Swasembada gula yang ditargetkan tahun 2014 nampaknya makin sulit dicapai karena target produksi 2,8 juta ton hanya tercapai 89,9% atau sebanyak 2,5 juta ton. Banyak faktor yang dijadikan alasan turunnya produksi gula nasional, di antaranya iklim, rendemen dan produktivitas tanaman yang juga menurun.
“Program-program yang mendukung pencapaian swasembada tidak berjalan maksimal, seperti ketersediaan lahan, revitalisasi pabrik gula (PG) dan pembangunan PG baru,” kata Direktur Tanaman Semusim, Nurnowo Paridjo, di Jakarta, pekan lalu.
Dia mengatakan, swasembada gula tahun 2014 dapat dicapai jika program atau kegiatan satu sama lain berjalan dengan baik, seperti ketersediaan lahan tebu seluas 350.000 hektare (ha), revitalisasi PG dan pembangunan PG baru 10-15 unit.
“Ketersediaan lahan 350.000 ha katanya sudah ada, namun fakta aktual lahan itu tidak tersedia. Begitu juga untuk pembangunan PG baru, baru terealiasi 1 unit. Sedangkan untuk kegiatan revitalisasi PG hanya berjalan 10%,” ungkapnya.
Nurnowo mengatakan, lahan seluas 350.000 ha salah satunya untuk PG Rafinasi agar bisa membangun kebun baru. Namun, kenyataanya, hal ini tidak berjalan sebagaimana mestinya. “Lahan itu sudah tersedia karena Kementerian Kehutanan sudah melepas lahan tersebut. Meskipun sudah ada lahan, belum tentu industri gula rafinasi mau membangun kebun tebu sendiri karena di lapangan masalah lahan masih banyak,” katanya.
Menurut Nurnowo, lahan yang dibebaskan Kemenhut itu lokasinya terkadang ada rumah penduduk. Hal ini tentu berpotensi untuk menimbulkan masalah. Akibatnya, pembangunan kebun baru seluas 350.000 ha tidak terlaksana. Revitalisasi PG juga tidak berjalan seperti yang diharapkan, sehingga roadmap swasembada gula 2014 direvisi, terutama target produksi dari 5,7 juta ton menjadi 3,1 juta ton.
“Sebelum direvisi, swasembada gula mencakup kebutuhan gula industri. Namun, sekarang swasembada untuk gula konsumsi saja,” tegasnya.
Dengan target produski 3,1 juta ton, Nurnowo optimis tahun depan produksi gula bisa mencapai target yang sudah ditentukan. Artinya, meskipun kendala masih cukup banyak, namun swasembada gula 2014 tetap tercapai.
Menurut dia, untuk mencapai target produksi tersebut sebenarnya cukup dengan meningkatkan rendemen rata-rata 8% dengan areal yang 454.990 ha dan produktivitas mencapai 80 ton/ha, sehingga produksi bisa mencapai 3,5 juta ton.
Namun, lanjut dia, masalah rendemen ini sangat tergantung dengan iklim. Jika curah hujan berlebihan, maka rendemen akan turun. Penurunan rendemen tebu ini karena di beberapa daerah curah hujan masih cukup tinggi. Akibatnya, bobot tanaman tebu bisa naik, tapi rendemen turun. “Selain itu, lahan yang basah menjadi hambatan dalam pengangkutan. Akibatnya, pabrik kurang pasokan tebu, sehingga efisiensi PG terganggu,” tegasnya.
Tak capai target
Nurnowo menegaskan, meskipun tahun 2013 produksi gula tidak mencapai target, namun untuk kemenuhi kebutuhan gula konsumsi sebenarnya Indonesia tidak perlu impor gula lagi. Kebutuhan gula konsumsi sekitar 2,4 juta ton, sementara produksi gula nasional tahun 2013 mencapai 2,53 juta ton.
“Dari produksi gula tahun 2013, kita masih mempunyai kelebihan sedikit. Jadi, untuk gula konsumsi kita tidak perlu impor karena produksi dalam negeri sudah mencukupi,” katanya.
Untuk tahun 2014, lanjutnya, stok gula konsumsi juga sudah tersedia untuk lima bulan ke depan (Januari-Mei). Menurut dia, stok gula konsumsi mencapai sekitar 1,1 juta ton dengan asumsi kebutuhan 220.000 ton/bulan.
Dengan stok tersebut, Indonesia tidak perlu khawatir karena pada bulan Februari, PG di luar Jawa seperti Lampung dan Sumsel sudah masuk musim giling. “Meskipun jumlah produksinya sedikit, namun dapat untuk memenuhi kebutuhan dalam jangka waktu tertentu,” ungkapnya.
Dia mengatakan, jika pemerintah tetap melakukan impor gula, bukan berarti produksi nasional tidak mampu mencukupi kebutuhan dalam negeri. “Impor gula tahun depan lebih bersifat politis. Tahun 2014 adalah tahun politik. Jadi, impor itu dianggap perlu untuk pengamanan stok nasional,” tegasnya.
Nurnowo mengatakan, banyak masalah yang mempengaruhi produksi gula dan produktivitas tanaman tebu, di antaranya sulitnya pengembangan areal baru dan mempertahankan lahan yang sudah ada. Selain itu, pembebasan lahan dan proses ganti rugi sangat rumit.
