Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) bak mendapat durian runtuh saat Perubahan UU Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil disetujui. Selalu menemui jalan buntu saat meminta pengalihan pengelolaan tujuh taman nasional laut, keinginan KKP akhirnya terwujud saat perubahan UU tersebut disetujui.
Berdasarkan penjelasan pasal 78A Undang-undang No.1 tahun 2014 tentang Perubahan UU No.27 tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, tujuh taman nasional laut yang selama ini dikelola Kementerian Kehutanan harus dialihkan kepada KKP.
Saat diminta konfirmasinya, Sekretaris Jenderal Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), Sjarief Widjaja enggan bicara banyak tentang proses pengalihan pengelolaan tujuh taman nasional laut itu. “Terlalu dini jika kita bicara ini itu. Karena undang-undangnya kan baru disahkan pada Januari 2014. Tentu saja setelah undang-undang kan ada turunannya, ada peraturan pemerintah, peraturan menteri dan sosialisasi,” ujar Sjarief kepada Agro Indonesia di kantor KKP, Jakarta, Rabu (19/3/2014).
Menurut Sjarief, proses pemindahan ini tentunya tidak sederhana. Sebab, hal itu menyangkut kelembagaan, 1 unit eselon 2 dan 6 unit eselon 3. Kemudian sumberdaya manusia, 500 pegawai negeri sipil (PNS) Kementerian Kehutanan (Kemenhut). Belum lagi, urusan pengalihan anggaran pendapatan dan belanja negara serta dampaknya. Termasuk penerimaan negara bukan pajak yang akan dikantongi KKP.
“Kami mengerti jika PNS Kemenhut galau. Karena ini terkait dengan sumberdaya manusia yang memiliki jenjang karier dan ingin kepastian. Untuk itu, KKP akan menjaga proses pemindahannya agar tidak mengganggu kinerja dari unit yang sudah ada. Termasuk jenjang karier dan suasana kerjanya akan dijaga. KKP akan bicara dengan menteri pendayagunaan aparatur negara dan reformasi birokrasi (Menpan-RB) dan Kepala Bappenas. Pelan-pelan lah. Apalagi sekarang ini injury time menjelang kabinet baru,” kata Sjarief.
Sjarief menegaskan, pengalihan tujuh taman nasional laut seperti diatur dalam perubahan UU Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil bukan muncul atas desakan KKP. Melainkan murni inisiatif DPR dan atas permintaan Menpan-RB, yang ingin tujuh taman nasional laut dikelola oleh KKP sesuai dengan tupoksinya. Pasalnya, bicara tentang taman nasional laut dan kepulauan, maka di dalamnya ada fungsi, ada kegiatannya, baik itu budidaya maupun perikanan tangkap yang jelas merupakan ranah KKP dan bukan Kemenhut.
“Tolong lah jangan ada istilah KKP yang ngotot. KKP dan Kemenhut kan sama-sama kantong kanan, kantong kiri. Sama-sama PNS. Sama-sama NKRI. Kita juga saudara sekandung dari Kementerian Pertanian.”
Kedepankan konservasi
Kemenhut memang terkesan tak rela melepaskan wewenangnya terhadap tujuh taman nasional laut. Dalihnya, Kemenhut tak ingin kecewa kalau upaya konservasi yang dilaksanakan selama ini di tujuh taman nasional laut tersebut berantakan.
Direktur Konservasi Kawasan dan Bina Hutan Lindung Kemenhut Bambang Dahono Adji menyatakan, jika harus dialihkan kepada Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), maka pengelolaan taman nasional laut harus lebih baik dari saat ini. “Kalau malah berantakan, yang malu bukan Kemenhut, tapi Indonesia secara keseluruhan di mata internasional,” katanya di Jakarta, Kamis (20/3/2014).
Bambang mengakui, pengelolaan taman nasional laut oleh Kemenhut selama ini belum sempurna. Meski demikian, dia mengklaim pengelolaan yang dilakukan sudah berada di jalur yang benar. Lembaga pengelola yang kuat, SDM yang profesional, dan tata batas wilayah yang terus dimantapkan menjadi sebagian bukti pengelolaan taman nasional laut. “Setiap taman nasional laut juga telah ditetapkan zonasi dan rencana pengelolaan yang menjadi pegangan untuk pengelolaannya,” kata Bambang.
