Hujan, seperti sudah diduga, menyudahi tragedi kabut asap yang menyergap negeri ini selama tiga bulan terakhir. Namun, asap usai, muncul potensi kisruh yang lebih besar: ketidakpastian hukum. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK), menindaklanjuti Inpres, menutup total izin di lahan gambut serta melarang ada pembukaan lahan meski sudah ada izin.
Panik. Sikap itu terbaca ketika Kementerian LHK harus mengatasi tragedi asap yang membuat Presiden Joko Widodo harus mempersingkat kunjungan kerjanya ke Amerika Serikat akhir Oktober lalu. Apalagi, di dalam negeri, ketidakpuasan atas penanganan kabut asap makin kencang dan sempat memancing aksi tak elok pimpinan DPR, meski dengan dalih solidaritas, kompak mengenakan masker saat sidang paripurna.
Tekanan keras dan banyaknya suara minor soal penanganan kebakaran hutan dan lahan (karhutla) inilah yang memancing Kementerian LHK membuat serangkaian kebijakan yang mengernyitkan dahi. Yang mengejutkan adalah ketika muncul draft Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) untuk mengubah sejumlah pasal penting dalam UU 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH). Apalagi, ini sudah draft ketiga.
Sasaran tembak utamanya adalah pasal 69 UU 32/2009, yang melarang tiap orang melakukan pembukaan lahan dengan cara bakar, meski juga harus memperhatikan kearifan lokal daerah masing-masing. Kearifan lokal ini yang membolehkan pembakaran dengan luasan minimal 2 hektare/KK dengan membuat sekat bakar. UU ini pula yang dirujuk Pergub Kalteng No. 15/2010 ketika mengatur pembukaan lahan dengan pembakaran terbatas.
Namun, dari draft Perppu yang ada, bukan pasal 69 UU 32/2009 saja yang kena bidik, tapi juga larangan pejabat memberi izin pemanfaatan dan penggunaan kawasan hutan pada ekosistem gambut. Yang mengagetkan, pemerintah menambah aturan di pasal 80 yang akan mengambil alih penguasan atas lahan bekas kebakaran. Pengambilalihan ini juga tidak menghapus tanggung jawab pemulihan dan aspek pidana dari pemilik lama.
Entah terlalu keras atau asap yang mulai lenyap, draft Perppu ini tak terdengar lagi sejak dibahas dalam rakornis pada Selasa (3/11/2015). Belakangan, muncul surat edaran Menteri LHK No S.494/2015 tentang Larangan Pembukaan Lahan Gambut yang terbit 3 November 2015. Isinya luar biasa. “Lahan gambut secara total ditutup izinnya dan tak boleh ada pembukaan lahan,” kata Menteri LHK Siti Nurbaya, Rabu (11/11/2015).
Bahkan, perusahaan yang telah memegang izin di lahan gambut tidak boleh lagi menggarap lahan tersebut dan lahan langsung dijadikan area lindung. Khusus bagi areal gambut yang sudah terlanjur dibuka, akan dilakukan review. Jika pembukaan dilakukan di kawasan lindung, tepatnya di kubah gambut, maka harus ditutup dan selanjutnya direstorasi.
“Pemerintah terlihat panik dan tidak siap. Bagaimana surat edaran bisa menghilangkan Izin Usaha Perkebunan (IUP) yang juga bukan kewenangan Menteri LHK,” ujar pengamat hukum bidang sumberdaya alam, Sadino. Dalam bahasa Direktur Eksekutif Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki), Fadhil Hasan, larangan penggunaan lahan gambut yang sudah berizin cermin dari ketidakpastikan hukum bagi investasi. AI