Penolakan terhadap Surat Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No. 517/2018 tentang pelepasan kawasan hutan untuk perkebunan sawit PT Hardaya Inti Plantation bukan cuma datang dari Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Buol. Sejumlah LSM juga tegas meminta Menteri LHK untuk membatalkan keputusan tersebut.
Permintaan Bupati Buol Amiruddin Rauf agar Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya membatalkan SK Menteri LHK 517/2018 disampaikan saat konferensi pers di Palu, Minggu (20/1/2019). Amiruddin mengatakan, penolakan itu bukan hanya oleh Pemkab tapi juga dari masyarakat Buol. “Pemkab Buol dan masyarakat meminta agar SK tersebut dibatalkan karena menabrak sejumlah aturan,” kata Amiruddin.
Amiruddin menyatakan, kawasan hutan yang dilepas tidak diperuntukan untuk perkebunan melainkan untuk dialokasikan sebagai daerah tangkapan air dan pangan daerah. Dia juga menyebutkan, masuknya investasi sawit di Buol malah menghilangkan kesuburan tanah dan menjadi tidak produktif seperti yang terjadi di Desa Mongkudu.
Amirudin juga menegaskan, SK Menteri LHK 517/2018 bertentangan dengan peraturan Menteri Agararia dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional yang hanya membolehkan satu konsorsium usaha menguasai maksimum 20.000 hektare (ha) kebun sawit dalam satu provinsi. Sementara Hardaya Inti Plantation telah menguasai areal kebun sawit seluas 32.000 ha di Sulteng.
Amirudin menyatakan akan menempuh berbagai langkah, termasuk jalur hukum untuk membatalkan SK Menteri LHK itu. “Berbagai langkah kami tempuh untuk menolak, termasuk menyurat ke Presiden Joko Widodo,” katanya.
Sementara itu Walhi Sulteng mendesak Pemkab Buol untuk melakukan langkah-langkah hukum untuk menolak SK Menteri LHK 517/2018. Menurut Direktur Walhi Sulteng Abdul Haris Lapabira, proses pelepasan kawasan hutan bagi Hardaya Inti Plantation tersebut sarat dugaan pelanggaran hukum. Ini dikarenakan adanya penolakan pelepasan kawasan oleh Pemkab Buol. Namun, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) langsung menerbitkan pelepasan kawasan hutan bagi Hardaya Inti Plantation.
“Dalam Proses pelepasan kawasan ini, kuat dugaan terjadi pelanggaran hukum. Ini harus diperiksa secara mendetil lagi. Kami meyakini ada beberapa faktor yang tidak dipertimbangkan atau sengaja untuk tidak dipertimbangkan oleh KLHK sehingga dilepaskannya kawasan bagi Hardaya Inti Plantation,” kata Haris Lapabira dalam pernyataannya, Senin (21/1/2019).
Haris Lapabira menambahkan, kuatnya aroma pelangggaran hukum dalam kasus ini harusnya dijawab oleh Pemda Buol dengan melakukan langkah-langkah yang lebih konkret lagi. Misalnya gugatan hukum.
“Ada beberapa upaya yang dapat dilakukan oleh Pemda Buol dalam soal ini. Misalnya dengan melaporkan ke pihak-pihak terkait atau melakukan gugatan hukum. Hal tersebut dinilai penting untuk menjawab persoalan agraria yang terus terjadi di Buol,” katanya.
Haris Lapabira melanjutkan, selain melakukan langkah-langkah hukum, Pemkab Buol juga bisa melakukan langkah-langkah yang lebih radikal untuk mendesak KLHK mencabut SK ini. Misalnya berkordinasi dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) apabila ditemukan hal-hal yang diduga terjadi transaksi mencurigakan yang melibatkan pihak-pihak untuk menstimuluskan SK pelepasan ini. Di samping itu, katanya, Pemkab perlu meningkatkan dukungan publik hingga ke tingkat paling bawah sehingga gerakannya dapat meluas.
“Kalau perlu, laporkan kasus ini ke KPK bila ada indikasi transaksi jahat. Selain itu, Pemkab Buol harus berani memobilisasi masyarakatnya untuk melakukan klaim di kawasan yang dilepaskan itu. Ini penting, agar menguji keseriusan Pemda dan untuk membangun dukungan luas sampai ketingkat paling bawah (masyarakat) untuk sama-sama berjuang melawan penguasaan modal di Kabupaten Buol,” katanya.
Haris Lapabira menyatakan, pelepasan kawasan ini adalah potret buruk KLHK yang dipimpin oleh Menteri Siti Nurbaya. “Bagaimana mungkin di tengah upaya penataan perkebunan sawit dan upaya mengurangi deforestasi hutan, Kementerian ini justru menerbitkan pelepasan kawasan hutan bagi Hardaya Inti Plantation?” katanya.
Haris Lapabira menyatakan, KLHK yang dipimpin oleh Siti Nurbaya telah mengangkangi keseriusan negara untuk menata problem agraria di Sulteng. KLHK yang selama ini menggaungkan deforestasi hutan dan sebagai macamnya sebagai musuh bersama, justru berkontrbusi terhadap kerusakan hutan di Indonesia. “Ini sangat disayangkan,” tegasnya.
Langkah mundur
Desakan untuk membatalkan SK Menteri LHK 517/2018 juga datang dari Greenomics Indonesia, LSM yang dikenal lengket dengan Menteri Siti Nurbaya. Menurut Greenomics, pelepasan hutan untuk Hardaya Inti Plantation adalah langkah mundur implementasi Inpres moratorium sawit.
