HIMKI Jangan Hanya Fokus di Jawa

Sebagai industri yang menjadi salah satu  andalan ekspor Indonesia, industri mebel dan kerajinan harus mampu dikembangkan secara merata di seluruh Indonesia. Karena itu, Menteri Perindustrian, Airlangga Hartarto meminta Himpunan Industri Mebel dan Kerajinan Indonesia (HIMKI) tidak hanya fokus pada wilayah Jawa saja tetapi juga mampu  mengembangkan industri mebel hingga ke daerah-daerah di luar Jawa.

“Banyak bahan baku yang tersedia di luar Pulau Jawa, misalnya di Sulawesi dan Kalimantan. Saya menantang HIMKI mengembangkan usaha ke berbagai daerah, tidak hanya di Jawa,” kata Menperin Airlangga Hartarto, usai menghadiri pengukuhan pengurus HIMKI, di Jakarta, Kamis (28/7).

Menurutnya, pelaku industri juga perlu mendekatkan usahanya hingga ke perbatasan, sehingga tidak hanya dekat dengan bahan baku, namun juga dengan pasar ekspor.

“Jadi, lima tahun kedepan harus ada di luar Jawa. Wilayah kita kan luas, jangan sampai terjadi ketimpangan di perbatasan,”ucapnya.

Menperin juga menjelaskan kalau industri mebel dan kerajinan merupakan salah satu industri andalan, karena menggunakan 100 % bahan baku dari dalam negeri dan berkontribusi menyumbang ekspor yang besar, yakni US$ 2 miliar per tahun.

Terkait permintaan Menperin,  Ketua Umum HIMKI, Soenoto, menyampaikan, ia akan mendorong anggotanya untuk mengembangkan usahanya ke luar Jawa dan mendekati pasokan bahan baku.

“Caranya ya ekspansi dan investasi baru. Memang benar kata Pak Menteri, banyak bahan baku yang tersedia di luar Jawa. Jadi, kami siap mendekat ke industr hulu,” ucapnya..

Merugi

Dalam kesempatan itu, Soenoto juga menjelaskan kalau kebijakan wajib mengantongi SVLK untuk furniture yang diekspor telah memangkas pendapatan sekitar US$360 ribu per tahun akibat pengusaha harus melakukan verifikasi dua kali atas produk kayu yang diekspornya di hulu dan hilir.

Karena itu  HIMKI mengusulkan agar penerapan SVLK, cukup di sektor industri hulu saja. Sehingga tidak perlu dua kali diterapkan. Terlebih aturan wajib SVLK diterbitkan pemerintah untuk mencegah pencurian kayu yang masih marak terjadi saat ini.

Dia berharap kabinet baru pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) dapat mengkaji ulang penerapan kebijakan SVLK di bagian hilir industri furniture. Pasalnya, SLVK di industri hilir furniture tidak berguna dan kerap membuat pengusaha kehilangan cuan dalam jumlah yang tidak sedikit.

Selain itu, berkaca pada sesama negara pengekspor kayu, Soenoto mengatakan Uni Eropa tidak memaksa eksportir furniture China dan Vietnam untuk mengantongi SVLK. Akibatnya harga furniture Indonesia lebih tinggi karena pengusahanya harus mengeluarkan biaya administrasi untuk mendapatkan sertifikat tersebut.

“Kerugian karena harus mengurus sertifikasi SVLK itu sekitar Rp30 juta untuk industri kecil dan bisa sampai Rp75 juta hingga Rp100 juta untuk industri besar. Padahal itu dikejar agar bisa meningkatkan ekspor tapi dari segi biaya justru tidak sebanding,” katanya. Buyung N