
Oleh: Pramono Dwi Susetyo (Pernah bekerja di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Penulis Buku Seputar Hutan dan Kehutanan: Masalah dan Solusi)
Parlemen Eropa dan Dewan Uni Eropa telah sepakat menerbitkan aturan baru bebas deforestasi dan degradasi hutan bagi komoditas yang masuk ke 27 negara anggotanya. Kesepakatan aturan yang disebut European Union Due Diligence Regulation (EUDDR) terjadi pada Desember 2022. Ada tujuh (sebelumnya disebut enam) komoditas yang terlarang masuk Eropa jika terkait dengan deforestasi dan degradasi hutan atau lahan. Cakupan komoditas EUDDR adalah kedelai, minyak kelapa sawit, kayu, daging sapi, kakao, karet, dan kopi serta produk-produk turunannya, seperti kulit, cokelat, mebel. EUDDR tidak menutup cakupan diperluas ke komoditas lain.
Dalam sebuah diskusi di kantor Uni Eropa di Jakarta, Duta Besar Uni Eropa Vincent Piket mengatakan bahwa EUDDR tidak menerapkan hukuman bagi deforestasi di masa lalu. Artinya, aturan ini berlaku ke depan. Secara tentatif aturan tersebut mulai berlaku pada Mei-Juni 2023. Meski mulai berlaku, penerapan kewajiban bagi operator yang mengimpor tujuh komoditas dan produk turunannya ke Uni Eropa baru mulai Desember 2024. Khusus untuk usaha kecil dan menengah, Eropa akan menerapkannya pada Juni 2025.
Indonesia sebagai produsen terbesar minyak mentah sawit (CPO) dunia, menghadapi masalah besar dengan aturan baru EUDDR ini. Bisa jadi bonanza minyak sawit yang dinikmati Indonesia belakangan ini akan mengalami grafik yang menurun apabila pemerintah tidak segera menyikapinya. Jika UU bebas deforestasi diberlakukan nanti, RI berpotensi merugi sebab permintaan akan CPO di 27 negara tersebut berpeluang menurun bahkan diberhentikan ekspornya jika para pelaku industri tidak memiliki sertifikat bebas deforestasi. Pada 2021, Indonesia mengirimkan 44,6% dari total impor Uni Eropa senilai 6,4 miliar dolar AS, yang berarti senilai 2,85 miliar dolar AS atau setara dengan Rp44,5 triliun (asumsi kurs Rp15.620 per dolar AS). Dengan begitu, Indonesia berpotensi kehilangan pemasukan sekitar Rp44,5 triliun.
Deforestasi yang dimaksud dalam EUDDR adalah deforestasi yang tidak menghendaki adanya “agroforestry” di dalam kawasan hutan produksi, apalagi di hutan lindung dan konservasi. EUDDR mendefinisikan deforestasi berdasarkan komoditas pertanian, perkebunan dan peternakan yang diproduksi dan dikeluarkan berasal dan dari kawasan hutan tidak terkecuali apakah hutan produksi apalagi hutan lindung dan hutan konservasi. Ruang tumbuh dalam kawasan hutan yang telah digunakan oleh komoditas pertanian, perkebunan dan peternakan; kawasan hutan yang dimaksud tersebut telah mengalami deforestasi. Jadi jelas bahwa menurut Uni Eropa kebun sawit berada didalam kawasan hutan adalah masuk dalam katagori sawit deforestasi yang dicekal dalam EUDDR.
