Cegah Kebakaran, Gambut pun Terlarang

Hujan yang mulai turun mematikan kebakaran hutan dan lahan yang sempat terjadi pada banyak tempat di Indonesia, terutama di Sumatera dan Kalimantan. Asap akibat kebakaran yang sampai menyelimuti hampir seluruh wilayah Indonesia dan juga Singapura, Malaysia, dan Thailand pun akhirnya lenyap. Meski titik api dilaporkan masih tetap ada saat ini, namun dampaknya tak lagi masif dan relatif bisa dikendalikan.

Situasi tersebut tentu diharapkan bisa mengurangi penderitaan korban kebakaran hutan dan lahan. Berdasarkan data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), sampai akhir Oktober 2015, ada 529.527 orang yang terkena Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA). Asap kebakaran juga menewaskan 24 orang.

Kerugian secara materi tentu sangat besar mengingat terganggunya sistem transportasi, logistik dan berhentinya aktivitas-aktivitas perekonomian. Hitungan BNPB, kebakaran yang terjadi menimbulkan kerugian sedikitnya Rp20 triliun. Itu hanya di Riau.

Tak ingin situasi tersebut kembali terulang, pemerintah mengambil sejumlah langkah. Presiden Joko Widodo sudah menerbitkan Instruksi Presiden (Inpres) No. 11 tahun 2015 tentang Peningkatan Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan. Instruksi ditujukan bukan saja kepada jajaran menterinya tapi juga para kepala daerah dan instansi terkait lainnya

Merespons Inpres tersebut, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) mengambil langkah yang cukup radikal. Menghentikan total pemanfaatan lahan gambut. “Lahan gambut secara total ditutup izinnya dan tak boleh ada pembukaan lahan,” kata Menteri LHK Siti Nurbaya, Rabu (11/11/2015).

Kebijakan ini kontan disambut kekecewaan pelaku bisnis. Wajar, memang. Pasalnya, larangan tersebut tak hanya berlaku bagi lahan yang belum dibebani izin, tapi juga untuk lahan yang sudah diberikan izin pemanfaatan.

Larangan pembukaan lahan gambut tertuang dalam surat edaran Menteri LHK No S.494/2015 tentang Larangan Pembukaan Lahan Gambut yang terbit 3 November 2015. Surat instruksi tersebut kemudian ditindaklanjuti dengan Surat Edaran Sekjen Kementerian LHK Bambang Hendroyono pada 5 November 2015 tentang Instruksi Pengelolaan Lahan Gambut. Instruksi itu berlaku bagi pemegang izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu untuk hutan tanaman industri, hutan alam, maupun restorasi ekosistem (IUPHHK-HTI/HA/RE) atau pemegang izin usaha perkebunan.

Berdasarkan isi instruksi tersebut, maka perusahaan yang sebelumnya masih memiliki tabungan tanah gambut tidak boleh lagi menggarap lahan tersebut. Selanjutnya, lahan gambut langsung dijadikan area lindung. Khusus bagi areal gambut yang sudah terlanjur dibuka, akan dilakukan review untuk melihat kembali kondisinya. Bila pembukaan lahan gambut dilakukan di kawasan lindung, tepatnya di kubah gambut, maka harus ditutup dan untuk selanjutnya direstorasi.

Tapi kalau di kawasan budidaya, maka penerapan teknologi ekohidro alias pengaturan tinggi muka air harus dilakukan agar lahan tetap dalam kondisi basah. Korporasi pemegang konsesi pun diminta untuk melakukan revisi Rencana Kerja Usaha (RKU) dan Rencana Kerja Tahunannya (RKT).

“Dunia usaha sudah tahu. Perusahaan bisa berkonsultasi langsung ke dirjen terkait. Intinya, kita ada kebutuhan untuk produksi dan ekonomi, tetapi aspek keamanan lingkungan harus tetap diaplikasikan,” kata Menteri LHK.

Terbitnya Instruksi Menteri LHK dan Surat Edaran Sekjen Kementerian LHK ini hanyalah payung hukum sementara, sambil menunggu keluar Peraturan Pemerintah (PP) atau Peraturan Presiden (Perpres) sebagai payung hukum yang lebih kuat.

