Jargon Kegiatan RHL Kurang Membumi

Penanaman mangrove
Pramono DS

Oleh: Pramono DS (Pensiunan Ribawan, Penulis Buku Seputar Kehutanan)

Kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan yang biasa disebut RHL telah dilakukan oleh pemerintah dan masyarakat luas selama lebih dari empat dasa warsa, bila dihitung dari terbitnya Instruksi Presiden tentang Reboisasi dan Penghijauan tahun 1976, yang merupakan bagian dari program penyelamatan hutan, tanah dan air (PHTA) dari Departemen Pertanian saat itu. Kegiatan yang dimaksudkan untuk mengatasi dan mengendalikan masalah lingkungan khususnya kekeringan, banjir, banjir bandang dan tanah longsor ini telah dilakukan dengan berbagai macam cara, metode, teknik dan pendekatan yang berbeda-beda.

Setiap rezim pemerintahan lima tahunan, mempunyai jargon yang berbeda-beda dalam memandang kegiatan RHL ini. Namun faktanya di lapangan, dalam praktiknya kegiatannya sama saja yaitu revegetasi (penanaman pohon-pohonan) di dalam dan di luar kawasan hutan, serta membuat bangunan teknik sipil seperti dam pengendali, dam penahan, gully plug, bangunan terjunan air, saluran pembungan air, teras individu, guludan dan bangku, dan sejenisnya di luar kawasan hutan. Tak lupa pula pembangunan demplot (unit percontohan) pengelolaan pertanian lahan kering baik berbentuk unit percontohan usaha pelestarian sumberdaya alam (UP-UPSA) maupun unit percontohan usaha pertanian menetap (UP-UPM).

Seharusnya dalam kegiatan RHL, tidak diperlukan adanya jargon-jargon semacam itu apabila regulasi yang dibuat dipatuhi aturan dan tata waktu penyusunannya (undang-undang (UU), peraturan pemerintah (PP) maupun peraturan menteri (Permen)), sehingga pedoman di lapangan (teknis maupun administrasi) jelas dan tidak multi tafsir lagi. Namun kenyataannya tidak demikian, UU No. 5/1967 tidak diikuti dengan PP yang mengatur RHL, tetapi hanya diatur oleh Instruksi Presiden (Inpres), kemudian UU No. 41/1999 meskipun telah diikuti dengan terbitnya PP No. 76/2008 tentang rehabilitasi dan reklamasi hutan, namun penyusunannya sangat terlambat setelah sembilan tahun kemudian dan kemudian direvisi lagi 11 tahun kemudian dengan PP No. 26/2020.

Apa saja jargon kegiatan RHL yang selama ini ada? Bagaimana kegiatan yang dilakukan dari masing-masing jargon tersebut? Masihkan pemerintah menggunakan jargon lagi dan seterusnya?

RHL Era Orde Baru

Pemerintahan orde baru yang berkuasa lebih dari 30 tahun, menggunakan jargon penyelamatan hutan, tanah dan air (PHTA). Berawal dari paradigma kebijakan pembangunan nasional yang bertumpu pada pertumbuhan ekonomi telah mendorong kegiatan eksploitasi hutan yang berlebihan untuk menghasilkan devisa negara. Kondisi itu, menyebabkan  kondisi lingkungan daerah aliran sungai (DAS) -lambat tapi pasti-  juga semakin menurun karena pemanfaatan DAS untuk berbagai kepentingan pembangunan tanpa mengindahkan aspek tata ruang, konservasi tanah dan air.

Pemerintahan Presiden Soeharto mengupayakan pemulihan kerusakan hutan dan lahan DAS dengan berbagai program/proyek reboisasi dan penghijauan yang dilaksanakan di seluruh Indonesia dengan sasaran berbasis DAS prioritas. Karakteristik kegiatannya antara lain a) bersifat keproyekan dan pendekatannya teknis, dengan melibatkan sektor lain; b) sasaran hutan rusak dan lahan kritis di DAS prioritas; c) sudah dimulai pembentukan kelompok tani/masyarakat dengan bimbingan petugas lapangan penghijauan (PLP); pendanaan penuh dari pemerintah pusat (sumber dana dari dana jaminan reboisasi (DJR)/ dana reboisasi (DR)).

Dalam beberapa kasus, terdapat penilaian negatif terhadap hasil kegiatan reboisasi dan penghijauan, namun juga tidak dapat dibantah bahwa program PHTA ini juga terdapat beberapa manfaat antara lain adalah a) terbangunnya modal sosial kesadaran dan partisipasi masyarakat; b) meningkatnya kemampuan dan ketrampilan teknis masyarakat dalam kegiatan menanam; c) meningkatnya kemampuan dn ketrampilan para petugas/penyuluh lapangan; d) terbentuknya kelompok-kelompok pelestarian alam secara nasional.

Seiring dengan perkembangan waktu dan saking lamanya program PHTA berlangsung (1976-1998), kegiatan reboisasi dan penghijauan pada tahun-tahun belakangan berubah menjadi ritual seremonial tahunan yang mengesankan seperti kegiatan peduli lingkungan belaka. Di sisi lain, proses deforestasi dan degradasi hutan dan lahan terus berjalan seiring dengan kebijakan pembangunan nasional yang hanya berorientasi pada pertumbuhan nasional.

RHL Era Reformasi

Dalam era pemerintahan Gus Dur dan diteruskan Megawati (1999-2004), dimunculkan jargon baru berupa Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan atau biasa disebut GNRHL atau GERHAN. Kegiatan GNRHL ditargetkan seluas 3 juta hektare untuk jangka waktu 5 tahun.

