Pengusaha pun Menolak

Pemerintah berencana memberikan insentif kepada petani kakao di dalam negeri yang melakukan proses fermentasi terhadap kakao yang dihasilkannya. Insentif itu dilakukan melalui peningkatan bea keluar (BK) terhadap kakao asalan (non fermentasi) menjadi 20% dan membebaskan BK terhadap kakao yang difermentasi.

“Saya berharap untuk BK biji kakao asalan bisa menjadi 20%, sedangkan untuk kakao fermentasi tidak dikenakan BK. Ini merupakan intensif bagi biji kakao fermentasi dan disintensif bagi ekspor biji kakao asalan,” usul Dirjen Perkebunan Kementerian Pertanian, Bambang.

Bambang mengatakan, usulan Kementan itu akan diajukan kepada Kantor Menko Perekonomian.

Sebelumnya, pemerintah melalui Peraturan Menteri Keuangan No. 67/PMK.011/2010 tanggal 22 Maret 2010, memutuskan mengenakan Bea Keluar (BK) terhadap ekspor biji kakao. Penerapan BK ini bertujuan untuk menjamin terpenuhinya kebutuhan bahan baku industri di dalam negeri dan menyeimbangkan dukungan terhadap daya saing industri kakao di dalam negeri yang pada akhirnya berdampak kepada nilai tambah yang diterima petani kakao.

Hal ini sesuai Peraturan Pemerintah No.55 Tahun 2008 tentang pengenaan Bea Keluar terhadap barang ekspor, yang salah satu tujuan pengenaan BK adalah menjamin terpenuhinya kebutuhan dalam negeri.

Dalam PMK  No. 67/2010 itu, komoditas kakao yang dikenakan BK adalah  kakao dengan Pos tarif 1801.00.00.00. Besarnya  tarif BK untuk ekspor biji kakao pun dibedakan berdasarkan harga komoditas itu di pasar internasional.

Jika harga di pasar internasional (harga rata-rata CIF New York Board of Trade) berada di bawah 2.000 dolar AS/ton, maka BK-nya adalah 0%. Jika harganya  di  atas 2.000  dolar AS hingga di posisi 2.750 dolar AS/ton, maka dikenakan BK sebesar 5%. Sementara jika harga internasional mencapai kisaran lebih dari 2.750  dolar AS hingga 3.500 dolar AS/ton, besaran BK-nya adalah 10%. Jika harga internasional di atas 3.500 dolar AS/ton, pemerintah menerapkan BK sebesar 15%.

Bambang mengatakan, melalui usulan penetapan BK kakao yang baru, pemerintah berharap nantinya bisa mengurangi ekspor biji kakao asalan dan lebih mengarah kepada kakao fermentasi ataupun kakao olahan, baik setengah jadi ataupun barang jadi.

“Cara ini harus dilakukan untuk meningkatkan mutu melalui fermentasi, tetapi sampai saat ini belum berhasil. Penyebabnya adalah tidak adanya dukungan pasar,” papar Bambang.

Keliru

Terbukti, usulan Kementan soal insentif dan disinsentif terhadap petani kakao itu mendapatkan penolakan dari kalangan eksportir dan industri pengolah kakao di dalam negeri.

Ketua Umum Asosiasi Kakao Indonesia (Askindo), Zulhefi Sikumbang mengatakan, usulan Kementan itu adalah suatu kekeliruan. Pasalnya, saat ini saja ekspor komoditas kakao sangat minim.

“Apa gunanya BK itu. Dengan pajak sekarang ini saja minim sekali yang diekspor. Pabrik di dalam negeri saja kekurangan pasokan,” ujarnya kepada Agro Indonesia, Jumat (23/12/2016).

Berdasarkan data Askindo, ungkap Zulhefi, sejak diberlakukannya aturan BK kakao, produksi kakao di dalam negeri terus mengalami penurunan. Jika tahun 2010 produksi  kakao nasional mencapai 557.596 ton, maka tahun 2011 volume produksinya turun menjadi 460.809 ton. Angka produksi itu kembali turun di tahun 2012 menjadi 452.606 ton.

Setahun berselang, tahun 2013, volume produksi kakao merosot lagi menjadi 444.035 ton dan turun lagi menjadi 368.925 ton di tahun 2014. Sementara di tahun 2015, produksinya hanya mencapai 377.000 ton. Zulhefi memperkirakan produksi kakao di tahun 2016 juga tidak jauh berbeda dengan tahun 2015.

Dia mengatakan, menurunnya produksi kakao di dalam negeri, selain disebabkan oleh turunnya harga di pasar internasional, juga disebabkan adanya kebijakan bea keluar. “Akibat kebijakan bea keluar, petani kakao terpaksa menjadi pihak yang dirugikan karena harus menanggung biaya bea keluar,” kata Zulhefi.

