Konflik Lahan Meningkat Saat Pandemi, Perlu Sinergi Multisektor

Kawasan hutan (ilustrasi)

Data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia (KLHK) mencatat peningkatan tajam jumlah pengaduan konflik lahan di tahun 2020, ketika pandemi COVID-19 terjadi, sehingga akumulasi kasus dari 2015 hingga Juni 2020 mencapai angka 484. Menanggapi hal ini, para pegiat resolusi konflik mendukung terbentuknya sinergi multisektor sebagai kunci penanganan konflik lahan.

Menurut Gamma Galudra, Direktur RECOFTC (Regional Regional Community Forestry Training Center for Asia and the Pacific (RECOFTC) Indonesia, kenaikan konflik lahan tidak lepas dari adanya sistem pencatatan konflik yang lebih baik.

“Berkat sistem dokumentasi dan prosedur penanganan konflik lahan yang lebih baik dari pihak pemerintah, LSM dan swasta, serta gencarnya sosialisasi sistem pengaduan kepada masyarakat, kini konflik terdokumentasi cukup baik,” ujarnya, Rabu (23/9/2020).

Di sisi lain, pandemi ditengarai menambah kompleksitas penanganan konflik. Berkurangnya kesempatan bagi para pihak yang berkonflik untuk bertatap muka secara langsung mempersulit tercapainya sebuah resolusi, sehingga berbagai pihak yang terlibat dalam konflik berupaya untuk mencari alternatif penanganan konflik lahan.

Pegiat resolusi konflik dan reforma agraria Agus Pranata mengatakan bahwa pandemi tidak seharusnya menyebabkan penanganan konflik lahan terhenti.

“Sebaliknya, penanganan konflik lahan harus disesuaikan agar dapat tetap berjalan. Hal ini termasuk membangun sinergi dalam proses penanganan konflik yang kredibel dan efektif, dengan penyebaran informasi secara transparan, peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM) di tingkat tapak, serta persetujuan komitmen damai multipihak,” jelasnya.

Lebih lanjut Agus menjelaskan bahwa selain pemerintah, pihak swasta juga punya kontribusi penting dalam sinergi penanganan konflik selama pandemi,. Kontribusi serta komitmen dari pihak swasta menjadi salah satu faktor penting untuk mendorong sinergi multisektor dalam penanganan konflik Apabila hal tersebut berhasil dioptimalkan, penguatan SDM kemudian menjadi langkah selanjutnya.

“Perihal transparansi informasi dalam proses resolusi konflik juga penting, namun hal ini harus dilakukan sesuai koridor regulasi yang berlaku dan difasilitasi dan dipimpin oleh Pemerintah. Transparansi ini juga seharusnya dilakukan tidak hanya dari pihak swasta, tetapi juga dari para pihak lain yang terlibat dalam proses resolusi sebuah konflik. Transparansi oleh semua pihak yang terlibat akan membantu proses pembelajaran dan peluang yang bisa dibangun ke depannya,” ujar Agus.

Agung Wiyono, Head of Corporate Social & Security APP Sinar Mas menekankan pentingnya penyelesaian konflik untuk dilakukan secara kolaboratif dan multipihak, dengan tetap mengacu pada peraturan. Hal ini termasuk upaya-upaya inovasi dan adaptasi terhadap situasi pandemi.

“Penyelesaian konflik yang tidak mengacu pada peraturan berpotensi menjadi bola liar, contohnya seperti kesepakatan-kesepakatan yang instan yang tidak mempertimbangkan aspek pemberdayaan masyarakat dan keseimbangan lingkungan,” tegas Agung.

Sugiharto