Syarat dan Aturan Berbau Kartel

Harga daging sapi di pasar tradisional masih cukup tinggi. Padahal, Kementerian Perdagangan masih  membuka izin impor sapi siap potong dan sapi bakalan. Pada triwulan I tahun ini saja, sudah ratusan ribu ekor sapi siap potong dan bakalan sudah masuk ke Indonesia, namun harga daging sapi tetap mahal.

“Jika harga karkas masih di atas Rp75.000/kg, maka harga daging sapi sulit diturunkan. Salah satu caranya adalah memasok daging sapi ke pasar dalam jumlah yang cukup,” kata Ketua Asosiasi Pedagang Daging Indonesia (APDI), Asnawi kepada Agro Indonesia, pekan lalu.

Menurut dia, sapi siap potong yang diimpor diduga tidak langsung dipotong, tetapi ditahan terlebih dahulu, sehingga harga daging sapi tidak turun. Padahal, lanjutnya, tujuan pemerintah membuka impor sapi siap potong menjelang Lebaran tahun 2013 lalu untuk menekan harga daging sapi. Namun, nyatanya sampai sekarang harga daging sapi masih di atas harga referensi yang ditetapkan pemerintah, Rp76.000/kg.

Dia mengatakan, harga beli karkas di pengecer atau pedagang daging kepada pengusaha jagal masih tinggi, yaitu Rp77.000/kg untuk jenis sapi lokal dan Rp74.000/kg untuk jenis sapi eks impor. Dengan harga ini, maka harga daging sapi tetap tinggi. “Sapi eks impor, terutama sapi siap potong, harus segera dipotong jika sudah masuk ke Indonesia. Importir jangan tahan sapi siap potong,” tegasnya.

Menurut Asnawi, harga daging sapi masih sekitar Rp90.000-Rp95.000/kg, tergantung dengan jenisnya. Kalau harga daging turun, biasanya tidak bertahan lama. “Setelah itu naik lagi,” katanya.

Dalam SK Menteri Perdagangan No.699/M-DAG/KEP/7/2013 tentang Stabilisasi Harga Daging Sapi disebutkan, yang boleh melakukan impor sapi siap potong adalah industri pemotongan hewan, feedlotter yang terintegrasi dan rumah potong hewan.

“Kenyataannya sekarang, yang melakukan impor sapi siap potong feedlotter yang terintegrasi. Masalahnya, para feedlotter ini tidak langsung memotong sapi, tetapi menjual sapinya kepada RPH. Ini menyalahi aturan,” sergahnya.

Kartel

Asnawi mengatakan, tidak semua pedagang bisa membeli sapi di perusahaan penggemukan (feedlotter), karena di kalangan pengusaha/importir sapi siap potong dan bakalan ada semacam ketentuan. “Jika kita sudah mendapat pasok dari perusahaan A, maka kita tidak bisa membeli kepada perusahaan B. Saya tidak tahu, apakah ini menyalahi aturan atau tidak. Tapi seingat saya kalau yang namanya dagang, siapa saja bisa membeli,” tegasnya.

Perlakuan feedloter/importir sapi siap potong tersebut pernah disampaikan APDI kepada Menteri Perdagangan dan menteri terkait lainnya melalui surat yang dikirim tahun lalu. Isi surat itu antara lain menyebutkan, RPH yang dapat membeli dan menerima sapi-sapi siap potong jika RPH tersebut telah memiliki supply chain dari perusahaan importir yang ditunjuk.

“Kami memandang syarat dan ketentuan tersebut membuktikan telah terjadi kartel. Jika RPH milik A telah mendapat izin supply chain dari perusahaan importir milik B, maka perusahaan importir milik C dan D tidak dapat mengirim ke sapi ke RPH milik A,” tegasnya.

Dia mengatakan, selayaknya pemerintah memiliki instrumen badan pengawas yang  independen. APDI meminta kepada pihak berwenang, khususnya Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) segera turun tangan untuk mengetahui kenapa harga daging sapi di pasar tetap mahal.

