Kementerian Pertanian (Kementan) mendorong sektor pertanian beradaptasi dengan fenomena cuaca La Nina. Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMkG) telah memprediksi bahwa fenomena La Nina akan terjadi pada akhir tahun ini sampai Februari 2022.
Sektor pertanian dipastikan juga akan terkena dampak La Nina. Oleh karena itu, perlu dilakukan adaptasi dengan La Nina. Hal ini penting untuk meminimalisasi dampak yang ditimbulkan dari fenomena pendinginan suhu muka laut di bawah kondisi normalnya di Samudera Pasifik tersebut. Pasalnya, pendinginan itu mengurangi potensi pertumbuhan awan di Samudera Pasifik tengah. Sementara di wilayah Indonesia, La Nina dapat meningkatkan curah hujan.
Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo mengatakan, sektor pertanian memang amat rentan terhadap perubahan iklim. Namun, dalam situasi apapun pertanian harus tetap berjalan. “Sebab, kita harus memenuhi kebutuhan pangan seluruh rakyat Indonesia. Pertanian tak boleh terganggu oleh apapun, karena ini berkaitan dengan hajat hidup rakyat Indonesia,” katanya.
Dia mengatakan, strategi Kementan mengantisipasi dampak perubahan iklim juga telah disiapkan sebanyak tujuh langkah.
Pertama, melakukan identifikasi dan pemetaan di seluruh wilayah lahan pertanian. Lahan rawan kekeringan dan banjir sebagai wilayah prioritas penanganan.
“Kedua, berkoordinasi dengan BMKG dalam menyiapkan sistem peringatan dini (early warning system) dan memantau informasi berupa perkembangan iklim global dan prediksi hujan,” kata Syahrul.
Ketiga, penerapan kalender tanam (KATAM) terpadu. Keempat, membentuk gerakan brigade. “Kelima, memanfaatkan AUTP (Asuransi Usaha Tani Padi) bagi yang sudah mendaftar,” katanya.
Keenam, bantuan sarana dan prasarana pertanian untuk daerah terdampak (mitigasi bencana) dan terakhir, bimbingan teknis adaptasi dan mitigasi perubahan iklim sektor pertanian.
Sementara itu, Dirjen Prasarana dan Sarana Pertanian (PSP), Kementan Ali Jamil menambahkan, untuk aspek mitigasi ada dua skenario yang telah disiapkannya. Pertama adalah aspek forecasting, yaitu secara teoritis masalah banjir dapat diminimalkan risikonya apabila kemampuan prakiraan musim dapat dilakukan lebih awal dan akurat.
“Kedua adalah aspek deliniasi wilayah rawan banjir perlu dilakukan untuk menyusun strategi antisipasi dan memfokuskan penanganan masalah banjir secara spasial dan temporal (antarwaktu),” katanya.
Aspek deliniasi juga mengilustrasikan pergeseran dan atau peningkatan wilayah rawan banjir dan kekeringan. Sementara untuk adaptasi, Mentan menyebut ada empat langkah yang telah disiapkan.
Pertama, ketersediaan informasi dan teknologi tentang banjir dan kekeringan. Kedua, kebijakan dan perencanaan pertanian yang adaptif terhadap perubahan iklim, termasuk terhadap iklim ekstrem, yakni banjir dan kekeringan.
“Berikutnya adalah sistem pendukung kelembagaaan pertanian yang responsif terhadap banjir dan kekeringan,” katanya. Terakhir yakni membangun kepedulian masyarakat, mengilustrasikan pergeseran dan atau peningkatan wilayah rawan banjir dan kekeringan.
Selanjutnya, Kementan akan memanfaatkan program AUTP bagi petani yang telah mendaftar. Selain itu, Ali mengatakan, Kementan akan memberikan bantuan sarana dan prasarana pertanian untuk daerah terdampak bencana. Terakhir, pihak Kementan akan memberikan bimbingan teknis terkait adaptasi dan mitigasi perubahan iklim di sektor pertanian
Ali Jamil menyebutkan, adaptasi ini penting dilakukan karena kita tak bisa melawan kehendak alam. Apalagi, setiap kali peristiwa La Nina menerjang, sektor pertanian yang paling terdampak parah.
“Setiap La Nina menyerang, luas lahan sawah yang terkena banjir meningkat, berkisar antara 200.000-300.000 hektare (ha), dibanding kondisi normal sekitar 50.000-100.000 ha,” kata Ali.
Di sisi lain, Ali menyebut serangan WBC juga berkisar antara 90.000-250.000 ha. Sedangkan pada kondisi normal berkisar antara 10.000-85.000 ha.
“Pada saat terjadi La Nina, penurunan kualitas dan produksi mencapai 80%. La Nina juga meningkatkan serangan hama dan penyakit akibat jamur,” ujar Ali.
Untuk mengantisipasinya, Ali menyebut Kementan membentuk gerakan brigade yang terdiri dari Brigade La Nina (Satgas OPT-DPI), Brigade Alsintan dan tanam serta Brigade Panen dan Serap Gabah Kostraling.”Pompanisasi in-out dari sawah, rehabilitasi jaringan irigasi tersier atau kwarter terutama di wilayah rawan banjir,” tegasnya.
