Musim kemarau 2019 sudah tiba. Kementerian Pertanian (Kementan) mencatat sedikitnya 100 kabupaten/kota sentra produksi padi terkena dampak kekeringan, seperti wilayah Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, Yogyakarta, Jawa Timur, NTB, dan NTT.
“Sebagian besar wilayah Jawa, Bali, dan Nusa Tenggara sudah tidak mengalami hujan lebih dari 30 hari. Sedikitnya 100 kabupaten/kota yang terdampak kekeringan,” kata Dirjen Prasarana dan Sarana Pertanian (PSP) Kementan, Sarwo Edhy dalam rakor Kementan di Jakarta, Senin (8/7/2019).
Sarwo menyebutkan, total luas kekeringan pada musim kemarau 2019 mencapai 102.746 hektare (ha) dan tanaman padi yang mengalami puso 9.358 ha. Jawa Timur menjadi provinsi dengan wilayah paling luas terdampak kekeringan, yakni 34.006 ha dengan puso 5.069 ha.
Berikutnya adalah Provinsi Jawa Tengah dengan luas kekeringan mencapai 32.809 ha dengan puso 1.893 ha; Jawa Barat 25.416 ha dan puso 624 ha; Daerah Istimewa (DI) Yogyakarta mencapai 6.139 ha dengan puso 1.757 ha; Banten kekeringan 3.464 ha; NTB 857 ha; dan NTT 55 ha dengan puso 15 ha.
Berdasarkan informasi peringatan dini dari BMKG (Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika), tahun ini berpotensi kemarau ekstrem sampai dengan September dan puncaknya terjadi pada bulan Agustus.
Untuk mengantisipasi turunnya produksi padi akibat kekeringan dan puso, Ditjen PSP Kementan sudah bergerak cepat mengalokasikan sejumlah pompa yang ditempatkan di dinas pertanian tingkat provinsi dan kabupaten/kota. “Kami sudah menginstruksikan untuk seluruh kepala dinas kabupaten yang mengalami kekeringan dapat memanfaatkan pompa tersebut untuk membantu petani,” tegas Sarwo Edhy.
Dia menjelaskan, Kementan juga menggelar rapat koordinasi dengan seluruh kepala dinas tingkat kabupaten/kota untuk membahas kekeringan di sejumlah wilayah, serta antisipasinya.
Menurut dia, salah satu penyebab kekeringan di lahan-lahan pertanian adalah sistem pengairan air yang terhambat. Kementan sendiri telah berupaya membenahi tata kelola air dengan memfasilitasi pembangunan infrastruktur air untuk lahan pertanian.
Sejauh ini, Kementan telah meningkatkan irigasi perpompaan selama 3 tahun terakhir (2016-2019). Total irigasi perpompaan sebanyak 2.358 unit dengan estimasi luas layanan per unit seluas 20 ha. Dengan demikian, luas areal yang dapat diairi saat musim kemarau mencapai 47.160 ha.
Irigasi perpompaan juga mendukung komoditas hortikultura dan perkebunan hingga 4.290 ha luas lahan yang dapat diairi saat musim kemarau. Sementara untuk komoditas peternakan, irigasi dapat melayani 3.220 ekor ternak yang terjamin ketersediaan air minum dan sanitasi kandang.
Dalam kegiatan irigasi, Kementan juga membangun embung sebanyak 2.692 unit yang mampu memberikan dampak pertanaman seluas 73.850 ha.
Sarwo Edhy menambahkan, sebelum memasuki musim kemarau, Kementan telah menurunkan Tim Penanganan Kekeringan. Tim khusus untuk penanganan kekeringan ini ditempatkan di wilayah sentra produksi padi, dengan berkoordinasi dan bekerja sama dengan pemerintah daerah setempat maupun Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR).
Tim ini diharapkan melakukan identifikasi ke wilayah yang terdampak kekeringan. Apabila masih terdapat sumber air (air dangkal), tim ini mendorong Dinas Pertanian setempat untuk mengajukan bantuan pompa air kepada instansi terkait.
Potensi Lahan Rawa
Dirjen Tanaman Pangan, Sumardjo Gatot Irianto mengatakan, mitigasi kekeringan tahun ini berbeda dari tahun-tahun sebelumnya. Pasalnya, Kementan kini melibatkan wilayah-wilayah dengan potensi lahan rawa.
Menurut dia, musim kemarau seperti ini menjadi kesempatan untuk mengembangkan lahan rawa yang tetap produktif. “Kami melibatkan juga wilayah-wilayah yang ketika terjadi kekeringan justru menjadi sumber pertumbuhan luas tanam baru,” kata Gatot.
Untuk membantu wilayah yang puso, Kementan akan menginventarisasi keikutsertaan asuransi petani, namun jika belum ada akan diberikan bantuan benih.
Begitu pula untuk wilayah yang terancam kekeringan dan belum puso, diperlukan pompa, mengoptimalkan sumber air terdekat (sungai, danau, embung), normalisasi saluran, serta penyediaan sumur pantek.
Untuk wilayah Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur diharapkan peran Perum Jasa Tirta (PJT-I dan PJT-II ) dengan sumber air yang ada dapat mengamankan standing crop pertanaman, sekaligus meningkatkan luas tanam.
Sementara di Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi diharapkan ada peningkatan produksi padi melalui LTT (Luas Tambah Tanam) dan optimalisasi penanaman pada lahan kering serta rawa yang masih ada airnya.
