Jurus Petani Hutan Berkelit dari Pandemi

Geoforest Watu Payung

Petani hutan tak menyerah meski pandemi Covid-19 menghambat berbagai usaha yang dikembangkan.  Mereka ikut menerapkan protokol kesehatan untuk mencegah penyebaran virus corona sambil tetap berikhtiar menjaga hutan demi kelestariannya. Ada juga yang berhasil menemukan peluang baru untuk pengembangan usahanya.

Pandemi Covid-19 tak hanya berdampak pada sektor kesehatan. Pandemi juga memukul sektor lain termasuk perekonomian. Pembatasan pergerakan manusia untuk mencegah penyebaran virus corona lebih luas akhirnya mempengaruhi berbagai kegiatan perekonomian. Salah satunya adalah pariwisata.

Seperti yang terjadi pada obyek wisata Geoforest Watu Payung, Dusun Turunan, Desa Girisuko, Kecamatan Panggang, Gunung Kidul, Yogyakarta. Tempat ekowisata yang dikelola oleh Kelompok Tani Hutan Sido Mulyo 3 itu sempat harus tutup di awal pandemi.

Pengurus KTH Sido Mulyo 3 Endarto menjelaskan, Geoforest Watu Payung ditutup sekitar 4 bulan pada tahun 2020 mengikuti arahan dari pemerintah setempat untuk mencegah penyebaran virus corona.

“Akhir Juli 2020, kami diperkenankan kembali buka, dengan penerapan protokol kesehatan,” kata Endar yang juga Ketua Kelompok Masyarakat Sadar Wisata (Pokdarwis) Geoforest Watu Payung , Jumat (30/4/2021).

Pengurus KTH Sido Mulyo 3 Endarto

Merespons arahan tersebut KTH kemudian melengkapi berbagai sarana dan  prasarana pencegahan penyebaran virus corona. Mulai dari penyediaan tempat cuci tangan hingga penyemprotan disinfektan secara rutin. Mereka juga memastikan pengunjung yang datang dalam keadaan sehat dengan pemeriksaan suhu tubuh menggunakan thermogun.

Sebelum pandemi menerjang, Geoforest Watu Payung sesungguhnya sedang naik pamor. Bentang alam perbukitan karst Gunung Kidul dipadu rimbunnya hutan jati menenteramkan para pengunjungnya. Pesona yang paling diburu adalah momen matahari terbit (sunrise) yang tak bakal ditemui di tempat lain. Apalagi setelah sunrise bakal ada samudera kabut yang menjadikan Watu Payung seolah bagian dari kahyangan.

Setiap harinya, pengunjung yang datang ke Watu Payung bisa mencapai 1.000 orang. Di akhir pekan jumlahnya naik lebih tinggi lagi.  Menurut Endar, akibat pandemi pengunjung Watu Payung berkurang drastis. “Pengunjung hanya berkisar 200-300 orang saja di akhir pekan,” katanya.

Dampaknya tentu penghasilan anggota KTH berkurang drastis. Endar mengungkapkan, sebelum pandemi anggota KTH yang bertugas menjaga Geoforest Watu Payung bisa membawa pulang Rp70.000 per hari. Kini pendapatan sebesar itu hanya diperoleh bagi yang mendapat tugas berjaga pada akhir pekan. Di luar Sabtu-Minggu, anggota KTH harus rela untuk bertugas tanpa mendapat honor.

“Kami bertugas bergiliran. Saat Sabtu-Minggu, ada honor yang bisa dibawa pulang. Tapi di luar hari-hari itu, kami tidak menerima bayaran, hanya disediakan kopi,” kata Endar.

Meski tanpa honor, anggota KTH  Sido Mulyo 3 tetap berkomitmen untuk menjaga hutan di lokasi sekitar.  Mereka memahami bahwa manfat hutan bukan cuma soal ekonomi dari pengelolaan wisata tapi menyokong ekologi dan sosial kehidupan masyarakat dari berbagai sendi kehidupan. Mereka berharap, pandemi segera berlalu sehingga wisata Geoforest Watu Payung bisa kembali bergeliat.

Komitmen Petani

Penyuluh Kehutanan Trisno Budi

Soal komitmen anggota KTH Sido Mulyo 3 dalam menjaga hutan sejatinya memang tak perlu diragukan. Untuk diketahui, kawasan hutan produksi petak 108 seluas 210,8 hektare di Gunung Kidul dahulu gundul. Gersang kering kerontang dan kondisinya mengkhawatirkan. Warga kemudian sepakat membentuk KTH Sido Mulyo 3 di tahun 2000 dan mulai menanami kawasan hutan tersebut dengan berbagai jenis tanaman kehutanan seperti jati, mahoni, dan akasia.

Harapan masyarakat untuk bisa memanfaatkan kayu dari pohon yang ditanam sempat mencuat saat KTH Sido Mulyo mendapat izin Hutan Kemasyarakatan (HKm) dari Bupati Gunungkidul  tahun 2007.