Deforestasi Sawit
Menurut Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) saat ini terdapat 3,1 -3,2 juta hektare perkebunan kelapa sawit di kawasan hutan. Yayasan Kehati, dalam rapat dengan DPR pada 17 Juni 2021, menyebut 3,4 juta hektare. Sawit di kawasan hutan tentu saja ilegal. Kebun-kebun ini ada di hutan konservasi seluas 115.694 hektare, hutan lindung 174.910 hektare, hutan produksi terbatas 454.849 hektare, hutan produksi biasa 1.484.075 hektare dan hutan produksi yang dapat dikonversi 1.224.291 hektare. Disinyalir banyak kebun sawit yang memanfaatkan lahan gambut yang rentan terhadap lingkungan (mengganggu cadangan karbon di lahan gambut). Berdasarkan Atlas Peta Lahan Gambut Indonesia, dari luas kebun sawit 14,38 juta ha di Indonesia tak kurang dari 10.634.280 ha (72,80 persen) yang berada di Sumatera dan Kalimantan terletak di lahan gambut. Dari lahan gambut yang digunakan untuk kebun sawit seluas itu, 2.815.914 ha (26,47 persen) merupakan kebun sawit di lahan gambut yang mempunyai ketebalan 50-100 cm. Sedangkan sisanya, 7.820.366 ha (73,53 persen) merupakan kebun sawit di lahan gambut dengan ketebalan sedang sampai sangat tebal. Kebun sawit yang dianggap mengancam cadangan karbon (yang mempunyai ketebalan gambut sedang-sangat tebal) seluas 7,820.366 ha (53,56 persen) dari seluruh areal sawit di Indonesia yang seluas 14,38 juta ha.
Jika kita pakai data KLHK, dari 3,1 juta hektare kebun sawit di kawasan hutan, 576.983 hektare sedang dalam proses permohonan persetujuan pelepasan kawasan hutan. Sisanya, sekitar 1,2-1,7 juta hektare, tak memohon izin pelepasan agar legal. Ada dugaan karena sawit ini sebagian perkebunan sawit dikuasai rakyat/perorangan. Meskipun Kementan belum lama ini mengklaim bahwa kebun sawit rakyat di dalam kawasan hutan hanya seluas 12.533,52 hektar yang tersebar di 6 provinsi sentra perkebunan kelapa sawit sejak tahun 2021. Saat ini data tersebut sedang dalam proses telaahan, inventarisasi dan validasi dari Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan, KLHK.
Kita sama-sama tahu mengapa ada kebun sawit di kawasan hutan. Selain lemahnya pengawasan, juga tidak sikronnya tata ruang wilayah provinsi atau kabupaten dengan tata guna lahan di KLHK. Izin lokasi dan izin prinsip perkebunan ada di kabupaten dan provinsi. Tapi izin pelepasan kawasan hutan menjadi kebun ada di KLHK.
Meski Indonesia mempunyai mempunyai standar nasional tentang sertifikasi pengelolaan sawit yang disebut ISPO (Indonesia atau Indonesian Sustainable Palm Oil) yakni standar nasional Indonesia bagi minyak sawit berkelanjutan yang wajib ditujukan untuk meningkatkan peran minyak kelapa sawit Indonesia di pasar internasional dan untuk mengurangi emisi gas rumah kaca, yang mengacu pada standar global yang terdapat dalam RSPO (Roundtable On Sustainable Palm Oil), namun sertifikasi ISPO bagi kebun sawit dan industri sawit di Indonesia kurang dapat berjalan dengan baik. Menurut Peraturan Presiden (Perpres) No. 44/2020, setiap perkebunan sawit di Indonesia yang luasnya 14,38 juta hektare, baik yang dikelola oleh perkebunan besar, perkebunan swasta besar maupun perkebunan rakyat; wajib melakukan sertifikasi ISPO. Direktur Perlindungan Perkebunan Kementerian Pertanian (Kementan) menyebut bahwa hingga saat ini dari 14,38 juta hektare itu, baru 3,8 juta hektare (26,24 %) yang ter ISPO kan. Rinciannya adalah perkebunan negara 30% dari satu juta hektare, perkebunan swasta besar 40%-50 % dari 8 juta hektare, dan perkebunan rakyat 1%-2% dari 7,6 juta ha. Senior manajer WRI (World Resources Institute) Indonesia, Bukti Bagja menyebut sawit berkelanjutan adalah legalitas lahan budidaya sawit bukan perambahan dan lahan konflik. Sekitar 50% masalah sustainable palm oil adalah kepastian dan kesesuain ruang lahan sawit. Sisanya adalah produktivitas dan tata kelola sesuai prinsip-prinsip berkelanjutan.
