Gundah Gulana Energi Biomassa Hutan

Pelet kayu sebagai bahan bakar pembangkit listrik tenaga biomassa (PLTBm)

Biomassa, khususnya dari tanaman hutan, digadang-gadang sebagai energi masa depan. Namun pengembang energi biomassa harus berhadapan dengan iklim usaha yang belum kondusif saat ini.

Biomassa, termasuk dari tanaman hutan, dinilai sebagai salah satu sumber energi baru terbarukan (EBT) yang sangat potensial di Indonesia.

Banyak alasannya. Mulai dari ketersediaan jenis tanaman potensial, kawasan hutan yang luas, dan teknologi yang relatif mudah untuk dikuasai.

Apalagi, ada kebijakan pemerintah untuk mendorong pemanfaatan EBT. Sebagai contoh untuk pembangkitan listrik. Dalam Renacana Umum Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2018-2027, kontribusi EBT dalam bauran energi pembangkitan tenaga listrik ditargetkan naik mencapai 23% pada tahun 2025.

Executive Vice President Pengembangan Regional Maluku Papua dan Nusa Tenggara PT PLN Eman Prijono Wasito Adi menyatakan PLN fokus untuk mencapai target bauran energi EBT sebesar 23% pada tahun 2025.

“Komitmen kami jelas untuk meningkatkan penggunaan renewable energi,” katanya saat diskusi Pojok Iklim, Rabu (30/9/2020).

Merealisasikan komitmen tersebut, PLN mulai mengalihkan penggunaan bahan bakar fosil untuk pembangkit listrik dengan bahan bakar EBT.

Salah satu yang sedang dilakukan adalah de-diselisasi alias mulai mengalihkan pembangkit listrik bertenaga disel (PLTD) dengan pembangkit listrik berbasis EBT.

Saat ini ada 5.200 unit mesin PLTD yang terpasang di 2.130  titik di seluruh Indonesia. Unit PLTD tersebut berpotensi untuk dikonversi ke pembangkit listrik EBT, dengan total konversi mencapai 2 Giga Watt (GW).

Di Region Maluku, Papua, dan Nusa Tenggara, ada 267 unit PLTD dengan kapasitas sebesar 49 Mega Watt (MW) yang akan dialihkan menjadi pembangkit listrik EBT.

Menurut Eman, pengalihan PLTD menjadi pembangkit listrik tenaga biomassa (PLTBm) dan pembangkit listrik tenaga mikro/minihidro bisa menghemat pengeluaran untuk pembelian bahan bakar minyak sebanyak 175 juta liter per tahun atau setara dengan Rp1,4 triliun.

Eman mengungkapkan, salah satu PLTBm yang sudah dibangun dan beroperasi adalah PLTBm Wapeko, Merauke yang berkapasitas 3,5 MW. Unit yang mulai dibangun sejak 2018 itu mulai beroperasi pertengahan tahun ini dan bisa menghemat pengeluaran hingga Rp17 miliar per tahun.

Kebijakan

Ramah lingkungan dan terbukti bisa menghemat biaya pembangkitan listrik, nyatanya pengembangan PLTBm penuh tantangan.

Yang terbesar adalah kebijakan pemerintah soal pembelian listrik dari pengembang PLTBm. Kebijakan itu diatur lewat Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral No 50/2017 tentang Pemanfaatan Sumber Energi Terbarukan untuk Penyediaaan Tenaga Listrik.

Berdasarkan ketentuan itu, meski PLN diwajibkan membeli listrik yang dihasilkan pengembang PLTBm, namun harga ditetapkan paling tinggi 85% dari biaya pokok produksi (BPP) pembangkitan listrik setempat.

Pengembang PLTBm PT Korintiga Hutani merasakan betul apeknya kebijakan tersebut. Perusahaan yang berbasis di sektor kehutanan itu awalnya mengelola izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu (IUPHHK) hutan tanaman industri (HTI) seluas 94.384 hektare di Lamandau dan Kota Waringin Barat, Kalimantan Barat.

Perusahaan itu juga membangun industri terintegrasi untuk memproduksi kayu serpih (chips) plet kayu, veneer, dan kayu pertukangan dengan bahan baku kayu dari HTI yang dikelolanya.

Untuk kebutuhan operasional pabrik, Korintiga Hutani membangun PLTBm memanfaatkan kulit kayu dan chips. Manager Umum Korintiga Hutani Rais Sugito mengungkapkan, awalnya PLTBm dibangun pada tahun 2012 dan mulai beroperasi tahun 2013.

Tahun 2014, PLN mengalami kendala pasokan daya, sehingga membeli kelebihan daya PT Korintiga Hutani fluktuatif antara 2-5 MW.

