Insentif Dorong Petani Tidak Jual Sawah

Kalangan petani menyambut baik keluarnya Keluarnya Perpres No. 59 Tahun 2019 tentang Pengendalian Alih Fungsi Lahan dan dipastikan tidak akan mengalihfungsikan lahannya karena adanya insentif yang diberikan pemerintah.

“Salah satu insentif yang diberikan pemerintah nantinya adalah Pembebasan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB). Ini akan mendorong petani untuk pertahankan lahan sawahnya,” ujar Ketua Umum Kontak Tani Nelayan Andalan (KTNA), Winarno Tohir kepada Agro Indonesia di Jakarta, Jumat (11/10/2019).

Alih fungsi lahan menjadi perhatian Kementan, setelah keluarnya hasil pemotretan lahan baku sawah oleh Badan Pusat Statistik (BPS), Badan Informasi Geospasial (BIG) dan Lembaga Antariksa dan Penerbangan Nasional (LAPAN), yang menyebutkan telah terjadi penurunan luas sawah di Indonesia.

Pada tahun 2013, luas lahan sawah masih 7,75 juta hektare (ha), namun lima tahun berselang (tahun 2018) berkurang menjadi 7,1 juta ha atau terjadi penurunan sekitar 650.000 ha. Konversi lahan ini terjadi untuk perumahan, industri dan infrastruktur, seperti jalan.

Dengan keluarnya Perpres No. 59 tahun 2019 tentang Pengendalian Alih Fungsi Lahan Sawah, maka diharapkan tidak ada lagi alih fungsi lahan sawah menjadi lahan non sawah, seperti lahan perumahan, kawasan industri dan lainnya.

Bagi petani yang mempertahankan atau tidak menjual sawahnya, seusai pasal 18 Perpres 59/2019, pemerintah akan memberikan insentif. Pasal ini diyakini Winarno akan menarik petani pemilik sawah untuk masuk ke dalam peta lahan  sawah  dilindungi (PLSD).

“Insentif ini untuk merangsang petani agar tidak terjadi alih fungsi lahan. Jika tidak ada insentif itu, ya nantinya akan sulit dan petani bisa menjual sawahnya seperti yang terjadi selama ini,” katanya.

Berdasarkan Perpres No. 59/2019 pasal 20 ayat 2, insentif yang akan diberikan pemerintah adalah sarana dan prasarana pertanian,  sarana dan prasarana  irigasi, percepatan sertifikasi tanah, dan/atau bentuk lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Nah, “bentuk lain” dalam pasal itu yang dimaksud Winarno adalah berupa Kartu Tani dan Pembebasan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), dan Modal Awal untuk usaha tani.

“Pemberian insentif ini menjadi daya Tarik. Kita harapkan pemilik lahan sawah mempertahankan lahannya karena insentif yang menarik adalah pembebasan PBB, pemberian Kartu Tani dan sarana prasarana produksi lainnya,” tegas Winarno.

Menurut dia, insentif yang akan diberikan itu, baik berupa sarana produksi, mapun insentif lainnya, akan membuat petani mempertahankan lahan sawahnya. Meskipun pemberian insentif juga disesuaikan dengan kemampuan keuangan negara (pasal 21), namun Winarno yakin insentif itu tetap akan jadi prioritas, sehingga tidak ada alasan untuk tidak ada dana,

“Negara punya anggaran.  Jadi, bisa diatur walau porsinya akan dibagi-bagi.  Semuanya ada porsinya, sehingga tidak ada lagi pertanyaan tidak ada dana,” tegasnya.

Semua dijadikan sawah abadi

Menyinggung soal luas lahan baku sawah 7,1 juta ha, Winarno berharap semua lahan yang tersisa tersebut ditetapkan sebagai lahan sawah abadi.

