Kerugian Triliunan Rupiah Mengancam

Foto: Antara

Kekhawatiran banyak pihak akan munculnya kembali wabah penyakit mulut dan kuku (PMK) seiring dilonggarkannya aturan impor produk hewan — tak lagi country-based tapi menggunakan zone-based — akhirnya terbukti. Itu sebabnya, seruan penghentian impor daging, terutama dari India yang sudah berjalan sejak tahun 2016, dihentikan. Alih-alih mampu menurunkan harga jual daging, kebijakan itu membuat Indonesia kembali turun status menjadi negara tak bebas PMK.

Menurut Sofjan Sudradjat, mantan dirjen peternakan, Indonesia butuh waktu lama untuk meraih status bebas PMK. Di samping itu, biaya yang harus dikeluarkan juga tidak sedikit. “Biaya pengendalian jauh lebih besar dari biaya menjaga status bebas,” tegasnya.

Di samping itu, kerugian ekonomi akibat penyakitnya sendiri sangat besar. Perhitungan kerugian ekonomi pada waktu tertular PMK setiap tahun sekitar Rp2 triliun-Rp3 triliun. “Kalau saat ini PMK masuk lagi, maka kerugian ekonomi bisa mencapai Rp15 triliun,” tegasnya.

Sedang biaya pemberantasan dengan kondisi dan situasi saat ini bisa mencapai puluhan triliun rupiah. Sebagai gambaran, pada usaha pemberantasan tahun 1983-1988, dana yang dikeluarkan pemerintah pusat saat itu sekitar Rp4 triliun.

Dana tersebut belum termasuk anggaran yang dikeluarkan Pemda dan bantuan dari luar negeri, seperti ratusan mobil roda 4, ribuan kendaraan roda 2, alat kesehatan sepeti alat suntik alat penyimpan vaksin dan sebagainya.

Yang dia khawatirkan kemungkinan beberapa negara, seperti Australia, Selandia Barau akan melakukan Travel Warming bagi warganya ke Indonesia atau memperketat masuknya orang Indonesia ke negara bersangkutan.

Dia menceritakan pengalaman pahitnya saat Indonesia masih berstatus endemik PMK. Sejumlah negara melarang orang Indonesia masuk ke negara mereka dengan alasan PMK. “Manusia atau orang yang berasal dari negara yang tidak bebas PMK dianggap menjadi media pembawa PMK,” kata Sofjan kepada AgroIndonesia di Jakarta, Jumat (13/5/2022).

Sofjan salah satu pejabat yang mati-matian memperjuangkan agar Indonesia bebas dari PMK. Dia menceritakan, saat datang ke Australia tahun 1980, dia ditolak karena Indonesia tidak bebas PMK. Namun, setelah negosiasi, dia diperbolehkan masuk dengan catatan semua pakaian harus dilepas dan diganti. Setelah masuk area peternakan mereka, harus disemprot disinfektan lagi. “Dari pengalaman itu saya bertekad agar Indonesia bebas PMK,” katanya. Pulang dari Australia, Sofjan yang waktu itu masih menjabat sebagai Kasubdit di Ditjen Peternakan, ditunjuk atasannya menjadi Ketua Tim Pengendali PMK.

Sofjan mengatakan, jika sektor peternakan tidak ingin makin terpuruk, pemerintah harus berani mengubah kebijakan teknis. “Harus mengubah kebijakan impor dari zona bebas PMK. Jika perlu hentikan impor daging dari negara yang tidak bebas PMK seperti India,” tegasnya.

Dia menduga, munculnya PMK karena impor daging dari negara tertular. “Kemungkinan besar masuknya material yang mengandung PMK, baik yang resmi maupun yang tak resmi, sangat besar risikonya. Kebijakan impor ini mestinya dihentikan,” katanya.

Menurut Sofjan, impor daging dari negara tertular — meskipun dari zona bebas — risiko penularan penyakit pada negara tujuan sangat besar. Dia menjelasakan, secara teknis, selama daging tersebut masih mengandung tulang atau sumsum tulang, kelenjar-kelenjar limpe, epitel semen dan bahan yang mengandung lemak, risiko penularan masih tinggi.

“Pada bahan atau organ tubuh tersebut, walaupun dalam pendinginan, virus PMK bisa bertahan hidup berbulan-bulan,” kata pria yang dokter hewan ini.

Sofjan juga menilai pemberantasan dan pencegahan penyebaran PMK tak cukup dengan lockdown, tetapi harus stamping out yang sakit. Hanya saja, pemerintah tak punya cukup dana untuk ganti rugi, pengawasan lalu lintas yang ketat, isolasi ternak-ternak yang berada di daerah tertular dengan ketat dan vaksinasi dengan vaksin yang sesuai dengan tipe virusnya.