Realisasi impor

Data Kemendag mencatat, sampai 31 Maret 2014 (kuartal I 2014) realisasi impor sapi siap potong mencapai 15.834 ekor atau baru mencapai 60,06% dari jumlah Surat Persetujuan Impor (SPI) yang telah diterbitkan, yakni 26.360 ekor kepada 16 perusahaan.

Sedangkan untuk sapi bakalan, realisasi impornya  sudah  mencapai 112.045 ekor atau 86,02% dari SPI yang diterbitkan sebanyak 130.245 ekor yang diberikan kepada 35 perusahaan.

Untuk sapi indukan, pada kuartal I tahun ini belum ada realisasinya sama sekali. Padahal, pada periode Januari-Maret 2014, Kemendag telah memberikan SPI sebanyak 2.500 ekor kepada satu perusahaan, yakni PT Sulung Ranch.

Sedangan realiasi impor daging sapi terhitung per 31 Maret 2014 mencapai 17.374,64 ton atau hanya 34,04% dari SPI yang dikeluarkan periode Januari-Maret sebanyak 51.037,47 ton kepada 75 perusahaan.

Namun, data Badan Karantina Pertanian, Kementerian Pertanian mencatat, impor sapi yang sudah masuk ke Indonesia sampai 31 Maret 2014 tercatat sebanyak 35.541 ekor. Dari jumlah ini tercatat 7.962 ekor sapi siap potong dan 27.579 ekor sapi bakalan.

Sudah gagal

Ketua Perhimpunan Peternak Sapi dan Kerbau Indonesia (PPSKI) Teguh Boediayana mengatakan, harga daging sapi di pasar tradisional masih cukup tinggi, karena harga beli sapi siap potong maupun sapi bakalan dari negara asal sudah cukup mahal.

“Harga beli sapi siap potong dari Australia, misalnya sudah mencapai 3,2 dolar AS/kg berat hidup. Harga ini belum termasuk biaya kirim, pajak dan sebagainya,” katanya.

Dengan harga yang mahal tersebut, maka impor sapi siap potong maupun bakalan pengaruhnya terhadap harga daging di pasar sangat kecil. Bahkan, daging sapi impor sekarang ini ada yang merembes ke pasar tradisional seperti di Jawa Barat, Banten dan Jakarta.

“Dampak kebijakan dibukanya kran impor daging sapi seluas-luasnya memberi dampak negatif terhadap usaha peternakan sapi potong rakyat di pedesaan. Masalahnya, daging impor mulai masuk pasar becek,” katanya.

Dalam Permendag No 46/M-DAG/Per/8/2013 pasal 17 menyatakan bahwa karkas, daging dan jeroan yang diimpor untuk tujuan, penggunaan dan distribusi bagi industri, hotel, restoran, katering dan atau keperluan khusus lainnya.

Teguh mengatakan sudah saat pemerintah, terutama Kementerian Perdagangan melakukan evaluasi terhadap Kepmendag 699/2013. Dalam Kepmendag ini disebutkan, yang boleh melakukan impor sapi siap potong adalah industri pemotongan hewan, feedlotter yang terintegrasi dan rumah potong hewan.

Tetapi kenyataannya, yang melakukan impor sapi siap potong feedlotter yang terintegrasi. “Masalahnya feedlotter ini tidak langsung memotong sapi, tetapi menjual sapinya kepada RPH. Ini menyalahi aturan,” katanya.

Dia mengatakan, Kepmendag 699/2013 sudah gagal menurunkan harga daging. Selain itu, PPSKI menilai banyak terjadi penyimpangan dalam pelaksanaan Kepmendag tersebut.

Pertama, Kepmendag tidak teliti karena ada tiga kelompok yang boleh impor, yaitu feedlotter terintegrasi, industri pemotongan hewan dan rumah potong hewan (RPH). Dari tiga kelompok ini hanya feedlotter terintegrasi saja yang melaksanakan impor.

