India Turunkan Pajak Impor CPO

Keputusan pemerintah memangkas pungutan ekspor (PE) minyak sawit mentah (CPO) mendapat sambutan hangat pengusaha. Apalagi, India, salah satu pasar terbesar CPO, menurunkan bea masuk impor 5% mulai 1 Juli. Harga minyak sawit pun bergairah karena India diprediksi akan menyerap lebih banyak minyak sawit ketimbang minyak nabati lainnya.

Langkah pemerintah memangkas pungutan ekspor CPO benar-benar tepat waktu. Pasalnya, guna meredam harga di dalam negeri, pemerintah India memangkas bea masuk impor minyak sawit mentah (CPO) 5% dan diprediksi bakal mengerek naik impor CPO karena makin memperlebar harga dibanding minyak nabati lainnya. Dengan pemangkasan itu, yang berlaku mulai efektif 30 Juni sampai 30 September 2021, maka bea masuk impor CPO ke India menjadi 30,25%, dari semula 35,75%. Dari sisi nilai, pengurangan bea masuk impor itu setara dengan 55-60 dolar AS/ton.

Keputusan itu mendapat respon positif pasar. Harga kontrak CPO untuk September di Bursa Malaysia melonjak 3,4% pada pembukaan perdagangan 30 Juni dan angka itu tercatat level tertinggi sejak 11 Juni. “India akan membeli lebih banyak minyak sawit ketimbang minyak nabati lainnya pada Juli,” ujar Sathia Varqa, pemilik Palm Oil Analytics seperti dikutip AgriCensus, Rabu (30/6/2021). Menurut data Departemen Pertanian AS (USDA), impor minyak sawit India tahun 2021 ini diperkirakan mencapai 8,3 juta ton, sementara minyak kedele dan minyak bunga matahari ditaksir masing-masing 3,7 juta ton dan 2,5 juta ton.

Pasar India memang menantang. Sebelumnya, minyak sawit Indonesia berjaya di pasar CPO terbesar dunia ini, sebelum disalip saingan beratnya, Malaysia. Ekspor CPO Malaysia ke India melonjak 238% menjadi 2,42 juta ton selama tujuh bulan pertama tahun pemasaran 2020-2021 yang dimulai 1 November, demikian data yang dikumpulkan The Solvent Extractors’ Association of India (SEA), asosasi pabrik dan trader minyak nabati India. Terpelesetnya Indonesia itu dinilai akibat tingginya pungutan ekspor yang diterapkan pemerintah Indonesia, di mana selama tujuh bulan itu ekspor Indonesia ke India anjlok 32% tinggal 2 juta ton. “Perusahaan perkebunan sawit Malaysia mendapat untung dari penerapan pungutan ekspor Indonesia. Pangsa pasar mereka menguat dengan menawarkan minyak sawit lebih murah dari pasok yang ditawarkan Indonesia,” ujar Direktur Eksekutif SEA, B.V. Mehata seperti dikutip Reuters.

Untungnya pemerintah tanggap. Terhitung mulai 2 Juli 2021, pungutan ekspor CPO pun diturunkan, berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 76/PMK.05/2021 tentang Perubahan Kedua Atas PMK Nomor 57/PMK.05/2020 tentang Tarif Badan Layanan Umum Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS). Melalui beleid yang diundangkan pada 25 Juni 2021 dan mulai berlaku tanggal 2 Juli 2021 itu, batas pengenaan tarif progresif berubah yang semula pada harga CPO 670 dolar AS/ton menjadi 750 dolar AS/ton. “Apabila harga CPO di bawah atau sama dengan 750 dolar AS/ton, maka tarif pungutan ekspor tetap, yaitu misalnya untuk tarif produk crude adalah sebesar 55 dolar AS/ton,” ujar Direktur Utama Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS), Eddy Aburrachman.

Kebijakan penurunan PE itu dipastikan berdampak positif ke volume ekspor CPO Indonesia yang dalam 6 bulan terakhir mengalami penurunan. “Kebijakan tersebut akan berdampak positif terhadap ekspor CPO,” kata Ketua Umum Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo), Gulat Manurung Sabtu (3/7/2021). Hanya saja dia menilai butuh waktu cukup lama untuk mengembalikan harga tandan buah segara (TBS) ke posisi Rp2.500/kg. “Mengembalikan harga TBS ke harga Rp2.500/kg itu butuh waktu. Harga TBS naiknya sedikit-sedikit, tetapi turunnya langsung amblas,” ujarnya.

Persoalannya, penurunan PE juga berimbas ke penerimaan Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS), yang salah satu tugasnya mendanai peremajaan sawit rakyat (PSR). Direktur Tanaman Tahunan dan Penyegar, Ditjen Perkebunan Kementan, Heru Tri Widarto mengakui terjadi penurunan ini. Hanya saja, katanya, itu tidak terlalu mempengaruhi keberlanjutan PSR, karena BPDPKS telah mengalokasikan dana untuk PSR sendiri. “Untuk alokasinya (PSR) sendiri yaitu Rp4,5-5 triliun dan sementara untuk permasalahan pungutan tersebut belum memiliki kendala, BPDPKS pasti sudah menghitung dana tersebut untuk masing-masing keberlanjutan layanannya,” ujar Heru, Jumat (2/7/2021). AI