Setahun sudah Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) berlaku secara efektif dalam proses ekspor. Berbekal sistem tersebut, pemerintah mengklaim sejumlah capaian. Termasuk melesatnya kinerja ekspor produk berbasis kayu Indonesia. Berdasarkan data Sistem Informasi Legalitas Kayu (SILK), nilai ekspor produk kayu Indonesia sampai pertengahan Desember 2013 mencapai 5,6 miliar dolar AS.
Masih berdasarkan data SILK, jika diperbandingkan, ada peningkatan nilai ekspor yang cukup signifikan untuk produk kehutanan yang masuk kelompok A (pulp, kertas, bangunan kayu prafabrikasi, panel dan woodworking). Pada periode Januari-November nilai ekspor produk kehutanan kelompok A mencapai 5,2 miliar dolar AS. Sementara pada periode yang sama tahun 2012 berdasarkan catatan BPS, nilai ekspor hanya tercatat 4,69 miliar dolar AS.
Capaian yang juga dianggap fenomenal adalah ditekennya perjanjian kemitraan sukarela untuk penegakan hukum, perbaikan tata kelola dan perdagangan sektor kehutanan antara Indonesia dengan Uni Eropa (UE), di mana SVLK adalah tiang pancang perjanjian tersebut.
Namun, di balik kemilaunya, SVLK menyimpan bom waktu yang siap meledak. Mesiunya adalah masih sedikitnya wajib SVLK yang telah memperoleh sertifikat legalitas kayu (LK) (lihat tabel). Mereka terutama adalah wajib SVLK yang berskala rakyat.
Merespon situasi tersebut, Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan menjelaskan, pihaknya sudah berkomunikasi dengan Kementerian Perdagangan untuk memberi tambahan waktu bagi industri furnitur skala kecil guna memperoleh sertifikat LK. “Sudah dikomunikasikan, ada tambahan waktu bagi industri furnitur,” kata Zulkifli di sela pertemuan dengan Asosiasi Pengrajin Industri Kecil (APIK) di Desa Selat, Kabupaten Buleleng, Bali, Senin (30/12/2013).
Hasilnya adalah terbitnya Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) No.81/M-DAG/PER/12/2013. Ketentuan tersebut membuat industri furnitur yang belum memiliki sertifikat LK masih diperkenankan untuk melakukan ekspor dengan batas akhir 31 Desember 2014 (lihat: Potensi Rugi 900 Juta Dolar AS).
Tapi langkah tersebut tidak menjinakkan persoalan yang sebenarnya. Sebab, sejatinya perkara ada di hulu. Ya, mengacu ketentuan SVLK, seluruh sumber kayu bulat harus memegang sertifikat LK terhitung 31 Desember 2013. Termasuk masyarakat pemilik hutan hak (populer dengan sebutan hutan rakyat) seperti diatur dalam Peraturan Menteri Kehutanan No. P.38/Menhut-II/2009 jo. P. 68/Menhut-II/2011 jo. P.45/Menhut-II/2012 jo. P.42/Menhut-II/2013 pasal 18 ayat 5.
Asal tahu, kayu yang berasal dari hutan rakyat adalah penopang utama industri kehutanan nasional saat ini, mulai dari furnitur hingga plywood dan woodworking. Kayu hutan rakyat juga menjadi penyangga perekonomian bagi jutaan jiwa.
Menurut data Kemenhut, luas hutan rakyat di Jawa mencapai 2,7 juta hektare (ha) dengan volume produksi mencapai 2 juta m3/tahun. Sedang luas hutan rakyat di luar Jawa yang berhasil teridentifikasi tahun 2012 seluas 33,1 juta ha dengan potensi tebangan 746,8 juta m3. Sementara hutan rakyat yang telah memperoleh sertifikat LK baru 72 unit manajemen dengan luas 40.523 ha saja. Jika diperbandingkan dengan luas hutan rakyat yang berada di Jawa saja, luas hutan rakyat yang telah memperoleh sertifikat LK hanya 1,5%!
Jika SVLK diterapkan secara konsisten, berarti hampir seluruh kayu hutan rakyat tidak bisa bergerak dan dimanfaatkan saat ini. Sebab, tanpa sertifikat LK, kayu rakyat tak ada bedanya dengan kayu ilegal yang tidak bisa perdagangkan.
Tanggung jawab Menhut
Ketua Forum Lembaga Verifikasi Legalitas Kayu (LVLK) Robianto Koestomo pun tegas menyebut hal ini sebagai tanggung jawab Menhut Zulkifli Hasan. “Menhut harus bertanggung jawab untuk situasi saat ini, di mana kayu hutan rakyat tak bisa dimanfaatkan. Akibat peraturan yang dibuatnya, banyak kayu rakyat kini malah bersatus ilegal,” cetus dia di Jakarta, Jumat (3/1/2014).
Robianto menyatakan, dirinya sudah mengingatkan situasi saat ini sejak beberapa bulan yang lalu. Namun, peringatan yang disampaikan tak direspon cepat. Padahal, katanya, semua pihak sudah mengetahui soal minimnya hutan rakyat yang telah memperoleh sertifikat LK. “Pengelola hutan rakyat seharusnya diberi keringanan dan kemudahan untuk memperoleh sertifikat LK,” ujarnya.