Berikutnya adalah penyiapan bibit varietas padi tahan rendaman (Inpara 1-10, Inpara 29, Inpara 30, Ciherang Sub 1, Inpari 42 Agritan), toleran salinitas dan varietas unggul lokal yang sudah teruji, varietas tahan OPT pada daerah endemik, (Inpari 2, 3, 4, 6), Blast, Hawar Daun Bakteri.
“Juga memperbaiki cara pascapanen dan menyiapkan bantuan untuk kegiatan panen dan pascapanen dengan menggunakan pengering (dryer) dan RMU (Rice Milling Unit),” papar dia.
Dilanjutkan Ali, berikutnya adalah mengoptimalkan penampungan air dengan pemanfaatan biopori, Bangunan Penampung Air (BPA), normalisasi saluran drainase.
“Lalu dilakukan penerapan bedengan tinggi dan penggunaan sungkup plastik pada tanaman hortikultura,” tutur Ali. Dilakukan juga pembuatan rorak, parit diskontinyu, tanaman penutup tanah pada lahan perkebunan untuk menangkap air dan mencegah erosi,” imbuhnya.
Terakhir, optimalisasi luas tanam pada lahan kering seperti tanaman hortikultura cabai dan bawang merah dengan penerapan PHT secara efektif, penggunaan varietas unggul toleran OPT dan teknologi inovasi budidaya lainnya. PSP
Antisipasi La Nina, Kementan Gandeng Gubernur se-Indonesia
Kementerian Pertanian (Kementan) menggandeng gubernur se-Indonesia untuk bekerja sama mengantisipasi dampak La Nina sebagaimana diprediksi Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG), dan akan berdampak bagi sektor pertanian.
Melalui surat Nomor 167/SR.410/M/10/2021 tanggal 11 Oktober 2021 perihal Mitigasi Banjir dan Kekeringan Tahun 2021, Kementan meminta gubernur ikut terjun langsung mengantisipasi dampak yang akan terjadi.
Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo mengatakan, keterlibatan gubernur dalam upaya menangani dampak La Nina sangat penting.
Fenomena La Nina antara lain meningkatnya curah hujan di wilayah Indonesia yang menyebabkan musim hujan terjadi lebih lama. Hal ini tentu berdampak terhadap tanaman padi petani.
“Kita tidak mau pertanian terganggu. Dalam situasi dan kondisi apapun, sektor pertanian harus terus berjalan. Maka, kita harus menyiapkan sejumlah langkah antisipasi,” katanya.
Mentan menyebutkan, pihaknya sudah menyiapkab berbagai langkah dan antisipasi agar La Nina tidak berdampak terlalu besar terhadap produksi pertanian.
Direktur Jenderal Prasarana dan Sarana Pertanian (PSP) Kementan, Ali Jamil menerangkan, ada enam langkah yang bisa dilakukan dalam rangka mitigasi dampak La Nina bagi sektor pertanian.
Pertama, memetakan daerah rawan banjir dan kekeringan, serta membangun early warning system melalui pemantauan kondisi iklim harian yang bersumber dari data Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG). “Kedua, lakukan percepatan tanam untuk daerah dengan puncak genangan di bulan Desember 2021 dengan mengerahkan brigade tanam dan prasarana pendukung seperti traktor, pupuk, benih dan lainnya,” terang Ali.
Ketiga, melakukan normalisasi saluran dan pembangunan tanggul penahan air. Keempat, menggunakan benih varietas tahan genangan seperti lnpara 1-10, Inpari 29, lnpari 30, Ciherang dan varietas lainnya. “Kelima, mendorong petani untuk mengikuti program Asuransi Usaha Tani Padi (AUTP),” ujar Ali.
Terakhir, untuk lokasi yang saat ini masih memasuki musim kemarau, Ali menyebut ada tiga langkah antisipasi yang harus dilakukan. Pertama, melakukan pengawalan giliran pembagian air dan penghematan pemanfaatannya.
Kedua, mengoptimalkan pemanfaatan sumber-sumber air permukaan dan air tanah yang ada sebagai suplesi irigasi pada lahan sawah yang terdampak kekeringan. “Terakhir, memanfaatkan pompa-pompa air, embung, dam parit, long storage dan lainnya,” papar dia.
Dengan langkah tersebut, Ali menyebut Kementan dalam strategi mengantisipasi badai La Nina tetap memperhatikan pula daerah-daerah yang masih mengalami kekeringan. “Kami fokus pada masalah banjir dan Kekeringan agar target kita tentang swasembada pangan tetap berjalan dan pada saat yang sama, produktivitas pertanian juga tetap terjaga,” tutur Ali.
Sementara, Direktur Irigasi Pertanian Ditjen PSP Kementan, Rahmanto mengungkapkan, irigasi pertanian diharapkan dapat dimanfaatkan sebaik-baiknya oleh para petani. Tidak hanya untuk sektor tanaman pangan, tetapi juga untuk sektor hortikultura, perkebunan, dan peternakan.
“Air adalah faktor teknis bagi terungkitnya produktivitas pertanian. Pada akhirnya, kesejahteraan petani juga meningkat,” ujar Rahmanto. PSP