Kedua, ketentuan pendistribusian daging secara langsung tidak dilaksanakan. Realitanya, importir menjual sapi impor ke pejagal. Akibatnya,  tujuan pemerintah yang ingin memotong tataniaga daging untuk menekan harga tidak tercapai. Seharusnya, daging dijual kepada pengecer. Melihat harga sapi saat ini, harapan Mendag agar harga daging seperti harga referensi Rp76.000/kg sulit dicapai.

“Dengan harga Rp35.000/kg berat hidup saja sulit turun menjadi Rp76.000/kg. Apalagi dengan harga sapi potong saat ini Rp39.000/kg berat hidup,” tegasnya. Jamalzen

Sapi Mahal, Harga Daging pun Tinggi

Tudingan keras adanya kartel membuat gerah Asosiasi Produsen Daging dan Feedlot Indonesia (Apfindo). Direktur Eksekutif Apfindo, Joni Liano tegas membantah jika feedlotter menahan sapi atau tidak melakukan pemotongan. Tingginya harga daging karena harga sapi siap potong di Australia memang cukup tinggi. Belakangan, seiring menguatnya rupiah, harga pun mulai turun.

“Sekarang ini harga daging sapi di pasar tradisional mulai turun menjadi Rp82.000/kg-Rp85.000/kg. Hal ini disebabkan stok sapi eks impor yang masuk akhir tahun lalu sudah mulai dipotong,” katanya.

Bahkan, lanjut Joni Liano, menjelang puasa dan lebaran tahun ini harga daging sapi masuk tahap normal. “Hukum pasar sudah berjalan, yaitu jika pasok lancar dan banyak, maka harga akan turun. Sekarang ini pasok daging, baik dari eks sapi impor dan lokal, lebih dari cukup,” tegasnya.

Ditanya harga daging sapi tidak turun-turun karena ulah feedlotter, Joni mengatakan perusahaan penggemukan selalu dipantau Kemendag. Jika feedloter tidak melakukan pemotongan atau menahan sapi bakal dapat teguran.

Dia juga membantah pernyataan APDI, yang mengatakan pedagang hanya boleh membeli pada salah satu feedlotter. “Itu sama sekali tidak benar. Masalahnya, hanya pada terbatasnya RPH yang sudah diakreditasi,” katanya.

Joni malah balik mempertanyakan kemampuan finansial anggota APDI untuk membeli sapi di perusahaan penggemukan. “Kalau sapi selalu ada. Masalahnya, apakah mereka (anggota APDI) ada kemampuan finansial untuk beli barang?” tegasnya.

Menurut Joni, feedlotter adalah pedagang, sehingga mereka selalu ingin cepat barang dagangannya habis. Dengan demikian, apa yang dikeluhkan APDI sama sekali tidak benar. “Sekarang ini sapi banyak. Silakan datang ke feedlotter. Meskipun sapi tersedia, tapi belum tentu bisa segera dipotong, karena RPH yang terakreditasi terbatas,” ungkapnya.

Dia mengatakan, realiasi impor sapi hingga minggu kedua April 2014 sudah mencapai 97% dari Surat Persetujuan Impor (SPI) yang dikeluarkan Kemendag, kuartal I sebanyak 147.000 ekor. Dari jumlah ini, sekitar 23.000 ekor sapi siap potong dan sisanya sapi bakalan.

“Sekarang ini sapi siap potong tidak menarik karena beda harganya dengan sapi bakalan sangat tipis. Impotir lebih suka sapi bakalan, apalagi menjelang lebaran tahun ini,” katanya.

Dia menyebutkankan, stok sapi di Apfindo yang siap potong saat ini sekitar 3.000 ekor. Namun, pada April ini diperkirakan akan masuk lagi sapi impor sebanyak 60.000 ekor. “Sapi bakalan yang masuk bulan Maret dan April ini untuk persiapan potong menjelang Lebaran mendatang,” tegasnya. Jamalzen

SHARE
Previous articleKartel Impor Sapi
Next articleKPPU pun Curiga