Menurut dia, lahan itu merupakan lahan subur. Tingkat kesuburan lahan tersebut banyak terdapat di Jawa. Selain itu, lahan baku sawah dari tahun ke tahun semakin susut, sehingga lahan tersebut sudah seharusnya dijadikan sebagai lahan abadi.

Sebelumnya, Menteri Agraria dan Tata Ruang (ATR)/Badan Petanahan Nasional (BPN), Sofyan A Djalil mengatakan, tidak semua lahan baku sawah yang seluas 7,1 juta ha itu dijadikan sawah abadi atau PSLD.

Namun, Pelaksana Tugas (Plt.) Direktur Perluasan dan Perlindungan Lahan, Ditjen Prasarana dan Sarana Pertanian (PSP) Kementan, Mulyadi Hendiawan mengatakan, Pemerintah Daerah (Pemda) telah memberikan data tentang luas sawah di daerah masing-masing.

Dengan demikian, luas baku lahan sawah sangat memungkinan akan bertambah mengingat sawah di daerah-daerah banyak  yang tidak terekam pada saat pemotretan yang dilakukan BPS, Badan Informasi Geospasial (BIG), dan Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN).

Mulyadi, yang juga Sekretaris Ditjen PSP menyebutkan, Pemda diminta untuk memvalisadi data luas baku lahan pertanian yang dimiliki. Hal ini penting dilakukan, terutama  kebutuhan alokasi pupuk subsidi berdasar luas areal.

Menurut dia, kesalahan data luas baku lahan pertanian ini memang terjadi di sejumlah daerah di hampir semua Provinsi, sehingga hal itu mempengaruhi jatah pupuk yang diterima daerah.

“Untuk sementara, daerah yang kekurangan pupuk bersubsidi memakai pupuk non-subsidi sebagai pengganti pupuk subsidi pada musim tanam gadu ini. Sampai proses validasi diselesaikan masing-masing daerah,” ujarnya.

Hal itu disebabkan karema saat ini Kementan bersama Kementerian Agraria Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) dan BIG tengah memvalidasi lahan sawah yang dinolkan dari peta lahan pertanian.

Akibat dinolkannya data lahan sawah, sejumlah daerah tak lagi mendapat jatah pupuk bersubsidi. Contohnya, di Lampung Selatan, di mana ada titik koordinat yang dihapus. Ternyata, di sana  masih ada lahan sawah 600 ha.

Pupuk bersubsidi berkurang

Dirjen PSP, Kementan Sarwo Edhy mengatakan, dari segi volume ada sedikit pengurangan jumlah pupuk bersubsidi. Pasalnya, Kementan harus menyesuaikan dengan hitungan BPS. Tahun ini alokasi yang disiapkan  sebesar 8,6 juta ton.

Pengurangan alokasi pupuk bersubsidi juga dialami Kabupaten Solok Selatan, Sumatera Barat. Pada tahun 2019 ini, alokasi pupuk berkurang menjadi 9.006,8 ton dibandingkan tahun 2018 sebesar 10.525 ton.

“Berdasarkan data luas lahan sawah antara BPS dan pertanian ternyata berbeda cukup signifikan, yaitu 2.525 ha dan Rencana Definitif Kebutuhan Kelompok (RDKK) langsung dikirim secara daring ke pusat oleh petugas kelompok, sehingga mempengaruhi jatah alokasi pupuk,” tegasnya.

Pemda lainnya juga meminta revisi kebutuhan pupuk. Sebab, jumlah kebutuhan para petani untuk bercocok tanam tersebut tidak sesuai dengan data yang disetorkan pemerintah daerah.

Seperti yang terjadi Provinsi Sumatra Utara. Gubernurnya, Edy Rahmayadi, sudah mengirim surat kepada Kementan agar jumlah pupuk bersubsidi untuk daerahnya ditambah.

Gara-gara salah memberikan data luas baku lahan pertanian di Sumatera Utara (Sumut), alokasi pupuk bersubsidi untuk Provinsi Sumut dikurangi Kementan.