Dia merujuk pada volume ekspor biji kakao yang terus mengalami penurunan dari tahun ke tahun.  Di Tahun 2010, ekspor biji kakao masih mencapai 432.426 ton. Tetapi di tahun 2011, volume ekspornya merosot tajam menjadi 210.067 ton dan di tahun 2012 turun lagi menjadi 163.501 ton. Sementara di tahun 2013, volume ekspor biji kakao naik menjadi 188.000 ton, namun di tahun 2014 ekspornya malah turun tajam menjadi 63.334 ton.

Penurunan volume ekspor juga terjadi pada tahun 2015, di mana volume ekspor biji kakao hanya mencapai 38.622 ton. Sedangkan untuk periode Januari-September 2016, volume ekspornya baru mecapai 21.563 ton.

Dengan tren yang terjadi selama 9 bulan pertama 2016, Zulhefi memperkirakan volume ekspor biji kakao sepanjang tahun 2016 ini tidak akan mencapai angka 30.000 ton.

Picu manipulasi data

Itu sebabnya, dia megingatkan pemerintah untuk fokus pada upaya meningkatkan produksi kakao dengan mendorong petani menanam kakao. “Selama ini, banyak petani kakao yang sudah beralih ke komoditas lainnya yang lebih menguntungkan, seperti kelapa sawit, kopi dan karet,” papar Zulhefi Sikumbang.

Penolakan terhadap usulan Kementan juga dilontarkan kalangan industri pengolah kakao. Ketua Umum Asosiasi Industri Kakao Indonesia (AIKI), Piter Jasman menilai usulan Kementan itu bisa membuat industri kalao di dalam negeri makin kekurangan bahan baku.

Piter Jasman mengatakan, usulan  Kementan itu kurang tepat karena jika biji kakao non fermentasi tarifnya menjadi 20% dan kakao fermentasi 0%, maka biji kakao yang bagus akan lebih banyak diekspor. “Sedangkan untuk industri di dalam negeri hanya tersisa yang jelek-jelek saja,” ujarnya.

Dia juga mengingatkan, kebijakan itu juga berpotensi memicu aksi menipulasi data karena kakao fermentasi dan kakao non fermentasi sulit sekali dibedakan secara fisik.

Dijelaskan, selama ini industri pengolah kakao di dalam negeri mayoritas hanya menerima kakao non fermentasi dari petani di dalam negeri. Hanya sedikit sekali kakao fermentasi yang masuk ke industri pengolah kakao.

“Hampir semuanya yang masuk ke industri adalah kakao non fermentasi. Kakao fermentasi hanya diproduksi oleh PTPN XII dan kebun swasta,” ucap Piter, seraya menyebutkan perbandingan kakao fermentasi dan kakao non fermentasi yang masuk ke industri adalah 97: 3.

Menurutnya, yang mendesak dilakukan Kementan bukanlah menaikkan BK kakao, tetapi bagaimana menaikkan produksi kakao di dalam negeri sehingga industri pengolah kakao bisa meningkatkan utilisasi pabriknya.

“Saat ini, kapasitas produksi dari pabrik pengolah kakao yang ada di Indonesia mencapai 800.000 ton. Sedangkan bahan baku dari dalam negeri hanya sekitar 400.000 ton,” jelasnya.

Terkait dengan kekurangan pasokan bahan baku berupa biji kakao, Dirjen Industri Agro Kementerian Perindustrian, Panggah Susanto meminta industri pengolah kakao mengimpor biji kakao. “Selayaknya pasokan bahan baku dari dalam negeri. Namun, jika tidak mencukupi, ya harus diimpor,” tegasnya.

Panggah menyebutkan, Kementerian Perindustrian berkomitmen memacu pengembangan hilirisasi industri pengolahan kakao di dalam negeri karena akan meningkatkan nilai tambah, struktur industri, dan kesejahteraan masyarakat. Terlebih lagi, industri ini termasuk salah satu sektor prioritas yang harus dikembangkan sesuai Rencana Induk Pembangunan Industri Nasional (RIPIN) tahun 2015-2035.

”Pengembangan hilirisasi industri pengolahan kakao diarahkan untuk menghasilkan bubuk coklat, lemak coklat, makanan dan minuman dari coklat, serta suplemen dan pangan fungsional berbasis kakao,” ujarnya

Dikatakan, peluang manis dari hiliriasi industri ini didukung oleh potensi Indonesia sebagai produsen biji kakao terbesar ketiga di dunia setelah Pantai Gading dan Ghana, dengan jumlah produksi biji kakao mencapai 370.000 ton pada tahun 2015. ”Industri olahan kakao di dalam negeri saat ini sekitar 40 perusahaan dengan total kapasitas produksi hingga 800.000 ton/tahun,” jelasnya.

Yang jadi soal, mengapa industri tetap suka dengan kakao asalan ketimbang fermentasi? Ternyata, mereka mengincar lemak kakao, yang kadarnya mencapai 54%-56%. Tanpa butuh teknik rumit, lemak kakao bisa diperoleh dengan keuntungan berlipat ganda dari biji mentah. Ampasnya pun masih bisa dimanfaatkan untuk menjadi minuman kakao. Jasi, buat apa biji kakao fermentasi. B. Wibowo