”Karena  kebutuhan daya PLN cukup besar kami berusaha meningkatkan kapasitas daya listrik,” kata Rais.

Namun apa lacur, ketika kapasitas terpasang PLTBM Korintiga Hutani sudah mencapai 7,3 MW dan ada kelebihan daya hingga 5-6 MW dari kebutuhan pabrik, listrik yang diproduksi tak lagi terserap oleh PLN.

Kalaupun diserap hanya berkisar 2-2,25 MW saja. Bukan itu saja, harga beli PLN pun jauh di bawah ketentuan yang diatur Permen ESDM 50/2017.

“Kenyataannya tidak sesuai. Sesuai peraturan di tentukan 85%, tapi kami dibeli di 70% bahkan bisa di bawah. Daya (yang dihasilkan pun) tidak semua dibeli,” kata Rais.

Excess power

Situasi yang dialami oleh Korintiga Hutani itu yang disesali oleh Masyarakat Energi Biomassa Indonesia (MEBI). Ketua umum MEBI Djoko Winarno menyatakan listrik dari PLTBM dibeli murah karena dianggap excess power (kelebihan daya) dari pemanfaatan untuk kebutuhan internal.

Dia menilai hal itu tidaklah tepat. Sebab sejatinya ada investasi dan biaya produksi yang harus diperhitungkan. “Ini yang sedang kami perjuangkan ke pemerintah,” katanya.

Djoko juga menyayangkan jika yang menjadi pembanding dalam perhitungan BPP pembangkitan listrik adalah PLTU batubara yang memang murah.

Padahal, katanya, ada banyak keistimewaan perlakuan terhadap batubara yang merupakan energi berbasis fosil sehingga lebih murah.

“Contoh, batubara tidak dikenakan pajak apa-apa, PPN nol. Sementara wood chips kena PPN,” katanya.

Tak hanya itu, sebagai energi fosil yang kotor dan boros emisi gas rumah kaca, batubara seharusnya dikenakan pajak tambahan. Di pasar internasioal, kata Djoko, pajak tambahan yang diberikan pada batubara mencapai 7,5 sen dolar AS per kwh.

Itu berarti, jika BPP listrik berbasis batubara saat ini 6 sen dolar per kwh, maka jika memperhitungkan pajak tambahan karena mengotori udara seharusnya BPP-nya bisa mencapai 16,5 sen dolar per kwh. “Sementara BPP biomassa hanya 10,5-11 sen dolar AS, jadi lebih murah,” katanya.

Ketahanan Energi

Djoko menegaskan, besarnya potensi biomassa hutan di Indonesia sebagai sumber EBT. Menurut dia, saat ini ketersediaan sumber energi berbasis fosil makin terbatas. Sementara di Indonesia ada sumber daya hutan yang sangat besar.

Data dari Kementeriaan Lingkungan Hidup dan Kehutanan, luas kawasan hutan Indonesia mencapai 70% dari luas daratan Indonesia.

Dari kawasan hutan tersebut ada 74,44 juta hektare yang memiliki fungsi sebagai hutan produksi. Seluas 36,9 juta diantaranya belum dibebani izin dengan 10,06 juta hektare dicadangkan untuk HTI.

“Saat ini luas HTI mencapai 5 juta hektare dengan produksi sekitar 21 juta m3,” kata Djoko.

Djoko mengungkapkan, biomassa hutan mempunyai kadar kalori yang tidak kalah dengan sumber energi fosil. Sebagai perbandingan, solar mempunyai 9.240 kilo kalori (kkal) per liter dan batubara sebesar 4.800 kkal/kg. Sementara kadar kalori biomassa hutan yang telah dibentuk menjadi pelet kayu sebesar 4.200-4.700 kkal per kg.

Djoko menghitung, 1 liter solar setara dengan 2,5 kg pelet kayu. Jika harga per kg pelet adalah Rp2.000-Rp2.500 maka harga yang dibayar adalah Rp5.000-Rp6.250. Sementara harga per liter solar industri terendah adalah Rp10.600.

“Jadi penggunaan biomassa hutan menghemat hingga 53%-59% jika dibandingkan solar,” katanya.

Ketua Dewan Pertimbangan Pengendalian Perubahan Iklim Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Sarwono Kusumaatmadja menyatakan biomassa bisa menjadi pilihan sebagai sumber EBT yang mendukung pengendalian perubahan iklim.

Dia juga megingatkan pentingnya membangun ketahanan energi dengan berbasis sumber daya energi tempatan. “Setiap negara harus mandiri energi, argumen kedaulatan menjadi alasan untuk menumbuhkan biomassa dari HTI,” katanya.

Sugiharto