Namun kabar mengejutkan diterima masyarakat saat itu. Kawasan hutan yang mereka kelola tiba-tiba berubah statusnya menjadi hutan lindung. Ini berarti pohon yang mereka tanam bertahun-tahun tak boleh dimanfaatkan kayunya.

Meski sempat resah, nyatanya anggota KTH Sido Mulyo 3 tak sampai emosional. Mereka tetap menjaga, merawat dan menanam kawasan hutan. “Anggota KTH secara sadar dan ikhlas menjaga hutan karena memahami pentingnya hutan dan fungsinya,” kata Trisno Budi, Penyuluh Kehutanan Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Yogyakarta yang mendampingi KTH Sido Mulyo 3.

Anggota KTH kemudian menggali potensi pemanfaatan lain yaitu jasa lingkungan wisata alam. Maka berkembanglah Geoforest Watu Payung. Menurut Trisno kesadaran tinggi masyarakat memudahkan tugasnya untuk melakukan berbagai sosialisasi program pembangunan, termasuk soal kelestarian hutan. “Saat harus ditutup atau ada kebijakan penerapan protokol kesehatan di lokasi wisata untuk mencegah penyebaran covid pun mereka dengan penuh kesadaran mau melaksanakannya,” katanya.

Pemanfaatan Empon-empon

Menurut Trisno, meski anggota KTH binaan sudah memiliki kesadaran akan pentingnya hutan, namun Penyuluh Kehutanan tetap harus memfasilitasinya untuk mendapat sokongan yang lebih luas dari berbagai pihak sehingga bisa terus berkembang.

Produk empon-empon KTH Ngudi Rezeki

Seperti yang kini terjadi pada KTH Ngudi Rezeki di Dusun Tompak, Desa Giritirto Kecamatan Purwosari, Gunung Kidul, Yogyakarta. KTH yang mengelola hutan rakyat itu berhasil mengintip peluang saat pandemi.

Jika KTH Sido Mulyo 3 fokus pada ekowisata, KTH Ngudi Rezeki memanfaatkan tanaman empon-empon seperti temu lawak, kunyit dan jahe, di bawah tegakan pohon. KTH Ngudi Rezeki membuat berbagai produk minuman yang laku di pasar. Minuman herbal, jamu dan serbuk instan misalnya serbuk temu lawak, kunyit, atau wedang uwuh.

“Tahun lalu kami mendapat fasilitasi mesin pencacah dan mesin pembuat tepung. Ini memudahkan kami untuk mengolah empon-empon,” kata Ketua KTH Ngudi Rezeki Sutarman.

Usaha pengolahan empon-empon memberi manfaat besar tidak hanya bagi anggota KTH Ngudi Rezeki tapi juga masyarakat di sekitarnya. Pasalnya, KTH Ngudi Rezeki berhasil meningkatkan harga beli empon-empon sehingga petani bergairah. “Selama ini empon-empon yang ditanam warga tidak termanfaatkan, ora ono regone (tidak ada harganya),” kata Sutarman.

KTH Ngudi Rezeki berani membeli empon-empon produksi masyarakat dengan harga di atas pasaran. Sebagai contoh, jika temu lawak basah dihargai Rp700/kilogram (kg), maka KTH Ngudi Rezeki berani membeli dengan harga Rp1.000/kg. Makin menguntungkan bagi masyarakat karena temulawak yang hendak dijual tidak perlu dibawa jauh-jauh ke pasar.

Menurut Sutarman, pihaknya bisa membeli empon-empon dengan harga yang lebih tinggi karena efisiensi biaya setelah adanya mesin pencacah dan pembuatan tepung. “Kami hemat biaya tenaga kerja dibandingkan jika dikerjakan manual. Penghematan itu yang dialihkan untuk pembelian harga bahan baku yang lebih baik. Toh petani juga yang untung,” katanya.

Ketua KTH Ngudi Rezeki Sutarman saat mendampingi kunjungan dari Dinas LHK Yogyakarta tentang pengelolaan empon-empon

Produk yang dihasilkan dipasarkan hingga ke kota Yogyakarta, bahkan ke luar kota. Namun kata Sutarman, di Gunung Kidul saja permintaan produk olahan empon-empon sangat diminati.

Pendapatan yang diperoleh KTH Ngudi Rezeki pun sangat lumayan di tengah pandemi. Sutarman menggambarkan, dengan pembelian bahan baku Rp1.000/kg, pihaknya bisa membuat minuman serbuk instan yang dijual seharga Rp15.000/kg. “Cukup untuk menambah pendapatan kami,” katanya senang.

Pengembangan usaha empon-empon pun melengkapi berbagai usaha yang sudah dilakukan oleh KTH Ngudi Rezeki sebelumnya seperti hutan rakyat, mebel, pengelolaan air minum desa, pembuatan kompos daur ulang.

Berbagai usaha yang dijalani KTH-KTH binaan Badan Penyuluhan dan Pengembangan Sumber Daya Manusia Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan itu memberi keyakinan bahwa petani hutan bisa melewati masa-masa sulit pandemi Covid-19. AI