Bangunkan Marikultur Yang Tertidur

Muhibbuddin Koto

Diantara banyak pakar perikanan budidaya laut atau marikultur, sosok Muhibbuddin Koto sangat menonjol. Keahliannya dalam pembenihan kakap dan berbagai jenis kerapu membuat dia selalu dilibatkan, terlibat dan melibatkan diri dalam berbagai kegiatan dan aksi pengembangan perikanan budidaya nasional.

Sebagai praktisi dan konsultan bisnis perikanan budidaya, Muhibbuddin yang akrab disapa Budhy ini selalu proaktif.  Pria yang penampilannya sangat bersahaja, jauh dari statusnya ini rajin menyebarkan informasi, membangun diskusi dan mengumpulkan portofolio marikultur nasional.

“Ya demi kemajuan marikultur Indonesia,” ujar pria kelahiran Bukittinggi, 4 April 1964 ini.

Budhy memang ingin total berjuang dalam pengembangan marikultur. Apalagi, Master Biologi Molekuler Reproduksi jebolan Universitas Brawijaya dan Sarjana Biologi lulusan Universitas Andalas ini sudah lama menekuni usaha marikultur.

Untuk mengetahui pandangan dan semangatnya membangun marikultur Indonesia, berikut bincang-bincang Agro Indonesia dengan mantan General Manager Perusahaan Umum (Perum) Perikanan Indonesia (Perindo) ini pekan lalu.

Pemerintahan Joko Widodo menetapkan Indonesia sebagai Poros Maritim Dunia. Apa ini muluk?

Tidak muluk. Mari kita lihat strategisnya letak Indonesia, di perlintasan laut antara benua Asia dan Australia, dan antara Afrika dan Amerika. Panjang pantainya nomor 2 di dunia setelah Kanada. Luas perairannya dua pertiga dari semua wilayah Indonesia.. Indonesia juga memiliki perairan tropis terbesar dunia, sehingga keanekaragaman hayati lautnya tertinggi di dunia.

Tapi kok marikultur Indonesia belum unggul di dunia. Apa ada kebijakan yang belum tepat? Sejauh ini ada 2 Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan (Permen KP) yaitu Nomor 32 tahun 2016 tentang Kapal Pengangkut Ikan Hidup. Kemudian, Permen KP Nomor 56 tahun 2016 tentang Larangan Penangkapan dan atau Pengeluaran Lobster, Kepiting dan Rajungan dari Wilayah Negara Republik Indonesia. Kedua Permen KP ini sangat kontraproduktif.

Permen KP 32/2016 hanya membolehkan muat di 1 checkpoint saja dalam 1 trip kedatangan ke Indonesia. Sehingga, banyak klaster kecil yang tutup, karena hasil budidayanya tidak terangkut oleh kapal buyer Hongkong. Pemerintah beralasan untuk penerapan azas cabbotage, produksi ikan budidaya dari klaster kecil hanya boleh dikumpulkan dengan menggunakan kapal collecting buatan dalam negeri. Hal ini justru menambah biaya logistik, sehingga harga jual ikan pembudidaya terkoreksi jadi turun. Sebaiknya kapal buyer Hongkong diberi kelonggaran agar boleh muat minimal di 3 checkpoint, agar klaster kecil bisa hidup kembali.

Berikutnya, harap digabungkan kembali antara SIKPI (Surat Izin Kapal Pengangkut Ikan) ikan kerapu tangkapan alam dengan kerapu budidaya. Pemisahan SIKPI ini menyebabkan sebagian besar kerapu tangkapan alam tidak dapat diekspor dalam kondisi hidup, sehingga nilai jual ikan ini jatuh sampai hanya tersisa antara 20 – 50% (tergantung jenis).

Permen KP 56/2016, melarang penangkapan bibit lobster, kepiting dan rajungan. Sebaiknya, tetap dibolehkan untuk tujuan budidaya di dalam negeri. Regulasi ini menyebabkan matinya usaha budidaya crustasea ini di seantero nusantara. Sementara, pelarangan ekspor ketiga komoditi ini, sebagai praktisi kita sangat mendukung.

Semestinya, kedua Permen KP tersebut harus bisa mengikuti semangat Instruksi Presiden Nomor 7 tahun 2016 tentang Percepatan Pembangunan Industri Perikanan Nasional.