Guna memberikan keberhasilan yang diharapkan, maka kegiatan GNRHL memiliki beberapa prinsip dasar.  GNRHL berusaha membangun semangat dan kesadaran nasional dalam bentuk gerakan. Prinsip lain dari program GNRHL adalah komponen kegiatan bersifat multi dimensi meliputi aspek fisik teknis, manajemen, kelembagaan/SDM dan pengendalian. Kuncinya adalah komponen kegiatan tidak berada disatu tangan agar tercipta chek and balance dengan dukungan bibit yang ditanam merupakan bibit unggul. Muaranya adalah terbangun pemberdayaan kelompok tani hutan (KTH) dengan pendampingan dari LSM/penyuluh.

Dalam era pemerintahan ini, untuk pertamakalinya dalam kegiatan RHL, telah dicoba penanaman langsung tanaman RHL dengan penyebaran benih melalui udara dengan menggunakan pesawat udara di provinsi Sulsel. Pertimbangannya adalah lokasi yang akan ditanami bibit sulit dijangkau karena aksesnya rendah. Namun, sayang hingga saat ini belum ada laporan tentang keberhasilan penyebaran benih langsung via udara ini.

Dalam era pemerintahan pertama Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) 2004-2009, dimunculkan jargon baru dalam kegiatan RHL yakni Gerakan Indonesia Menanam. Kemudian di era pemerintahan kedua SBY (2009-2014) kembali lagi ada jargon baru Gerakan Satu Miliar Pohon, yang pada pokoknya adalah untuk menggugah kesadaran dan partisipasi masyarakat akan cinta dan peduli lingkungan. Layaknya sebuah gerakan, Indonesia Menanam maupun Satu Miliar Pohon cepat menyita perhatian masyarakat luas, karena kampanye dan sosialisasinya dilakukan dengan gencar dan masif.

Sayangnya, hingar bingar gerakan-gerakan semacam ini yang juga bermuatan politis malah menenggelamkan esensi tugas pokok dan fungsi Kementerian Kehutanan yakni hutan lestari, masyarakat sejahtera sehingga capaian kinerja sesungguhnya Kementerian Kehutanan yang menjadi cantolan gerakan ini menjadi tidak nampak arahnya.

Menjelang berakhirnya masa pemerintahan SBY periode kedua, terbitlah turunan regulasi dari UU No. 41/1999 yakni PP No. 76/2008 dan direvisi dengan PP No. 26/2020 tentang rehabilitasi dan reklamasi hutan, maka memasuki era pemerintahan Jokowi (2014–2024) ; kegiatan RHL  dikembalikan dalam koridor yang sebenarnya dari bingkai pembangunan kehutanan yang dilakukan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Bahkan, arahan Presiden Jokowi pada suatu kesempatan dalam seremonial kegiatan RHL sangat jelas dan tegas. Dalam kegiatan RHL, lebih baik menanam pohon dalam luasan yang tidak terlalu besar tetapi keberhasilannya jelas dan terukur daripada luasannya besar tetapi hasil sulit dilacak dan tidak terukur.

Kelemahan Mendasar RHL

Meski kegiatan RHL sekarang ini telah diperbaiki dan disempurnakan sistemnya, kelembagaannya dan mekanismenya, namun masih menyisakan beberapa kelemahan mendasar diantaranya adalah :

Pertama, instrument untuk tolok ukur keberhasilan RHL khususnya untuk tanaman hutan masih sebatas pada tanaman umur 3 tahun atau pemeliharaan tahun kedua. Kalau KLHK mampu mendeteksi keberhasilan rehabilitasi (reforestasi) melalui citra satelit sebagaimana yang dilakukan pada tahun 2019-2020 (3.100 ha) dan tahun 2018-2019 (3.000 ha), namun belum mampu mengindentifikasi umur berapa tanaman hasil reforestasi apalagi ditanam tahun berapa. Sebab, tanaman reforestasi dapat dinyatakan berhasil apabila tanamannya telah menjadi pohon dewasa dengan umur minimal 15 tahun. Deteksi keberhasilan RHL dengan citra satelit juga belum menjelaskan apakah rehabilitasi tersebut dilakukan oleh pemegang izin usaha bidang kehutanan atau murni dilakukan oleh pemerintah.

Kedua, keberhasilan rehabilitasi lahan (di luar kawasan hutan), akan lebih sulit lagi diukur keberhasilannya apabila hanya ditinjau dari aspek penanaman, karena lokasi rehabilitasi lahan biasanya tidak mengelompok dan terserak dibanyak lokasi. Sehingga keberhasilan rehabilitasi lahan, biasanya hanya diukur dari aspek sosial yakni besarnya tingkat partisipasi masyarakat terhadap kegiatan rehabilitasi lahan.

Ketiga, kegiatan RHL selama ini dilakukan bersifat keproyekan saja (anggaran satu tahun putus), yang seharusnya kegiatan RHL dapat diberlakukan sebagai kegiatan rutin yang anggarannya berlanjut (multi years) sehingga kegaiatan dan keberhasilannya dapat dengan mudah dipantau dan diukur dilapangan.

Keempat, sumber daya (resources) pelaksana dari pemerintah khususnya pemerintah daerah (SDM dan sarpras) dalam kegiatan rehabilitasi hutan masih sangat lemah, sehingga perlu ditingkatkan kuantitas dan kualitasnya untuk mengimbangi kecepatan dan mutu dan keberhasilan rehabilitasi hutan di lapangan.

Kelima,  dukungan pendanaan pada daerah non penghasil bagi daerah provinsi yang kurang mempunyai sumberdaya hutan alam, perlu mendapat perhatian lebih dari pemerintah pusat. Selama ini hanya daerah yang mempunyai potensi sumberdaya hutan alam yang besar saja  (berdasarkan perimbangan bagi hasil) yang mampu  melaksanakan rehabilitasi hutan secara masif dan luas.***