Puso Lebih Rendah
Data menyebutkan, luas tanam padi yang terkena kekeringan selama periode Januari-Juni 2019 sekitar 102.764 ha dari total luas pertanaman sebesar 7.359.453 ha atau sekitar 1,39%. Dari luasan padi yang kekeringan tersebut, yang dinyatakan puso (tidak bisa panen) hanya 9.358 ha atau tak sampai 10%. Wilayah yang terkena kekeringan tersebar di 14 provinsi/wilayah.
Diprediksi kekeringan pada musim kemarau (MK) April-September 2019 juga masih lebih rendah 75,87% dibandingkan MK April-September 2018. Demikian juga yang puso pada MK April-September 2019 lebih rendah 98,94% dibandingkan MK April-September 2018.
“Saat ini yang mengalami kekeringan serius adalah lahan pertanian di Jawa, Bali, dan Nusa Tenggara. Berdasarkan data BMKG, luas lahan yang terkena kekeringan sekitar 102.000 ha dan puso 9.000-an ha,” jelas Sarwo Edhy.
Guna mencegah semakin luasnya lahan pertanian yang terkena kekeringan dan puso, pemerintah telah berkoordinasi dengan berbagai pihak. Mulai dari pemerintah daerah dan TNI untuk memetakan kebutuhan alat dan mesin pertanian (Alsintan) dan pemanfaatan sumber air yang harus dibangun.
“Sekarang kita sudah banyak membangun sumber air. Baik itu sumur dangkal, embung, damparit, sehingga diharapkan kekeringan untuk tahun ini bisa teratasi,” kata Sarwo.
Menteri Pertanian (Mentan) Andi Amran Sulaiman mengatakan, setiap daerah yang terdampak maupun perluasan areal tanam membentuk posko untuk mitigasi dan adaptasi yang diresmikan bupati. Sehingga bupati menjadi leader-nya dalam mitigasi dan adaptasi kekeringan.
Ditjen PSP sendiri sudah menyiapkan mobilisasi Alsintan, seperti pompa, infrastruktur pertanian dukungan lainnya seperti pipanisasi. Sementara Ditjen Tanaman Pangan dan Litbang Pertanian menyiapkan benih tanaman pangan. “Intinya kami semua siap menghadapi kekeringan di musim kemarau tahun ini,” tegasnya.
Penurunan Produksi
Sementara Kepala Dinas Pertanian (Distan) Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), Sasongko mengatakan, selain faktor kekeringan, banyaknya lahan pertanian yang gagal panen disebabkan banyak petani yang salah memperkirakan musim tanam.
“Tanaman padi yang terancam dan telah mengalami gagal panen rata-rata baru ditanam pada masa tanam kedua pada April 2019,” ujar Sasongko. Dengan demikian, musim panen raya diperkirakan terjadi pada Agustus atau bertepatan puncak kemarau.
Senada dengan itu, Guru Besar Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor (IPB), Dwi Andreas Santosa mengatakan, bergesernya musim tanam, terutama di wilayah Jawa dan Sumatera, berpotensi menurunkan produksi beras.
Dwi memperkirakan produksi beras nasional akan berkurang sebanyak 2 juta ton. Adapun Kementan menargetkan produksi padi sepanjang 2019 mencapai 84 juta ton atau setara 49 juta ton beras.
Menurut dia, pemerintah harus menghitung lagi dengan cermat soal stok beras nasional yang ada di Bulog dan pedagang untuk mengantisipasi menurunnya produksi pangan di bulan Agustus karena kekeringan.
Saat ini, stok beras di gudang Bulog mencapai 2,4 juta ton, terdiri dari 2,2 juta ton cadangan beras pemerintah (CBP) dan 143.000 ton beras komersial. Perum Bulog menyatakan program Ketersediaan Pasokan dan Stabilisasi Harga (KPSH) atau operasi pasar beras medium akan diperpanjang hingga akhir Desember 2019.
Direktur Utama Perum Bulog, Budi Waseso mengatakan, pihaknya akan menggelontorkan beras kapan pun ketika harga beras medium mulai bergejolak atau jauh di atas harga eceran tertinggi (HET), yakni Rp9.450/kg (untuk wilayah Jawa, Lampung, Sumatra Selatan, Sulawesi, Bali dan NTB).
“Operasi pasar dilakukan untuk stabilisasi harga. Begitu harga naik, kami langsung turunkan beras. Ini memang tugas Bulog, beda dengan bantuan sosial yang harus menunggu pemerintah,” kata pria yang akrab disapa Buwas tersebut.
Sebelumnya, Pemerintah memutuskan untuk memperpanjang program KPSH demi stabilisasi harga pangan, khususnya beras. Keputusan ini merupakan hasil dari rapat koordinasi yang digelar di Kementerian Koordinasi Bidang Perekonomian.
Sebelumnya, program KPSH beras medium yang dilakukan Bulog telah dimulai sejak September 2018 dan berakhir pada 31 Mei 2019.
Dalam melanjutkan program stabilisasi harga ini, Bulog menargetkan akan menggelontorkan beras sebanyak 1,48 juta ton sampai akhir Desember. Hingga akhir Mei 2019, Bulog telah menyalurkan beras sebesar 225.000 ton untuk operasi pasar dan 2.000 ton untuk bantuan bencana alam. Jamalzen/PSP