Produsen gula rafinasi kembali bikin ulah. Aksi perembesan gula kristal rafinasi (GKR) ke pasar umum disinyalir kembali terjadi. Hal ini menyebabkan gula kristal putih (GKP) yang diproduksi oleh pabrik gula dengan bahan baku tebu petani mengalami kesulitan untuk dipasarkan.
“Akibat rembesan gula rafinasi, sekitar 1,5 juta ton gula kristal putih tidak bisa dipasarkan pada tahun 2013 ini,” kata Ketua Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI), Soemitro Samadikoen kepada Agro Indonesia, akhir pekan lalu.
Menurut Soemitro, APTRI memiliki angka mengenai perembesan gula rafinasi ke pasar umum. Perkiraan APTRI, gula rafinasi yang merembes ke pasar umum mencapai sekitar 900.000 ton.
Angka itu diperoleh APTRI dengan perhitungan kuota impor raw sugar yang dikeluarkan pemerintah sepanjang tahun 2013 dengan realisasi kebutuhan gula rafinasi pada industri makanan dan minuman (mamin) di dalam negeri.
Soemitro mengatakan, kebutuhan industri mamin terhadap bahan baku gula rafinasi tahun ini diperkirakan hanya mencapai 2,2 juta ton. Volume ini tentu saja jauh lebih kecil dibandingkan dengan kuota impor raw sugar yang diberikan pemerintah kepada industri gula rafinasi tahun 2013 sekitar 3,1 juta ton.
Kementerian Perdagangan (Kemendag) dan Kementerian Perindustrian (Kemenperin) sebelumnya telah menyepakati untuk memberikan izin produksi sejumlah 2,26 juta ton untuk 8 perusahaan rafinasi di tahun 2013. Izin tersebut kemudian ditambah dengan 3 perusahaan baru dengan total izin 11 perusahaan rafinasi sejumlah 3,019 juta ton.
Pemberian kuota dan izin produksi itu didasarkan pada kontrak pembelian gula rafinasi oleh industri pengguna, terutama produsen makanan dan minuman (mamin) kepada produsen gula rafinasi.
Namun, kata Soemitro, pemerintah seharusnya tidak memberikan kuota impor raw sugar kepada industri gula rafinasi hanya berdasarkan pada kontrak pembelian produsen mamin kepada produsen gula rafinasi.
“Kontrak itu bisa saja dipermainkan. Misalnya saja adanya kontrak yang sudah kadaluarsa atau bodong. Selain itu, kontrak pembelian itu tidak selamanya direalisasikan seluruhnya,” ucap Soemitro.
Hitungan GAPMMI
Pernyataan Soemitro juga diakui oleh Sekjen Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia (GAPMMI), Franky Sibarani. Menurutnya, tidak semua kontrak pembelian dipenuhi oleh produsen makanan dan minuman.
“Biasanya, kontrak pembelian tersebut hanya direalisasikan oleh produsen makanan dan minuman sekitar 50% hingga 70% dari total kontrak yang sebelumnya disepakati,” papar Franky.
Selain itu, kontrak pembelian juga bukan mencerminkan kebutuhan industri mamin terhadap bahan baku gula rafinasi yang sebenarnya. Pasalnya, biasanya, demi ketersediaan pasokan, produsen mamin melakukan penetapan volume gula rafinasi dalam kontrak pembelian yang melebihi kebutuhan sebenarnya.
Franky sendiri memperkirakan kebutuhan gula rafinasi oleh industri mamin pada tahun 2013 ini maksimal hanya mencapai 2,5 juta ton. Angka ini dihitung berdasarkan pertumbuhan industri mamin pada tahun ini yang mencapai 6% dari tahun sebelumnya. Selain itu, pertumbuhan 6% itu hanya dihitung berdasarkan omset yang diperoleh produsen mamin.
Tahun 2013, omset industri mamin diperkirakan mencapai Rp751 triliun atau naik 5,92% dibandingkan perolehan omset yang diraih pelaku industri mamin di tahun 2012 yang mencapai Rp709 triliun.
Audit
Jika mengacu pada pernyataan Franky, potensi rembesan gula rafinasi di pasar umum memang terbuka lebar. Dan untuk membuktikan adanya rembesan, siapa pelakunya dan kadar rembesan yang dilakukan industri gula rafinasi, Kementerian Perdagangan (Kemendag) telah menunjuk sebuah lembaga untuk melakukan audit terhadap peredaran gula rafinasi di dalam negeri.
Pihak APTRI sendiri telah mendesak Kemendag untuk segera mengumumkan hasil audit tersebut kepada publik dan memberikan sanksi terhadap industri gula rafinasi yang melakukan pelanggaran. Namun, hingga akhir pekan lalu, pihak Kemendag belum juga mau mengumumkan hasil audit tersebut.
“Padahal, beberapa waktu lalu saya telah bertemu dengan Dirjen Perdagangan Dalam Negeri dan Sekjen Kemendag. Mereka berjanji akan segera mengumumkan hasil audit itu. Bahkan yang akan mengumumkan adalah Menteri Perdagangan Gita Wirjawan sendiri,” ujar Soemitro.
Menurut sumber Agro Indonesia di Kemendag, sebenarnya Kemendag sudah mendapatkan hasil audit terhadap peredaran gula rafinasi dan diketahui memang telah terjadi rembesan. Namun, Kemendag belum membuat sanksi dan volume kuota impor yang akan diberikan kepada masing-masing industri gula rafinasi sesuai dengan pelanggaran yang dilakukannya sehingga hasil audit belum diumumkan.