Kepala Dinas Ketahanan Pangan dan Peternakan M Azhar mengatakan, pengurangan alokasi pupuk berawal dari penetapan Kementerian Agraria dan Tata Ruang/BPN bahwa lahan di Sumut berkurang 171.000 ha.

“Data ini yang menjadi acuan Kementan mengalokasikan pupuk bersubsidi. Sementara setelah kita lakukan pendataan di lapangan berdasarkan data seluruh PPL dan ditandatangani kepala desa dan camat, total lahan sawah kita 397.000 ha, hanya kurang 37.000 ha,” ucap Azhar.

Keluhan yang sama juga disampaikan pemerintah Kabupaten Barito Kuala beberapa waktu lalu. Dinas Pertanian Batola yang diwakili Sri Haryani, menyatakan jatah pupuk subsidi untuk Batola berkurang.

Tahun 2018 pupuk subsidi sebanyak 9.000 ton dan tahun ini berkurang menjadi 3.000 ton. Ini akibat berkurangnya luas baku lahan yang semestinya 100.000 hektar menjadi tinggal 35.000 hektar berdasarkan data BPN.

Sawah Tak Tercatat di BPN

Kementan sendiri terus melakukan konsolidasi pemetaan titik koordinat luas baku lahan sawah yang belum terdata di BPN. Direktur Serealia Ditjen Tanaman Pangan, Kementan, Bambang Sugiharto mengatakan, luas baku lahan sawah Provinsi Sumatera Selatan (Sumsel) yang telah diinput BPN tahun 2018 seluas 387.561 ha. Sementara data luas lahan sawah Provinsi Sumsel tahun 2017 berdasarkan pada laporan Statistik Pertanian (SP) Lahan BPS seluas 621.903 ha.

“Kalau kita lihat data tersebut masih kekurangan luas lahan baku sawah yang belum dipetakan BPN seluas 234.342 hektar,” ujar Bambang di Palembang, Sabtu (5/10/2019).

Bambang menjelaskan, upaya yang dilakukan Kementan dengan pemetaan luas lahan sawah melalui aplikasi ArcGIS. Kementan membentuk Tim ArcGIS yang turun ke lapangan selama sebulan ini. Saat ini baru mencapai luas 2.400 ha yang di input dari Kabupaten Ogan Komering Ilir 1.600 ha dan Kabupaten Musi Rawas 800 ha.

“Jadi dari hasil tersebut, yang belum dipetakan masih sekitar 231.942 ha,” jelasnya.

Menurut Bambang, kendala yang dihadapi di antaranya lokasi sawah yang jauh dan belum terdapat jaringan internet. “Tujuan agar dapat memetakan lahan-lahan sawah yang belum di input BPN,” ujarnya.

Koordinator Laporan Kecamatan Air Saleh Kabupaten Banyuasin, Syamsul Joni mengapresiasi dengan adanya kegiatan tersebut. Menurut dia cukup mudah untuk menggunakan aplikasi (aps.Collector) yang diajarkan tim pusat.

“Selanjutnya mudah-mudahan aplikasi ini dapat mendongkrak penambahan angka luas lahan padi yang belum masuk ke data BPN,” tuturnya.

Kepala Bidang Tanaman Pangan Dinas Pertanian dan Tanaman Pangan Hortikultura Provinsi Sumatera Selatan, Ilfantria menyebutkan terkait evaluasi Luas Tambah Tanam (LTT) April-Oktober 2019 untuk komoditi padi se-Provinsi Sumsel tercatat realisasi seluas 375.378 ha.

Sedangkan total luas LTT untuk Provinsi Sumsel hingga September 2019 telah mencapai 874.681 ha.”Kami berharap di bulan Oktober turun hujan dan jika benih sudah tersalur maka akan segera di lakukan penanaman,” tegasnya. Atiyyah/PSP