Direktur Eksekutif Greenomics, Vanda Mutia Dewi menjelaskan, hasil analisis spasial yang dilakukan Greenomics mengungkapkan bahwa sekitar 80% dari areal pelepasan kawasan hutan untuk perkebunan sawit yang diberikan Menteri Siti Nurbaya kepada Hardaya Inti Plantation terbukti masih berupa hutan lebat.
Kalkulasi Greenomics membuktikan bahwa sekitar 75% dari luas areal pelepasan kawasan hutan tersebut, terbukti tutupannya masih berupa hutan sekunder. Bahkan, sekitar 5% dari luasan areal tersebut masih terdapat hutan primer.
Analisis spasial berbasis data satelit resolusi tinggi tersebut relatif sama dengan data penutupan lahan versi KLHK tahun 2017, di mana sekitar 80% dari areal pelepasan kawasan hutan tersebut meliputi hutan sekunder dan primer.
Greenomics menyimpulkan bahwa sekitar 80% dari luas areal tersebut jelas tidak relevan dijadikan objek pelepasan kawasan hutan untuk sawit pasca diterbitkannya Inpres moratorium sawit oleh Presiden Joko Widodo pada 19 September 2018 lalu.
“Pelepasan kawasan hutan untuk perkebunan sawit baru kepada PT HIP tersebut perlu dibatalkan agar tidak mencederai semangat dan substansi Inpres moratorium sawit,” kata Vanda.
Tak hanya itu, Greenomics juga telah mendeliniasi tutupan lahan berupa tanaman sawit yang terbentang di salah satu blok pada areal pelepasan kawasan hutan untuk Hardaya Inti Plantation tersebut.
“Tanaman sawit seluas hampir seribu lapangan sepak bola yang telah ada sebelum terbitnya pelepasan kawasan hutan untuk Hardaya Inti Plantation tersebut, juga harus diperiksa legalitasnya,” papar Vanda.
Greenomics menyimpulkan, pelepasan kawasan hutan untuk Hardaya Inti Plantation tersebut merupakan suatu langkah mundur dalam implementasi Inpres moratorium sawit, mengingat sekitar 80% dari areal tersebut masih berupa hutan lebat. Sugiharto
KPK Anggap Tidak Etis
Isu pelepasan kawasan hutan bagi Hardaya Inti Plantation ikut disoroti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Komisi anti rasuah itu menilai penerbitan izin pelepasan hutan bagi Hardaya Inti Plantation tidak bisa diterima dan tidak etis. KPK pernah mengungkap kasus suap dalam proses perizinan perkebunan Haradaya Inti Plantation di Kabupaten Buol.
“Saya baru baru dengar bahwa lahan yang dulu dikeluarkan dengan cara suap itu pelepasan kawasan hutannya sudah terjadi. That’s not acceptable di mata KPK,” kata Wakil Ketua KPK Laode M Syarif saat diskusi “Melawan Korupsi di Sektor Sumber Daya Alam”, di Gedung KPK, Jakarta, Jumat (25/1/2019). Diskusi tersebut disiarkan langsung oleh LSM World Resources Institute Indonesia lewat situs sosial media, Facebook.
Laode mengakui, persoalan ini cukup sensitif. Namun, dia punya kewajiban untuk menegaskan hal itu. Laode menjelaskan, izin prinsip yang diperoleh Hardaya Inti Plantation diperoleh dengan cara menyuap Bupati Buol (saat itu) Amran Batalipu. Suap dilakukan oleh pemilik Hardaya Inti Plantation, Siti Hartati Murdaya.
“Izin prinsip (Hardaya Inti Plantation) didapat dari Amran Batalipu dengan cara disuap oleh Hartati. Sekarang pelepasan kawasannya diberikan lagi kepadanya. That’s not acceptable,” kata Laode menegaskan.
Dia meminta KLHK melakukan introspeksi, sebab seharusnya izin tersebut tidak diproses lebih lanjut karena diperoleh dengan cara menyuap. Laode mengakui, saat pengadilan kasus suap itu digelar, Hakim tidak menyatakan izin prinsip yang diberikan lewat proses suap itu batal demi hukum. Namun, katanya, itu adalah bahasa hukum. “Menurut saya (pelepasan hutan untuk Hardaya Inti Plantation) secara etis tidak bisa sama sekali,” kata Laode.
Sekadar mengingatkan, Majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Senin (4/2//2013) menjatuhkan vonis 2 tahun 8 bulan penjara dan denda Rp150 juta subsider kurungan 3 bulan penjara kepada pengusaha Siti Hartati Murdaya selaku direktur utama PT Hardaya Inti Plantation dan PT Cipta Cakra Murdaya (CCM). Hartati terbukti melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama dan berkelanjutan dengan memberikan uang senilai total Rp3 miliar kepada Bupati Buol Amran Batalipu terkait kepengurusan izin usaha perkebunan di Buol, Sulawesi Tengah. Di tingkat banding, putusan ini kembali dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi Jakarta.
Sementara pada kasus yang sama, Mantan Bupati Buol Amran Batalipu dijatuhi hukuman 7 tahun 6 bulan penjara ditambah denda Rp300 juta subsider enam bulan kurungan oleh Majelis Hakim Tipikor Jakarta, Senin (11/2/2013). Sugiharto
Baca juga:
Siti Tegas Tak Ada Masalah Legalitas
Disorot, Pelepasan Kebun Hartati Murdaya