“Hasil audit kemungkinan akan diumumkan menjelang akhir tahun bersamaan dengan penetapan kuota impor raw sugar,” katanya.
Sumber Agro Indonesia juga menyebutkan bahwa mengacu pada tindakan pemerintah tahun 2011, kemungkinan besar kuota raw sugar untuk tahun 2014 akan mengalami penurunan dibandingkan kuota impor raw sugar tahun 2013.
“Kuota impor raw sugar tahun 2014 akan ditetapkan berdasarkan volume kuota impor yang diberikan pemerintah, dikurangi volume rembesan dan ditambah dengan pertumbuhan kebutuhan gula oleh industri mamin,” ucapnya.
Pada tahun 2011, Kementerian Perdagangan juga melakukan audit terhadap peredaran gula rafinasi di pasaran. Dari hasil audit itu diketahui adanya rembesan gula rafinasi ke pasar umum sekitar 400.000 ton.
Berdasarkan hasil audit itu, seluruh delapan perusahaan gula rafinasi diketahui melakukan pelanggaran dalam hal distribusi, dengan melakukan penjualan kepada konsumen umum atau bukan kepada industri pengguna.
Dalam audit itu, Kemendag memberikan skor 1 hingga 100 terhadap angka kepatuhan produsen gula rafinasi dalam mengedarkan gula rafinasinya sesuai aturan yang berlaku, di mana gula jenis ini tidak boleh diperdagangkan di pasar umum atau rumah tangga.
Dari hasil audit itu, diketahui kalau angka kepatuhan tertinggi adalah 97,98 sedangkan yang terendah yakni 41,06. Bagi perusahaan yang tingkat kepatuhannya rendah, Kemendag memberikan sanksi pemotongan alokasi impor gula. Hal sebaliknya berlaku untuk perusahaan yang tingkat kepatuhannya tinggi.
Dengan adanya rembesan itu, kuota impor gula pada tahun 2012 hanya diberikan Kemendag sebesar 2,1 juta ton atau turun 325.000 ton dibandingkan kuota impor di tahun 2011 sebesar 2,425 juta ton. B Wibowo
Kapasitas Pabrik Lampaui Permintaan
Penambahan izin pembangunan pabrik gula rafinasi di dalam negeri dituding menjadi salah satu penyebab terjadinya rembesan gula jenis tersebut ke pasar umum. Pasalnya, dengan adanya tambahan industri gula rafinasi baru, maka pemerintah terpaksa harus menambah alokasi impor raw sugar dan produksi gula rafinasi di dalam negeri.
Sebelumnya, produsen gula rafinasi di dalam negeri hanya terdiri atas delapan perusahaan, yakni PT Angel Products , PT Jawamanis Rafinasi, PT Sentra Usahatama Jaya. Kemudian PT Permata Dunia Sukses Utama, PT Dharmapala Usaha Sukses, PT Sugar Labinta, PT Duta Sugar International dan PT Makassar Tene. Namun, pada awal tahun 2013, terdapat tiga perusahaan baru yang diberi izin memproduksi gula rafinasi, yakni PT Berkah Manis Makmur yang berdiri di Banten, PT Andalan Purindo di DKI Jakarta, dan PT Medan Sugar Industri di Medan, Sumatera Utara.
Dengan adanya tambahan tiga perusahaan baru itu, maka kapasitas produksi total 11 produsen gula rafinasi di dalam negeri saat ini mencapai sekitar 5.016.200 ton. Padahal, potensi kebutuhannya di dalam negeri tidak sampai 2,6 juta ton.
Jika kondisi ini dibiarkan, maka aksi perembesan gula rafinasi ke pasar umum akan terus terjadi dan pada akhirnya akan membuat gula kristal putih yang bahan bakunya dari tebu petani di dalam negeri akan terus terpinggirkan.
Untuk mencegah terjadinya aksi rembesan gula rafinasi, Ketua Komisi IV DPR M Romahurmuziy meminta pemerintah menerapkan moratorium atau penghentian terhadap pemberian izin pembangunan dan produksi pabrik gula rafinasi di dalam negeri.
“Dengan adanya moratorium itu, maka produksi gula rafinasi di dalam negeri bisa dibatasi sehingga produksnya tidak mengalir ke pasar yang bukan diperuntukkan bagi gula rafinasi,” papar Romi.
Menurutnya, komposisi kapasitas produksi gula rafinasi yang mencapai lebih dari 5 juta ton per tahun dengan tingkat kebutuhan di bawah 3 juta ton per tahun sangatlah tidak sehat, baik bagi industri gula rafinasi maupun industri gula keristal putih dan petani.
“Kondisi itu bisa menimbulkan masalah serius terhadap program swasembada gula putih karena akan ada persaingan yang tidak sehat di lapangan, seperti adanya aksi rembesan gula rafinasi ke pasar yang selama ini ditujukan untuk pasar gula putih,” ucapnya.
Pihak Asosiasi Gula Rafinasi Indoesia (AGRI) tidak bisa diminta tanggapannya soal usulan moratorium dan adanya rembesan yang dilakukan anggotanya. Ketua AGRI, Suryo Alam tidak dapat dihubungi dan pesan singkat yang dikirim Agro Indonesia pun tidak dijawab. B Wibowo