Ubah BK Ekspor Kakao

Kementerian Pertanian mengusulkan perubahan penerapan bea keluar (BK) ekspor kakao. Demi memberi insentif petani, kakao fermentasi dikenakan BK 0%, sementara kakao asalan dinaikkan menjadi 20%. Namun, insentif bagi petani ini ditolak pengusaha. Padahal, di dalam negeri, hukum pasar tidak terjadi karena industri besar menekan harga petani, yang mayoritas masih melepas biji kakao asalan.

Bangkit industri kakao di dalam negeri ternyata tidak berimbas positif terhadap petani. Sampai kini, hampir seluruh produksi biji kakao petani dilepas dalam bentuk asalan atau tidak difermentasi. Setidaknya, itu diakui oleh Ketua Umum Asosiasi Industri Kakao Indonesia (AIKI), Piter Jasman. “Hampir semuanya yang masuk ke industri adalah kakao non fermentasi. Kakao fermentasi hanya diproduksi oleh PTPN XII dan kebun swasta,” ungkap Piter. Secara perbandingan, kakao non fermentasi mencapai 97% dan hanya 3% yang fermentasi.

Kondisi ini jelas tidak menguntungkan petani. Pasalnya, secara harga harusnya kakao fermentasi lebih bagus ketimbang kakao asalan. Namun, fakta di lapangan, petani kerap tidak berdaya karena harga kakao fermentasi dan non fermentasi dibeli pengepul tidak berbeda jauh, kalau bukan sama. Padahal, untuk fermentasi ada waktu dan biaya tambahan yang dikeluarkan petani.

Ini yang mendorong Kementerian Pertanian mengusulkan insentif penerapan BK 0% untuk ekspor biji kakao yang difermentasi dan menaikkan tarif BK non fermentasi menjadi 20%. “Saya berharap BK biji kakao asalan bisa menjadi 20%, sedangkan untuk kakao fermentasi tidak dikenakan BK. Ini merupakan intensif bagi biji kakao fermentasi dan disintensif bagi ekspor biji kakao asalan,” usul Dirjen Perkebunan Kementerian Pertanian, Bambang. Usulan ini sudah diajukan ke Kantor Menko Perekonomian.

Namun, pagi-pagi usulan ini ditolak. Bahkan, Ketua Umum Asosiasi Kakao Indonesia (Askindo), Zulhefi Sikumbang menilai usulan Kementan suatu kekeliruan. Pasalnya, saat ini ekspor kakao sangat minim. “Apa gunanya BK itu. Dengan pajak sekarang ini saja minim sekali yang diekspor. Pabrik di dalam negeri saja kekurangan pasokan,” ujarnya di Jakarta, Jumat (23/12/2016).

Yang menarik, hukum pasar ternyata tidak berlaku untuk kakao. Seorang importir kakao, Christian, mengatakan industri kakao sudah kelebihan kapasitas, sementara pasok kakao terbatas. Sialnya, permintaan yang lebih besar tidak membuat harga naik karena pabrikan membeli langsung ke petani, tidak melalui pengepul. “Logikanya, kalau permintaan banyak dan pasok terbatas, mestinya harga kakao di petani mahal. Tapi ini tidak terjadi, karena pabrikan tekan harga,” kata Christian.

Kondisi ini jelas tidak sehat. Industri tidak boleh untung sendiri. Ketiadaan insentif bisa membuat petani berganti komoditi, dan terbukti produksi kakao terus menurun. Jika 2010 produksi masih 557.596 ton, tahun 2015 tinggal 377.000 ton. Padahal, pemerintah pernah membuat program Gerakan Nasional Peningkatan Produksi dan Mutu Kakao (Gernas Kakao) pada 2009. AI

SHARE
Previous articlePengusaha pun Menolak
Next articlePedasnya Harga Cabe