Perebutan taman nasional laut antara Kementerian Kehutanan (Kemenhut) dan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) memasuki babak baru. Pembuka lembaran itu adalah terbitnya Undang-undang No.1 tahun 2014 tentang Perubahan UU No.27 tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil.
Berdasarkan pasal 78 A UU yang disahkan 15 Januari 2014 itu, tujuh taman nasional laut yang selama ini dikelola dan kokoh dipertahankan oleh Kemenhut harus dialihkan kepada KKP. Diklaim muncul sebagai pasal kejutan, Kemenhut tidak menyerah begitu saja mengikuti ketentuan tersebut. “Ada syaratnya,” tegas Direktur Konservasi Kawasan dan Bina Hutan Lindung Kemenhut Bambang Dahono Adji di Jakarta, Kamis (20/3/2014).
Soal pengelolaan taman nasional laut, sejatinya pernah ada kesepakatan antara Kemenhut dan KKP, Maret 2009. Dalam berita acara serah terima yang diteken kedua menteri, waktu itu MS Kaban dan Freddy Numberi, Kemenhut menyerahkan 8 kawasan konservasi laut kepada KKP. Sementara tujuh kawasan konservasi yang telah melembaga menjadi taman nasional, disepakati untuk tetap berada di bawah otoritas Kemenhut. Meski demikian, pengelolannya bisa dilakukan secara kolaboratif.
Tujuh taman nasional tersebut adalah Taman Nasional (TN) Laut Kepulauan Seribu, TN Kepulauan Karimun Jawa, TN Laut Bunaken, TN Laut Kepulauan Wakatobi, TN Laut Taka Bonerate, TN Teluk Cendrawasih, dan TN Kepulauan Togean.
Namun, hasrat KKP untuk mengelola taman nasional laut belakangan memuncak. Yang paling keras adalah saat menteri kelautan dan perikanan, yang saat itu dijabat oleh Fadel Muhammad, melayangkan surat kepada Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan, 7 September 2011. Dalam suratnya, Fadel meminta Menhut untuk bersepakat mendukung pengelolaan budidaya kelautan dan ‘menodong’ menhut dengan draft Keputusan Bersama yang mengatur tentang pengelolaan taman nasional (TN) laut.
Oleh Menhut Zulkifli, permintaan tersebut ditolak mentah-mentah seperti tertuang dalam surat yang dilayangkannya Januari 2012. Dalam surat tersebut, menhut menegaskan permohonan menteri KP untuk mengambil alih 7 taman nasional perairan tidak dapat dipertimbangkan karena bertentangan dengan UU No.5 tahun 1990 tentang Konservasi Keanekaragaman Hayati dan Ekosistemnya. Namun, menhut masih membuka peluang pengelolaan kolaborasi, sesuai dengan kesepakatan yang pernah diteken.
Hasrat KKP tak surut meski kemudian Fadel terpental dari jabatan Menteri KP. Menteri KP yang kemudian menjabat, Syarif C Sutarjo, kembali melayangkan surat kepada menhut, Maret 2013. Dalam suratnya, Syarif meminta menhut membantu penyelesaian dan pengalihan kewenangan urusan konservasi. Menhut juga diminta Syarif untuk berkoordinasi soal revisi UU Konservasi Keanekaragaman Hayati dan Ekosistemnya sehingga bisa sesuai dengan kewenangan masing-masing kementerian.
Tapi, selain lewat jalur bilateral dengan Kemenhut, KKP rupanya juga menempuh jalur lain. Membonceng revisi UU Pengelolaan Wilayah Persisir dan Pulau-pulau Kecil, KKP akhirnya berhasil menarik tujuh taman nasional laut, sekaligus merontokan keukeuhnya Kemenhut.
Dalam pasal 78A UU No.1 tahun 2014 tentang Perubahan UU Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil dinyatakan, “Kawasan konservasi di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil yang telah ditetapkan melalui peraturan perundang-undangan sebelum UU ini berlaku adalah menjadi kewenangan Menteri”. Menteri yang dimaksud dalam UU tersebut adalah Menteri KP.
Sementara dalam penjelasan 78A dinyatakan, kawasan konservasi tersebut termasuk taman nasional atau taman nasional laut. Bahkan, tujuh taman nasional laut yang selama ini dipertahankan Kemenhut dan ingin diambil alih KKP, disebut secara tegas.
Evaluasi
Kemenhut pun terkaget-kaget dengan munculnya pasal tersebut. “Tentu saja kami terkejut ketentuan tersebut tiba-tiba ada,” ujar Bambang.