Jika demikian apa yang seharusnya dilakukan pemerintah?

Kedua Permen KP tersebut sangat menghambat. Jadi yang harus dilakukan dalam jangka pendek, segera revisi kedua Permen KP tersebut. Ajak stakeholder untuk merumuskan ulang, lakukan sosialisasi, uji publik, baru diterbitkan. Sejujurnya, mekanisme ini terabaikan oleh pemerintah.

Jangka menengah, membangun infrastruktur usaha budidaya, bersama stakeholder menyusun roadmap perikanan budidaya. Pengembangan teknologi wajib dilakukan, agar tidak tertinggal dengan negara lain. Membangun jejaring usaha dan pembenahan kelembagaan perlu dukungan KKP (Kementerian Kelautan dan Perikanan). Bangun kepercayaan atau menjalin kerjasama dengan  perbankan agar usaha budidaya menjadi layak dibiayai. Kemudian diharapkan KKP  bisa membuka akses pasar untuk semua komoditi perikanan budidaya untuk tujuan ekspor.

Jangka panjang, membentuk broodstock centre untuk semua komoditi potensial perikanan budidaya. Menata ulang peranan dari Badan Riset dan Sumber Daya Manusia Kelautan dan Perikanan dan balai-balai perikanan budidaya di Indonesia.

Eksploitasi lagi jenis-jenis baru untuk komoditi budidaya. Terapkan dan laksanakan Inpres 7/2016 dan Perpres Nomor 91 Tahun 2017 tentang Percepatan Pelaksanaan Berusaha, yang sudah ditunggu tunggu stakeholder implementasinya.

Kabarnya, Anda terlibat dalam marikultur terintegrasi. Bisakah dijelaskan?

Marikultur terintegrasi yaitu konsep usaha marikultur yang berproses dalam sebuah sistem secara nasional, hulu-hilir, keterlibatan semua stakeholder dengan mempertimbangkan balance antara supply dan demand. Semua harus dimulai dengan menakar ukuran atau pangsa pasar lokal mau pun ekspor. Dengan dasar ini baru dirancang model, sistem dan volume budidayanya. Semua dikelola secara profesional dan harus mempunyai daya saing yang tinggi.

Saya terlibat dan melibatkan diri waktu saya masih di Perum Perindo, BUMN bidang Perikanan. Kita pernah susun strategi membangkitkan marikultur nasional, untuk semua komoditi. Harapannya, BUMN bisa menjadi stimulator, leader dalam bisnis marikultur. Kita ingin BUMN jadi of taker untuk komoditi marikultur. Fasilitator UMKM perikanan budidaya, jadi bapak angkat dan membangun kemitraan dengan nelayan dan pembudidaya. Perindo yang akan membangun konsep dan sistem usaha marikultur terintegrasi untuk setiap komoditi secara nasional. Konsep ini sudah mulai kita rintis, namun sayang sulit dilanjutkan. Karena hal ini butuh dukungan penuh pemerintah, dalam hal ini KKP dan Kementerian BUMN. Sayang memang, karena kita sudah berhasil menggalang banyak investor yang siap bersinergi dengan usaha marikultur masyarakat.

Disini terlihat, bahwa kita belum punya roadmap perikanan yang baik. Semua masih dalam tataran workshop, seminar, FGD, dll yang berkepanjangan tanpa eksekusi.

Sampai dimana perkembangan marikultur terintegrasi? Apa ada kendala?

Marikultur terintegrasi sudah dirancang sejak awal 2017 sampai Juli 2017 (sekitar 7 bulan). Akhirnya terhenti, layu sebelum berkembang. Ini adalah kerja besar, butuh dukungan dari semua pihak, fokus dan konsisten. Kendalanya? Banyak sekali. Mudah mudahan kendala ini dapat diatasi. Bulan depan akan kita bahas hal ini bersama dengan teman-teman akademisi dan praktisi marikultur nasional.

Jika marikultur terintegrasi ini diterapkan, apa bisa menyalip marikultur Tiongkok? 

Jelas bisa. Karena potensi marikultur kita, baik perairan mau pun panjang pantainya dan didukung dengan iklim tropis, bisa budidaya sepanjang tahun. Sedangkan Tiongkok hanya bisa optimal produksi di Hainan dan hanya pada waktu tertentu. Jadi secara potensi, kita jauh di atas Tiongkok.

Fenny YL Budiman