Menurut Sofjan, pencegahan penularan PMK sebenarnya bukan untuk manusia, karena manusia Indonesia pada umumnya tak makan daging mentah. Tindakan itu untuk mencegah perluasan/penyebaran penyakit dari yang sakit (dipotong) kepada ternak lain yang masih sehat.

Ternak yang bisa tertular PMK, mulai jenis ternak yang paling sensitif atau paling rawan sampai pada yang relatif tahan. Yaitu mulai dari sapi perah, sapi potong, kerbau, babi, domba dan terahir ternak jenis kambing.

Musnahkan

Sementara itu pengamat peternakan Rochadi Tawaf sependapat agar pemerintah menempuh langkah eradikasi atau pemusnahan pada ternak sapi yang telah terjangkit PMK. “Untuk melakukan pemusnahan ini, diperlukan dana penggantian ternak yang dimusnahkan untuk peternak terdampak,” kata Rochadi, yang juga Dewan Pakar Perhimpunan Peternak Sapi dan Kerbau Indonesia (PPSKI).

Menurut dia, ternak yang sudah terjangkit tidak ada jalan lain selain eradikasi. Jadi, dibeli oleh pemerintah, lalu dibakar. Kalau tidak begitu, dia akan terus menular.

Kini, PMK dilaporkan terdeteksi di Jawa Timur, Aceh, Yogyakarta, Lombok Tengah, Lombok Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat, Kalimantan. Bahkan, informasi dari Ditjen PKH Kementan, wabah PMK sudah menyebar ke 10 provinsi di Indonesia

Menurut Rochadi, langkah itu masih ditempuh karena tidak adanya kecukupan dana dari pemerintah untuk melakukan eradikasi. Sebagai solusi, dia menilai Dana Korporasi Sapi (DKS) yang ada di Kementan dapat digunakan untuk melakukan eradikasi.

Dia menambahkan, pemerintah mesti lebih cepat mengambil langkah karena penyebaran virus PMK sangat cepat. Diakui, langkah pemerintah dalam menangai PMK sejak ditemukan pada 28 April 2022 lalu sudah cepat dengan melakukan pemetaan dan isolasi wilayah.

Hanya saja, isolasi yang dilakukan masih berdasarkan area kabupaten. Menurut Rochadi, seharusnya isolasi langsung dilakukan dalam satu provinsi. “Kalau kita bilang lockdown empat daerah, padahal (yang terjangkit) sudah 10 daerah, sudah saja langsung satu provinsi supaya lebih aman dan Satgas bekerja lebih optimal,” katanya.

Biosekuriti

Sementara akademisi Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed), Juni Sumarmono mengingatkan perlunya biosekuriti yang ketat guna mencegah meluasnya PMK. “Pada intinya, perlu biosekuriti yang ketat guna mencegah kuman penyakit,” kata Juni Sumarmono di Purwokerto, Banyumas, Jumat (13/5/2022).

Dia menambahkan, semua pihak juga perlu bergerak cepat mengambil semua tindakan untuk mencegah meluasnya PMK. “Indonesia sudah pernah dinyatakan bebas PMK dan saat ini muncul lagi kasusnya. Jika nantinya meluas, perlu waktu yang lama dan biaya besar untuk menanganinya,” katanya.

Juni juga mengatakan, masyarakat dapat berpartisipasi dengan melaporkan kasus PMK pada hewan yang dimiliki, membakar sisa-sisa hewan yang terinfeksi dan tidak membawa hewan terinfeksi ke daerah lain.

Dosen Fakultas Peternakan Unsoed bidang khusus penanganan pascapanen dan teknologi pengolahan hasil ternak itu menambahkan, PMK merupakan penyakit yang disebabkan oleh virus dan menyerang hewan berkaki belah seperti sapi, kambing, babi dan lain sebagainya.

“PMK bersifat akut, cepat menyebar dan menimbulkan kerugian yang besar karena menurunnya produktivitas ternak dan kematian. Gejala umum PMK meliputi demam yang disertai luka-luka melepuh di lidah, bibir, mulut, puting susu dan di antara kuku,” katanya.

Penyebab PMK, kata dia, adalah aphthovirus yang menyebar dari hewan ke hewan dan hingga saat ini belum ada bukti kuat bahwa virus yang menyebabkan PMK dapat menular pada manusia melalui daging atau susu hewan yang terkena PMK. “Apalagi jika daging atau susu dimasak dengan suhu tinggi minimal 700 Celcius dan waktu yang cukup. Selain itu, tidak terkena kontaminasi ulang, misal setelah dimasak tercampur dengan bagian ternak yang masih mentah,” kata dia.

Namun, kata dia, sebaiknya ternak yang jelas terinfeksi PMK perlu diobati dulu hingga sembuh sebelum disembelih atau susunya dikonsumsi. “Bagian tubuh yang menunjukkan gejala seperti bagian mulut dan juga bagian sekitar kuku sebaiknya dimusnahkan saja, tidak dikonsumsi,” kata dia. Jamalzen/Atiyyah Rahma