Pilihan Yang Sulit
Meski Indonesia menghadapi pilihan sulit dalam menghadapi EUDDR, namun sisa waktu pemberlakuan EUDDR nanti pemerintah mencoba untuk mencari jalan keluar dengan memanfaatkan keterlibatan dengan negara-negara pengimpor utama melalui dialog kebijakan. Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menggalang kerjasama dengan negeri jiran Malaysia untuk terus melindungi sektor kelapa sawit dengan memperkuat upaya dan kerjasama dalam mengatasi diskriminasi terhadap kelapa sawit, dengan disepakatinya akan dilakukan misi bersama ke UE untuk mengomunikasikan solusi dan konsekuensi dari peraturan tersebut. Usai misi ke UE, kunjungan juga akan dilakukan ke India untuk mempromosikan penggunaan minyak sawit menyusul pengakuan ISPO dan MSPO oleh India melalui inisiatif bersama dengan Indian Palm Oil Sustainability Framework (IPOS).
Sebagai produsen minyak sawit terbesar, Indonesia sebenarnya hanya punya dua opsi menghadapi EUDDR, yaitu menerima atau menolaknya. Kedua opsi tersebut sudah tentu mempunyai konsekuensi masing-masing:
Pertama, bila menerima, Indonesia harus segera merevisi pengertian deforestasi yang disesuaikan dengan definisi deforestasi Uni Eropa, termasuk melarang perkebunan sawit di dalam kawasan hutan tanpa kecuali. PP 24/2021 dengan konsep jangka benah kebun sawit dalam kawasan hutan sudah harus ditinjau kembali keberadaannya karena sudah tidak relevan. Termasuk di dalamnya sawit deforestasi yang diajukan prosesnya untuk pelepasan kawasannya hutannya yang mencapai 576.983 hektare itu. Pelepasan kawasan hutan kebun sawit yang sudah telanjur masuk kawasan hutan jelas masuk dalam katagori sawit deforestasi karena prosedur dan mekanisme yang ditempuhnya keliru. Bisa jadi kawasan hutan produksi yang sudah telanjur ini tidak hanya hutan produksi yang dapat dikonversi tetapi juga hutan produksi biasa yang tidak bisa langsung dilepaskan tetapi harus melalui proses lain yang lebih panjang.
EUDDR tidak menghendaki adanya sawit dalam kawasan hutan produksi apalagi hutan lindung dan hutan konservasi. CPO dari Kebun sawit yang melaksanakan proses jangka benah, akan ditolak oleh UE dengan adanya UU bebas deforestasi ini. Menurut data KLHK, luas kebun sawit yang akan mengikuti proses jangka benah ini luasnya mencapai 1,2-1, 7 juta hektare. Pilihan terbaik yang harus dilakukan pemerintah adalah kebun sawit seluas 3,2-3,4 juta hektare yang sudah telanjur masuk dalam kawasan hutan agar segera dimusnahkan dan dibangun kembali menjadi hutan yang berisi vegetasi kayu-kayuan tanaman hutan melalui kegiatan rehabilitasi hutan.
Kedua, bila Indonesia menolak EUDDR, PP 24/2021 dengan konsep jangka benahnya dapat terus dilaksanakan. Konsekuensinya pemerintah Indonesia tidak bisa menjual CPO ke pasar Eropa dan harus mencari pasar baru yang tidak mengaitkan produk sawit dengan deforestasi. Dampaknya Indonesia kehilangan sumber devisa negara dari minyak sawit yang dua tahun terakhir membuat neraca perdagangan kita surplus.
Di luar soal devisa, mencegah deforestasi adalah bagian dari kontribusi mencegah pemanasan global. Deforestasi menyumbang 48% emisi karbon. Deforestasi komoditas pertanian menyumbang gas rumah kaca terbesar dari perubahan fungsi lahan hutan tersebut.
Beruntung, sawit tidak dimasukan dalam katagori tanaman hutan dan pemerintah tidak ikut-ikutan negeri jiran Malaysia yang mengkatagorikan sawit sebagai tanaman hutan. Seandainya ini terjadi, nasib Indonesia dimata dunia tambah buruk dalam tata kelola sawit. Pepatah bilang sudah jatuh tertimpa tangga pula. Sekarang tinggal pemerintah Indonesia, apakah tata kelola sawit akan dibenahi sektor hilirnya dulu, atau hulunya dulu atau dua-duanya secara simultan. ***