Dirjen Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan, San Afri Awang
Penampilannya kini memang sedikit berbeda. Rambut gondrong yang dulu selalu menjadi ciri khas, lebih rapi. Namun ide-ide brilian untuk perbaikan tata kelola hutan dan lingkungan selalu sama.
Dialah Dirjen Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Profesor San Afri Awang.
Awang yang sebelumnya menjabat sebagai Kepala Badan Litbang Kehutanan itu sejak lama dikenal memiliki pemikiran progresif tentang pengelolaan kehutanan dan lingkungan. Memulai karier sebagai pengajar di Fakultas Kehutanan UGM sejak tahun 1990, pria kelahiran Talang Padang, Lampung 10 April 1958 itu banyak bergelut dengan isu-isu perhutanan sosial.
Ia sempat memimpin Pusat Kajian Hutan Rakyat (PKHR) Fakultas Kehutanan UGM, sejak 2006 Awang juga menjadi Ketua Laboratorium Ekologi Sosial dan Politik SDH Jurusan Manajemen Hutan Fakultas Kehutanan UGM.
Karirnya di dunia akademi terus mentereng dengan dipercaya menjadi Ketua Jurusan Manajemen Hutan Fakultas Kehutanan UGM dan menjadi Pengelola Program Sarjana Fakultas Kehutanan UGM.
Buku-buku yang dihasilkannya pun selalu diwarnai isu sosial kemasyarakatan. Sebut saja Hutan Rakyat pada tahun 2001, Etnoekologi: Manusia di Hutan Rakyat (2002), Politik Kehutanan Masyarakat (2003), Dekonstruksi Sosial
Forestri: Reposisi Masyarakat dan Keadilan Lingkungan (2005).
Demikian juga penelitian-penelitian yang dilakukan, rasa kemasyarakatan selalu ada. Jadi jangan heran jika pemikirannya hingga saat ini selalu berat kepada kesejahteraan dan keadilan bagi masyarakat banyak.
Karir Awang berbelok masuk ke birokrasi ketika diminta Menteri Kehutanan Kabinet Indonesia Bersatu II Zulkifli Hasan untuk menjadi staf khusus menteri dan kemudian menjadi staf ahli menteri. Belakangan ia dipercaya menjadi Kepala Badan Litbang Kehutanan.
Berikut petikan wawancara Agro Indonesia dengan peraih doktor dengan cumlaude dari Fakultas Ilmu Sosial dan Politik UGM, tak lama setelah resmi ditunjuk membantu Menteri LHK Siti Nurbaya sebagai Dirjen Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan:
Wah, sepertinya sibuk sekali sejak menjadi dirjen?
Ha ha, memang banyak pekerjaan yang mesti diselesaikan. Apalagi ini ada nomenklatur baru. Nanti setelah organisasinya lengkap pasti akan lebih cepat runningnya.
Dengan nomenklatur baru apa kesulitan yang dihadapi?
Sebenarnya tidak ada pekerjaan yang mudah ya. Kami ini diberi kepercayan sebagai pejabat eselon I memikirkan bagaimana kebijakan. Nah challenge di kehutanan ini adalah banyaknya penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan pembangunan sektor lain. Ini akan menjadi berat jika tidak ada payung kebijakannya, sebaliknya akan ringan kalau ada payung kebijakannya.
Sementara dari sisi lingkungan hidup tantangan yang utama adalah memastikan persoalan-persoalan yang terkait daya dukung dan daya tampung terhadap sumber daya alam, termasuk sungai. Kita harus punya instrumen uji dampak lingkungan untuk semua yang sifatnya nasional strategis. Misalnya terkait dengan pemebangunan waduk atau untuk kebutuhan energi.
Bagaimana anda menjawab tantangan tersebut?
Makanya menjadi sangat penting Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS). Berbeda dengan amdal (analisa mengenai dampak lingkungan) yang dilakukan untuk satu proyek kegiatan, KLHS dilakukan sebelum kebijakan dilahirkan. Jadi jika sebuah kebijakan dilaksanakan, apakah ia akan berdampak pada lingkungan atau tidak. KLHS ini bahkan sudah menjadi bagian dalam rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional.
Misalnya untuk rencana reklamasi Teluk Jakarta. Kalau mengacu kepada Undang-undang harus ada KLHS-nya. Menguji jika dilakukan pembukaan lahan di sana dampaknya seperti apa? Dari sisi ekonomi dan lingkungan juga dipertanyakan. Kajian akademiknya sangat tinggi.
Ini yang sering katakan, pengabungan Kementerian LH dan Kehutanan akan sangat bagus. Sebab LH itu sejak dulu konsepnya kuat dengan knowledge base, sementara Kehutanan knowledge base-nya implementatif.
Jika ibaratkan main bola, LH dulu hanya menjaga, sementara Kehutanan yang menendang terus. Nah sekarang digabung tentu akan bagus. Nantinya KLHS juga akan diterapkan pada perizinan sektor kehutanan.
Selama ini kan jika ada permohonan selama ia memenuhi syarat diloloskan. Kalau tidak, ya ditolak . Nah ke depan harus ada KLHS yang lebih mendalam.
Bagaimana cara agar KLHS bisa dijadikan pedoman untuk pembangunan semua sektor seperti yang anda paparkan?
Saya sedang berusaha untuk memperjuangkan Peraturan Pemerintah tentang KLHS. Bayangkan sejak UU No 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup diterbitkan, hingga kini PP tersebut belum juga selesai. Makanya kami kebut, Insya Allah dalam dua bulan ini draft-nya sudah siap.
Bayangkan, salah satu syarat dalam proses tata ruang nasional adalah keharusan adanya KLHS. Tapi sampai sekarang belum ada. Jika dalam proses RTRW, sudah ada KLHS maka kita bisa dengan tegas menolak untuk mengubah status kawasan hutan jika memang daya dukung dan daya tampung hutannya sudah mentok. Ini tidak bsa ditawar.
Dengan KLHS, kita lebih kuat ketika membatasi industri yang berpeluang mencemari aliran sungai. Tidak akan ada perdebatan. Sama juga untuk pinjam pakai kawasan hutan untuk kegiatan tambang. Selama ini ditetapkan maksimum 10%. Tapi kan tidak ada dasar ilmiahnya.
Jadi direktorat jenderal ini akan memiliki peran yang luar biasa untuk mendukung pembangunan LH dan kehutanan, meski tak mudah.
Jadi pejabat biasanya banyak godaan. Bagaimana menghadapinya?
Memang begitu jadi dirjen banyak teman-teman lama yang kontak mengajak untuk bertemu. Sebagai kawan tentu saja saya senang untuk berjumpa. Eh nggak tahunya di belakangnya bawa map mau ngajuin izin, ha ha ha.. Kalau yang seperti ini nggak usahlah.
Ini juga yang saya tekankan kepada staf saya. Mereka bekerja harus sesuai dengan ketentuan jangan coba-coba mengajukan tawar menawar ketika ada permohon izin yang masuk. Kalau ada yang seperti tangkap aja mendingan. Sugiharto