Kebijakan pemerintah yang memagari lahan gambut, bahkan yang sudah diberikan izin, menimbulkan reaksi para pelaku usaha. Reaksi keras datang dari pebisnis kebun kelapa sawit, sementara para pemegang konsesi pengusahaan hutan merespons lebih adem dan berharap kemurahan hati Kementerian LHK agar pemanfaatan lahan gambut tetap diperkenankan mengacu hasil pencitraan jarak jauh yang akan dilakukan.
Direktur Eksekutif Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Fadhil Hasan menilai kebijakan pemerintah yang menerbitkan larangan pemanfaatan lahan gambut yang sudah dibebani izin bakal merugikan perusahaan perkebunan kelapa sawit.
“Larangan menggunakan lahan gambut yang sudah berizin ini memberikan ketidakpastikan hukum bagi investasi perkebunan,” katanya.
Padahal, penggunaan lahan gambut di negara-negara lain, seperti di Eropa juga tidak dilarang. “Yang penting bisa dikelola dengan baik berdasarkan prinsip-prinsip lingkungan,” ujarnya.
Sementara itu Direktur Eksekutif Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI) Purwadi Soeprihanto menyatakan, pihaknya memohon pemerintah bisa lebih bijaksana untuk pemanfaatan lahan gambut. Dia berharap larangan pembukaan gambut menunggu hasil inventarisasi yang akan dilakukan menggunakan teknologi pencitraan jarak jauh, LIDAR (Light Detection And Ranging).
“Kami berharap pemerintah tidak menutup total pemanfaatan gambut dan mempertimbangkan hasil survei dengan teknologi LIDAR,” katanya, Jumat (13/11/2015).
Survey LIDAR rencananya akan dilakukan pemerintah sebagai bagian dari upaya untuk memetakan Kawasan Hidrologis Gambut (KHG). Teknologi LIDAR memanfaatkan laser, di mana hasil pantulannya dianalisa untuk mengetahui topografi lahan. Survey KHG akan dilakukan oleh tim dari Universitas Gajah Mada yang telah ditunjuk Presiden Joko Widodo.
Purwadi menyatakan, pihaknya memahami langkah Kementerian LHK yang menerbitkan edaran larangan pemanfaatan lahan gambut. Penerbitan edaran tersebut sebagai early warning untuk mencegah kebakaran hutan dan lahan kembali terulang.
Meski demikian, Purwadi meyakini ada lahan gambut yang bisa dimanfaatkan mengacu survey LIDAR yang akan dilakukan. Lahan itu adalah lahan yang tutupannya sudah terdegradasi dan tidak berada pada kawasan lindung dan kubah gambut. “Pemanfaatan gambut perlu pengaturan lebih lanjut, lebih detil mempertimbangkan hasil survei LIDAR,” katanya.
Berdasarkan prakiraan kasar, dari sekitar 10 juta hektare (ha) kawasan hutan yang telah dibebani izin pemanfaatan Hutan Tanaman Industri, sebanyak 2,5 juta ha-nya berupa lahan gambut. Dari jumlah tersebut, lahan gambut yang benar-benar bisa dimanfaatkan hanya sekitar 1,3 juta -1,5 juta ha saja, setelah terpangkas untuk kebutuhan sarana dan prasarana, juga dialokasikan untuk areal tanaman kehidupan dan areal konservasi.
Purwadi menyatakan, pelarangan pemanfaatan lahan gambut tidak akan menuntaskan sepenuhnya persoalan kebakaran hutan dan lahan tanpa menyelesaikan akar permasalahan yang sesungguhnya.
Akar persoalan tersebut termasuk di antaranya adalah adanya kesenjangan akses lahan yang dihadapi masyarakat. Situasi tersebut memunculkan persoalan perambahan, termasuk pada kawasan yang dibebani konsesi pengusahaan hutan.
Untuk mengatasi, Purwadi menantang Kementerian LHK untuk memperluas akses bagi masyarakat. “Jadi setiap petak lahan ada pengelolanya secara jelas,” katanya.
Purwadi juga mengingatkan, bahwa korporasi sejatinya adalah bagian dari solusi pengendalian kebakaran hutan dan lahan. Untuk itu dia berharap, lahan-lahan konsesi yang terbakar, tidak serta merta diambilalih pemerintah. Melainkan bisa dikembangkan kemitraan antara pemegang konsesi dengan masyarakat. “Kalau diambil alih kemudian tidak dikelola, kami khawatir persoalan kebakaran malah terulang, makanya kami tawarkan kemitraan,” katanya.
Harus hati-hati
Sementara itu, Ketua Himpunan Gambut Indonesia Supiandi Sabiham menyatakan larangan pemanfaatan gambut harus dikaji kembali. Pasalnya, ada lahan gambut yang potensial ditanami, terutama yang kondisinya memang sudah rusak.
Supiandi yang juga pengajar di IPB itu mengatakan, lahan gambut merupakan aset negara yang dapat dimanfaatkan, tetapi memang pemerintah perlu menata penggunaan lahannya. Konservasi harus dilakukan pada wilayah yang memang seharusnya dikonservasi. Sementara lahan yang memang sudah rusak yang dapat digunakan untuk usaha.
“Saya kira gambut merupakan aset yang bisa dimanfaatkan, selain ada yang bisa dikonservasi. Tanah mineral juga seperti itu, ada yang bisa digunakan ada yang tidak. Kalau ditutup pemanfaatan gambut itu akan mengurangi peluang-peluang untuk menyejahterakan masyarakat juga,” katanya.
Menurutnya, keputusan pemerintah untuk menyetop pemberian izin, bahkan melarang realisasi investasi pada lahan gambut yang sudah diberikan izinnya, merupakan keputusan yang terlalu dini mengingat pemerintah belum melakukan pemetaan secara spesifik atas lahan gambut yang mungkin masih dapat digunakan untuk usaha.
Untuk itu, dia merekomendasikan pemerintah untuk dapat berhati-hati dalam memutuskan kebijakan tersebut.
Menurut data yang dimiliki Supiandi, saat ini ada 1,2 juta ha lahan gambut yang telah ditanami komoditas kelapa sawit dari total lahan gambut Indonesia, yaitu seluas 14,9 juta ha. Ada pula 5-6 juta ha lahan gambut yang statusnya hutan atau sekitar 40%-nya.
“Jika 30% lahan gambut harus dilindungi, sesuai peraturannya, maka 14,9 juta ha gambut ada sekitar 5 juta ha yang harus dikonservasi, itu cukup,” kata Supiandi.
Sementara pengamat hukum bidang sumberdaya alam, Sadino menyoroti ketidakkonsistenan pemerintah. Apalagi, data mengenai lahan gambut juga belum punya, tapi sudah ribut.
“Petakan dulu. Sementara kita tidak tahu mana data lahan gambut yang benar karena luasnya beda-beda. Ada yang bilang 30 juta ha, ada yang sebut 24 juta ha, bahkan ada yang cuma 14 juta ha,” ujarnya.
Apalagi, lahan gambut tidak semuanya ada di kawasan hutan. “Kalau ada di luar kawasan hutan, kok LHK mau ngatur-ngatur. IUP, misalnya. Itu kan bukan urusan Menteri LHK. Mereka juga sudah dapat izin yang legal,” tandasnya. Sugiharto