Pupuk organik yang beredar di pasaran banyak yang bermutu rendah atau tidak sesuai dengan standar yang dipersyaratkan, sehingga dapat merugikan petani sebagai pengguna. Padahal, penggunaan pupuk organik terus meningkat.
Direktur Pupuk dan Pestisida, Ditjen Prasarana dan Sarana Pertanian (PSP), Muhrizal Sarwani mengatakan, tren penggunaan pupuk organik di dunia pertanian terus meningkat menyusul gaya hidup masyarakat yang ingin menggunakan produk pangan sehat. Tren tersebut mendorong munculnya produsen pupuk organik, termasuk petani yang membuat sendiri dengan berbagai bahan. Akibatnya, di lapangan banyak pupuk organik yang tak sesuai standar.
Padahal, ada syarat tertentu yang harus dipenuhi agar pupuk organik bisa terjaga mutunya. ”Memang ada beberapa kendala dalam pengembangan pupuk organik, baik di tingkat produsen maupun pengguna,” katanya di Jakarta, Jumat (14/6/2019).
Kendala tersebut antara lain, mutu yang masih kurang baik, bahan baku terbatas, kualitas yang dihasilkan tidak konsisten, banyak mengandung logam berat (terutama yang dari kota).
Muhrizal mengakui, mengolah atau membuat pupuk organik memang tidak boleh sembarangan. Jika tidak benar, maka pupuk tersebut bukannya mengandung zat organik yang baik, tetapi justru malah merusak tanah juga. “Karenanya harus ada persyaratan mutu yang perlu diketahui produsen pupuk organik,” ujarnya.
Untuk melindungi konsumen, pemerintah telah merevisi Permentan No. 70/2011 dengan dikeluarkannya Permentan No. 01/2019 tentang Pendaftaran Pupuk Organik, Pupuk Hayati dan Pembenah Tanah.
Dengan Permentan ini diharapkan akan menjamin kualitas pupuk organik, hayati dan pembenah tanah yang beredar di masyarakat.
Muhrizal mengatakan, tujuan diaturnya standar pupuk organik, hayati dan pembenah tanah tersebut untuk melindungi masyarakat dan lingkungan hidup.
Diharapkan juga akan meningkatkan efektivitas penggunaan pupuk organik dan memberikan kepastian usaha dan kepastian formula pupuk yang beredar.
“Dengan demikian, pupuk (organik, hayati dan pembenah tanah) yang ada dipasaran terjamin mutu dan kualitasnya, yang hasil akhirnya adalah meningkatkan produktivitas,” katanya.
Menurut Muhrizal, Permentan tersebut merupakan koridor bagi produsen pupuk organik tentang Persyaratan dan Tatacara Pendaftaran Pupuk Organik, Pupuk Hayati dan Pembenah Tanah.
Harus Lulus Uji
Dalam Permentan itu disebutkan, pupuk organik bisa diolah dari kompos dari berbagai jenis bahan dasar, seperti jerami, sisa tanaman, kotoran hewan, blotong, tandan kosong, media jamur, sampah organik, sisa limbah industri berbahan baku organik. Bisa juga menggunakan tepung tulang maupun rumput laut.
Namun demikian, kata Muhlizar, pupuk organik tersebut harus lulus uji mutu yang dilakukan pada lembaga uji yang terakreditasi atau ditunjuk dalam Permentan. Salah satunya Balai Penelitian Tanah (Balittanah) di Bogor.
Pengujian mutu tersebut meliputi kandungan Karbon Organik, C/N Rasio, bahan ikutan lainnya, kadar air, logam berat, hara makro, hara mikro hingga kandungan mikroba organik dan mikroba kontaminan, seperti E.coli dan Salmonella.
“Kalau mitra atau produsen itu sembarangan mencampur bahan baku, ini pasti tidak bisa kita gunakan. Kami sebagai pemerintah mengharuskan kualitas pupuk organik bagus,” tegasnya.
Dengan adanya Permentan No. 01/2019, formula pupuk organik, pupuk hayati dan pembenah tanah yang akan diproduksi dan diedarkan untuk keperluan sektor pertanian harus memenuhi standar mutu, dan efektivitasnya, serta diberi label kemasan dan didaftar di Kementan
Muhrizal mengingatkan petani agar memperhatikan pupuk organik yang digunakan. Dari mulai label, nomor terdaftar serta kandungan dari pupuk organik tersebut.
Hingga kini, tercatat sebanyak 354 nama produsen pupuk organik, hayati dan pembenah tanah yang terdaftar di Kementerian Pertanian dengan beragam produknya.
Tertibkan Peredaran
Sementara itu Direktur Jenderal Prasarana dan Sarana Pertanain (PSP), Kementerian Pertanian, Sarwo Edhy mengatakan, pihaknya saat ini sedang berupaya menertibkan berbagai pelanggaran-pelanggaran di sektor pupuk dan pestisida.
Data Ditjen PSP, pupuk terdaftar terdiri dari anorganik sebanyak 1.650 merek, organik 765 merek, dan pupuk formula khusus sebanyak 26.169,179 ton.
Sementara, pestisida terdaftar sebanyak 4.437 formulasi. Terdiri dari insektisida 1.530 formulasi, herbisida 1.162 formulasi, fungisida, rodentisida, pestisida rumah tangga dan lain-lain sebanyak 1.745 formulasi.
Sarwo mengatakan, pihaknya menemukan beberapa jenis modus pelanggaran pupuk dan pestisida. Di antaranya mengedarkan pupuk tidak sesuai izin, mutu dan efektivitas, mengedarkan pupuk tidak sesuai dengan kemasan, mengedarkan pupuk yang sudah habis izin edarnya dan menambahkan unsur berbahaya (B3) tanpa melakukan izin terkait unsur tersebut.
“Ada juga yang menggunakan nomor izin edar produsen lain, menggunakan merek produsen lain, logo ditambah ataupun dimiripkan dengan logo pupuk lain (tidak sesuai dengan yang didaftarkan) dan mengganti merek tidak sesuai dengan yang didaftarkan,” tuturnya.
Sarwo mengatakan, ditemukan produsen mengedarkan pestisida terbatas sebelum melakukan pelatihan pestisida, mengedarkan pestisida dengan izin edar produsen lain.
Selain itu, ada juga yang mengedarkan pestisida, di mana izinnya masih dalam proses pendaftaran, mengedarkan pestisida yang sudah habisi izin edarnya, dan mengedarkan pestisida yang sudah kadaluarsa.
“Untuk menghindari beredarnya pupuk atau pestisida palsu, kami telah mewajibkan produsen melakukan monitoring terhadap kios/binaan distributor masing-masing, kaitannya dengan produk tersebut,” tegasnya.
Kebijakan lainnya, menurut Sarwo, satu tahun sebelum surat izin edar habis atau kadaluarsa, produsen pupuk harus memperpanjang izinnya. Selain itu, secara periodik pemerintah akan mengecek produk yang dikeluarkan produsen.
“Ada kejadian dari hasil uji laboratorium ternyata spesifikasi atau kadar formula di bawah standar. Produsen kita minta dalam jangka waktu tertentu untuk menyesuaikan dengan standar. Jika tidak ada respon, kami akan mencabut izin edarnya,” tegas Sarwo. PSP