulkan persoalan sosial yang serius jika tidak diantisipasi,” ujar Riyanto.

Dia menilai, PP 71/2014 jo PP 53/2016 mencerminkan tidak adanya inovasi kelembagaan dalam pengelolaan gambut. PP tersebut akan memukul industri pulp dan kertas karena lebih dari 40% lahan HTI yang memasok bahan baku industri berada di lahan gambut, yang karena PP tersebut harus dikonversi menjadi fungsi lindung. “Aturan ini tidak saja berpengaruh negatif bagi iklim investasi di daerah (terutama Riau dan Sumatera Selatan), tetapi juga membuat investor yang telah ada dan akan berinvestasi di daerah tersebut menarik diri,” ujar Riyanto.

Sementara itu, pakar hukum lingkungan Universitas Atmajaya Kristianto Silalahi menyatakan, setiap pembangunan memiliki dampak lingkungan. Namun bukan berarti karena adanya dampak tersebut pemerintah tidak bisa melaksanakan pembangunan. Dia menganalogikan internet memiliki dampak negatif terhadap anak-anak. Tetapi bukan berarti anak-anak tidak boleh mengenal internet karena layanan itu juga banyak memberikan manfaat. “Harus dicarikan solusi agar kepentingan lingkungan dan ekonomi dapat berjalan bersama,” ujar dia.

Dia menjelaskan, hukum wajib melindungi seluruh kepentingan lingkungan hidup dan masyarakat termasuk pelaku usaha. Konservasi memerlukan validasi data yang dapat dipertanggung jawabkan agar tidak menimbulkan polemik dan masalah di kemudian hari. Selain itu, hukum wajib menjadi proses peralihan yang dilakukan secara tertib administrasi dan dapat dipercaya. Sugiharto