Kemenhut merasa selama ini tak pernah ada pembicaraan peralihan taman nasional laut dalam revisi UU Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil. Dalam proses pembahasan revisi UU tersebut, perwakilan Kemenhut memang pernah hadir. Namun, itu hanya satu kali dan tidak membahas soal peralihan taman nasional laut. Lagi pula, tujuan revisi UU Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil adalah untuk merespon putusan Mahkamah Konstitusi yang membatalkan ketentuan soal Hak Pengusahaan Perairan Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (HP3). “Putusan MK tidak terkait dengan peralihan taman nasional laut,” kata Bambang.
Dia menegaskan, sebagai amanat UU, pihaknya tunduk dengan ketentuan yang diatur. Meski demikian, Kemenhut mengajukan persyaratan. Syarat itu adalah dilakukannya evaluasi menyeluruh terhadap 8 kawasan konservasi laut yang sudah diserahkan sebelumnya kepada KKP. “Perlu dievaluasi apakah sudah ada organisasi pengelolanya, sumberdaya manusia pengelolanya, tata batasnya, rencana pengelolaan dan zonasinya?” tanya Bambang.
Kawasan konservasi yang dimaksud adalah Taman Wisata Alam Laut (TWAL) Gili Ayer, Gili Meno, Gili Trawangan, TWAL Pulau Padaido, TWAL Kepulauan Kapoposang, TWAL Pulau Pieh dan Perairan, Suaka Margasatwa Laut (SML) Kepulauan Panjang, SML Taman Laut Banda, dan SML Kepulauan Aru.
Evaluasi tersebut, kata Bambang, juga menjadi kesepakatan yang dicapai Kemenhut dan KKP tahun 2009. “Ingat, ada kesepakatan untuk melakukan evaluasi terhadap delapan kawasan konservasi yang sudah dikelola KKP,” kata Bambang.
Evaluasi, katanya, selain melibatkan KKP dan Kemenhut, juga harus melibatkan pihak ketiga yang independen, termasuk kalangan akademisi. Hal itu demi memastikan evaluasi berjalan objektif. Bambang menegaskan, hasil evaluasi tersebut selanjutnya harus ditindaklanjuti dengan perbaikan pengengelolaan delapan kawasan konservasi tersebut di lapangan.
Bambang menyatakan, KKP juga harus melihat kesiapan internal jika pengelolan tujuh taman nasional laut diambil alih. Termasuk didalamnya adalah soal kesiapan sumberdaya manusia dan anggaran pengelolaan. Sebagai catatan, setiap balai taman nasional laut saat ini mendapat anggaran sekitar Rp15 miliar di luar anggaran rutin.
Bambang menegaskan, jika hasil evaluasi mengungkapkan pengelolaan 8 kawasan konservasi yang sudah dikelola KKP ternyata masih jauh dari harapan, maka sepantasnya KKP ikhlas jika pengelolaan taman nasional laut tetap ada di bawah otoritas Kemenhut. “Kami juga legowo kok untuk menyerahkan taman nasional kalau ternyata berdasarkan evaluasi kawasan konservasi yang menjadi wewenang KKP dikelola dengan baik,” kata Bambang. Sugiharto/Fenny
“Kabinet Depan, KKP Mungkin Tak Ada Lagi”
Pengajuan syarat mengevaluasi pengelolaan kawasan konservasi yang dikelola KKP, boleh jadi hanya penolakan halus dari Kemenhut untuk langsung menyerahkan tujuh taman nasional laut. Asal tahu, sejak diserahkan tahun 2009 hingga saat ini, KKP belum membentuk organisasi pengelola khusus untuk mengelola masing-masing kawasan konservasi laut yang menjadi kewenangannya.
KKP memang sudah membentuk unit pengelola teknis terkait kegiatan konservasi dan pengelolaan pesisir dan pulau-pulau kecil. Namun, wilayah pengelolaannya bersifat regional yang sangat luas dan jumlahnya baru 7 unit.
Pelaksana Tugas Dirjen Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam Kemenhut Sonny Partono bahkan secara eksplisit menyatakan mengulur waktu penyerahan taman nasional laut kepada KKP. Meski enggan menyebut secara detil langkah apa yang diambil, Sonny menyatakan Kemenhut punya waktu paling tidak tiga tahun, seperti diatur dalam Perubahan UU Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil.
Sonny dalam dialog dua mingguan Kemenhut, Senin (11/3/2014) menyatakan, siapa pengelola taman nasional laut di masa yang akan datang juga bergantung kepada bagaimana hasil pemilu tahun ini. “Kita nggak tahu bagaimana portofolio kementerian pada kabinet mendatang. Bisa jadi KKP tidak ada lagi,” ujar dia. Sugiharto/Fenny