Sementara areal pengembangan di luar Jawa terkendala oleh terbatasnya infrastruktur. Di samping itu, sarana irigasi/pengairan, terutama untuk wilayah pengembangan di lahan kering. “Keterbatasan modal membuat petani tidak maksimal menerapkan teknologi dalam usaha,” ungkapnya.
Sedangkan masalah yang dihadapi di off farm adalah efisiensi pabrik (overall recovery) yang masih jauh di bawah standar, sehingga membuat biaya produksi cukup tinggi. Di samping itu, diversifikasi produk berbasis tebu untuk meningkatkan daya saing industri gula belum berkembang. “Masalah lain belum optimalnya lembaga riset dan upaya peningkatan kinerja pergulaan nasional,” tegas Nurwono.
Butuh dukungan
Menurut dia, untuk mencapai swasembada gula perlu dukungan semua lembaga atau kementerian terkait. Peran Kementerian Pertanian (Kementan) hanya sekitar 20%. Selebihnya berada di luar Kementan. Untuk pengembangan industri hilir berbasis perkebunan dan pemberian insentif untuk pengembangan industri hilir berbasis perkebunan ada di Kementerian Perindustrian. Sedangkan untuk penerapan kebijakan ekspor-impor dan pengaturan harga yang kondusif perlu dukungan Kemendag.
Begitu juga Kementerian Keuangan untuk mendukung penyediaan dan fasilitasi pendanaan (skim pembiayaan yang sesuai dengan karakteristik agribisnis perkebunan), pembebasan, penihilan dan keringanan pajak serta berbagai pungutan yang dibebankan kepada petani/produsen produk primer. Sedangkan Kementerian Pekerjaan Umum dari sisi penyediaan/perbaikan sarana jalan penghubung antara sentra produksi dengan outlet pemasaran, jembatan dan sebagainya.
“Jika semua kementerian dan kelembagaan terkait berkomitmen mendukung swasembada gula, maka kesulitan dan kendala yang selama ini terjadi dapat diselesaikan bersama,” katanya.
Selama ini, lanjutnya, tugas mencapai swasembada pangan terutama gula, sepertinya dibebankan 100% kepada Kementerian Pertanian. Padahal, masih banyak lembaga yang terlibat. Jamalzen
Kemendag Harus Pantau Peredaran Rafinasi
Kementerian Perdagangan (Kemendag) diminta melakukan pemantauan peredaran gula rafinasi agar gula untuk industri makanan dan minuman (mamin) ini tidak beredar di pasar umum.
“Pengawasan ini perlu, karena gula rafinasi untuk kebutuhan industri masih akan terus diimpor,” kata Direktur Pasca Panen dan Pembinaan Usaha Direktorat Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian, Irmi Jati Nurbahar pada Diskusi “Evaluasi Swasembada Pangan 2013” di Jakarta, Kamis (19/12).
Dia mengatakan, Kementan memperkirakan impor gula rafinasi pada tahun mendatang masih berlangsung untuk memenuhi kebutuhan industri mamin. “Impor gula ini upaya memenuhi suplai kebutuhan industri. Untuk kebutuhan konsumsi kita tidak perlu impor,” tegasnya.
Irmi mengatakan, gula impor atau gula rafinasi tidak boleh bocor ke pasar konsumsi karena dapat mengganggu pasar gula konsumsi yang akhirnya akan merugikan petani.
Dia berharap Kemendag dapat memantau jalannya gula rafinasi. Tujuannya agar gula itu hanya beredar di industri. “Impor diperuntukan hanya industri tidak boleh dijual ke pasar konsumsi. Inilah yang mungkin ada bocor, tentunya pengawasannya pada Kementerian Perdagangan,” jelasnya
Industri gula tidak bisa dipisahkan dari sektor perkebunan tebu, karena bahan baku utama industri gula adalah tebu. Irmi mengatakan, hanya tebu varietas unggul yang tahan pada musim hujan. Jika sudah tahan hujan, rendemen pun tidak akan berkurang. Rendemen atau kadar gula pada tebu saat ini di kisaran 7%.
Sementara itu, Kepala Subdit Tanaman Semusim Direktorat Jenderal Perkebunan, Gede Wirasuta mengatakan, pada musim penghujan petani tebu menghadapi tantangan terutama pembengkakan anggaran produksi karena truk pengangkut tebu tidak bisa masuk ke areal tanaman tebu.
“Jika pada musim kemarau biaya tebang dan angkut sekitar Rp4.500-Rp6.000/kuintal, maka pada musim hujan naik sampai Rp18.000- Rp20.000/kuintal,” katanya.
Dia menambahkan, biaya tersebut diperparah dengan adanya pabrik yang tutup seperti Gondang Baru di Klaten dan Seragi di Jawa Tengah. Dampaknya, petani tebu di sekitar pabrik yang tutup mengirimkan tebunya lebih jauh. “Tentunya petani makin terbebani tingginya biaya angkut. Ke depan, dibutuhkan manajemen tebang muat angkut agar terkelola dengan baik,” paparnya. Andy Nugroho