Robianto membandingkan situasi yang dihadapi pada masyarakat pengelola hutan rakyat dengan apa yang terjadi pada pengusaha pemegang izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu (IUPHHK). Meski dengan modal besar, pemegang IUPHHK diberi tenggat waktu hingga akhir 2013 untuk memperoleh sertifikat LK sejak ketentuan SVLK diberlakukan tahun 2009, atau lebih dari 4 tahun.
Seharusnya, kata dia, masyarakat pengelola hutan rakyat dengan keterbatasan dana dan kapasitas diberi tenggat waktu yang lebih longgar. “Pengelola hutan rakyat hanya diberi waktu sekitar satu tahun sejak mulai diwajibkan mempunyai SVLK pada Desember 2012. Jelas kesulitan lah,” ujarnya.
Robianto mengingatkan, berdasarkan hasil joint assessment SVLK antara Indonesia-Uni Eropa, hutan rakyat sejatinya disarankan untuk tidak perlu dikenai kewajiban sertifikasi LK. Hal itu tak lepas dari fakta bahwa hutan rakyat murni berada di wilayah privat. “Tanah, tanah sendiri, bibit sendiri, nyangkul sendiri, saat mau dipanen malah dikenai kewajiban,” katanya.
Kemudahan
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Kayu Gergajian dan Kayu Pertukangan (ISWA) Soewarni juga menilai hutan rakyat selayaknya tidak perlu diwajibkan untuk sertifikasi SVLK. Sebab, hutan hak adalah lahan privat yang seharusnya tidak diatur pemanfaatannya. “Hutan hak kan bukan di kawasan hutan, jadi sebaiknya tidak perlu dipersulit pemanfaatannya,” kata Soewarni.
Dia menjelaskan, melesatnya pemanfaatan kayu rakyat beberapa tahun belakangan dikarenakan ada kemudahan untuk pengangkutannya. Hal itu kemudian berdampak langsung kepada semakin luasnya hutan rakyat.
Jika kemudian dipersulit, Soewarni khawatir tren positif hutan rakyat bisa meredup. “Semakin banyak kayu rakyat dimanfaatkan, semakin semangat masyarakat menanam dan mendukung perluasan hutan rakyat,” kata Soewarni.
Untuk hutan rakyat, Kemenhut memang menawarkan solusi untuk sertifikasi SVLK misalnya dengan sertifikasi berkelompok. Meski demikian, Soewarni menilai ketentuan tersebut tidak membantu banyak, khususnya pada mereka yang memiliki lahan terbatas dan jumlah pohon sedikit. “Kalau ada orang menanam pohon 20 batang di lahan miliknya kemudian mau memanfaatkannya, masa mesti harus punya sertifikat SVLK?” katanya.
Meski demikian, Soewarni menyatakan pihaknya akan tetap mengikuti ketentuan jika pemerintah teguh mewajibkan pengelola hutan rakyat menggengam sertifikat LK. Hanya saja dia meminta Kemenhut benar-benar memberi kemudahan dalam proses sertifikasi hutan rakyat. Saat ini prosesnya masih rumit bahkan sampai melibatkan Badan Pertanahan Nasional (BPN) untuk verifikasi.
“Dulu ada janji agar verifikasi hutan rakyat cukup berdasarkan KTP saja. Ini yang saya harap benar-benar diwujudkan. Jangan masyarakat dibebani dengan aturan yang menyulitkan,” katanya. Sugiharto
Perkembangan SVLK (11 Desember 2013)
Sertifikasi | Lulus (unit/luas hektare) | Tidak lulus (unit/luas hektare) | Proses (unit/luas hektare) | Jumlah (unit/luas hektare) |
PHPL (hutan tanaman) | 32 (3.745.939) | 21 (755.183) | – | 53 (4.501.122) |
PHPL (hutan alam) | 92 (10.475.872) | 20 (910.763) | 15 (1.147.370) | 127 (12.534.005) |
PHPL Kesatuan Pengelolaan Hutan | 6 (157.890) | – | – | 6 (157.890) |
VLK hutan tanaman | 42 (1.460.675) | – | – | 42 (1.460.675) |
VLK hutan alam | 23 (1.658.060) | – | – | 23 (1.658.060) |
VLK hutan hak | 72 (40.523) | 4 (±1.500) | – | 76 (42.023) |
VLK industri | 629 (12 resertifikasi) | 27 | 181 | 837 |
Sumber: Kemenhut
Keterangan:
- PHPL: Pengelolaan HUtan Produksi Lestari
- VLK: Verifikasi Legalitas kayu
Ekspor Produk Kayu Berdasarkan SVLK tahun 2013
Info | Total |
Dokumen | 79.147 |
Negara Tujuan | 155 |
Pelabuhan Muat | 70 |
Pelabuhan Bongkar | 1.115 |
HS Code (10 digit) | 132 |
Berat Bersih (Ton) | 8.087.061,13 |
FOB (.000 USD) | 6.130.886,06 |
Sumber: SILK Kemenhut