Bukti bahwa pengelolaan taman nasional laut selama ini sudah benar adalah adanya pengakuan dari dunia internasional. Sebut saja pengakuan dari Badan PBB Pendidikan, Keilmuan, dan Kebudayaan (UNESCO), yang menganugerahkan Taman Nasional Kepulauan Wakatobi sebagai Cagar Biosfer. Pengakuan tersebut menegaskan, pengelolaan taman nasional laut di sana berjalan seimbang antara konservasi, ekonomi, sosial dan budaya.
Bambang menegaskan pentingnya keseimbangan antara konservasi dan kebutuhan lainnya. Pilar konservasi, katanya, memastikan manfaat yang diperoleh dari lingkungan bisa berkelanjutan. “Perhatian utama kami adalah upaya-upaya konservasi terus dipertahankan. Kalau orientasinya produksi perikanan, tentu akan mengancam kondisi taman nasional,” kata dia.
Kesiapan
Kekhawatiran tersebut memang bukan tanpa alasan. KKP selama ini memang identik dengan produksi produk perikanan. Apalagi, KKP tak seperti Kemenhut yang punya eselon I khusus yang menangani konservasi. Struktur organisasi paling tinggi yang menangani konservasi di KKP adalah setingkat eselon 2, yang menangani seluruh kegiatan konservasi, baik konservasi jenis maupun kawasan.
Kekhawatiran tersebut meningkat, sebab dalam surat yang dilayangkan oleh Menteri Kelautan dan Perikanan, September 2011, permohonan pengalihan taman nasional laut salah satu alasannya adalah agar budidaya kelautan (marine aquaculture) yang menjadi program perikanan budiaya KKP bisa terlaksana dengan baik.
Bambang juga menekankan soal pentingnya kesiapan KKP sebelum mengambil alih taman nasional laut. Hal itu berkaca kepada kejadian tak sedap di masa lalu saat peralihan pengelolaan hutan di daerah, dari Kantor Wilayah Kemenhut ke dinas kehutanan pada awal pelaksanaan otonomi daerah.
Saat itu, beberapa dinas kehutanan yang belum memiliki organisasi yang kuat, belum dilengkapi dengan SDM yang mumpuni dan tidak dibekali anggaran yang memadai akhirnya kesulitan menjalankan wewenangnya. “Akhirnya hutan kita rusak. Kami tak ingin pengalaman ini berulang pada taman nasional laut,” ujar Bambang lirih. Sugiharto/Fenny
Lemahnya Etika dan Komunikasi
Munculnya ketentuan yang mengharuskan tujuh taman nasional diserahkan pengelolaannya kepada Kementerian Kelautan dan Perikanan dipertanyakan. Lektor Kepala Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB, Dr. Fredinan Yulianda mengaku heran sebab ada ketidakserasian antara pasal 78A dengan penjelasannya seperti tertuang dalam UU Undang-undang No.1 tahun 2014 tentang Perubahan UU No.27 tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil.
“Dalam pasal 78A memang dinyatakan kawasan konservasi di wilayah pesisir menjadi kewenangan menteri kelautan dan perikanan. Namun, kurang tepat jika kemudian yang muncul dalam penjelasan pasal tersebut adalah tujuh taman nasional laut menjadi kewenangan menteri kelautan dan perikanan,” kata Fredi.
Dia menyayangkan rendahnya komunikasi yang dibangun KKP dengan pihak Kemenhut dalam proses pembahasan perubahan UU tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil. Sebagai sesama institusi pemerinatahan, seharusnya hal itu tidak boleh terjadi. “Memang, secara yuridis pengelolaan wilayah pesisir menjadi kewenangan KKP. Tapi etikanya kurang tepat jika peralihan pengelolaan tersebut tidak terjalin komunikasi yang baik,” katanya.
Dia menyatakan, situasi tersebut kerap terjadi dalam proses pembahasan UU di Indonesia yang sifatnya sektoral. UU baru yang diajukan oleh sektor tertentu akhirnya bertabrakan dengan UU lain, terutama yang bertujuan konservasi. “Misalnya UU pembentukan kabupaten yang ternyata seluruhnya berada di dalam kawasan konservasi,” katanya.
Fredi sendiri melihat banyak kelemahan pada UU No.5 tahun 1990 tentang Konservasi Keanekaragaman Hayati dan Ekosistemnya yang dijadikan pegangan kemenhut dalam pengelolaan taman nasional laut selama ini. UU tersebut dinilai terlalu menutup peluang adanya pemanfatan sumberdaya pesisir dan kelautan. “Seharusnya sumberdaya yang ada masih bisa dimanfaatkan sepanjang dilakukan secara tradisional dan tetap mengikuti kaidah konservasi,” katanya. Sugiharto/Fenny