Larangan pembukaan lahan gambut sebenarnya juga termaktub dalam draft peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu) untuk mengubah UU No 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yang sedang dipersiapkan Kementerian LHK. Sudah ada draft ketiga perppu tersebut dan sedang dilakukan pembahasan internal Kementerian LHK.

Bagian Inpres

Sekjen Bambang Hendroyono menguraikan, langkah-langkah yang kini dilakukan Kementerian LHK adalah bagian dari pelaksanaan Instruksi Presiden (Inpres) Joko Widodo. Dia menuturkan, empat langkah tersebut adalah peningkatan pengendalian kebakaran hutan dan lahan di seluruh Indonesia, pencegahan kebakaran hutan dan lahan, pemadaman kebakaran hutan dan lahan, dan penanganan pasca kebakaran hutan dan lahan.

“Kita cegah kebakaran jangan terulang lagi,” kata dia.

Bambang menambahkan, lahan gambut menjadi target untuk diperbaiki pengelolaannya karena sebagian kebakaran terjadi di lahan gambut. Sementara gambut yang terbakar menimbulkan asap yang jauh lebih menyesakkan ketimbang kebakaran di lahan mineral. “Kebakaran hutan di Sumatera dan Kalimantan itu banyak di gambut, makanya kita fokus ke situ,” katanya.

Berdasarkan data BNPB, mengacu kepada pantauan satelit Terra Modis, sampai akhir Oktober lalu total luas hutan dan lahan yang terbakar mencapai 2.089.911 hektare (ha). Dari luas tersebut, kebakaran yang terjadi di lahan non gambut sesungguhnya lebih luas yaitu 1.471.337 ha.

Masih menurut BNPB, lahan gambut yang terbakar paling banyak terjadi di Kalimantan dengan luas 267.974 ha. Provinsi Kalimantan Tengah menyumbang besaran lahan gambut terbakar terbanyak dengan 196.987 ha. Kebakaran gambut itu paling banyak terjadi Kabupaten Seruyan dan Kotawaringin Timur.

Menyusul Sumatra di posisi kedua sebagai pulau yang lahan gambutnya paling banyak terbakar, yaitu 267.974 ha. Sedangkan lahan gambut yang dilahap api di Sumatra Selatan mencapai 144.410 ha. Kabupaten Ogan Komering Ilir memiliki titik api terbanyak di wilayah tersebut.

Kebakaran gambut juga terjadi di Papua, yakni seluas 31.214 ha. Provinsi Merauke, Mappi, dan Boven Digul menyumbang titik api terbanyak di Papua.

Menurut Bambang, sebagai langkah perbaikan pengelolaan gambut, pemerintah akan mengambil alih gambut yang terbakar. Selanjutnya pengelolaan akan dilakukan oleh Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH). “KPH juga akan mengelola seluruh gambut yang belum dibebani izin,” katanya.

Bambang menuturkan, tahun ini pemerintah telah membentuk sekitar 100 KPH yang dikelola, baik oleh pemerintah daerah maupun badan usaha milik negara. Pada 2019, pemerintah menargetkan dapat membuat 600 KPH di seluruh Indonesia. “Tapi untuk tahun depan kami akan percepat pembentukan KPH di enam provinsi yang rawan kebakaran,” ujarnya. Sugiharto

KPH Jadi Solusi Kebakaran

Langkah Kementerian LHK yang mempersiapkan peraturan pemerintah atau payung hukum lainnya ditanggapi adem.

Menurut Direktur Eksekutif Forest Watch Indonesia, Christian ‘Bob’ Purba, penerbitan beleid baru tidak cukup bila tidak ada langkah konkret di lapangan. “Selama ini pun aturan yang ada memiliki instrumen hukum yang cukup untuk mencegah kebakaran,” katanya.

Itu sebabnya, dia menilai pembentukan KPH bisa menjadi solusi. Sebagai organisasi di tingkat tapak, KPH diharapkan bisa memecahkan persoalan di lapangan. Menurut Bob, pembentukan KPH merupakan langkah paling logis untuk mencegah hutan dari kebakaran. Pasalnya, selama ini kawasan hutan masih tidak memiliki pengelola hingga di tingkat tapak.

“Seharusnya negara hadir. Jangan sampai seperti sekarang kalau kebakaran terjadi saling melempar tanggung jawab. Kalau direncanakan jauh-jauh kan bisa cepat tanggap,” katanya.

Bob menilai selama ini pemerintah pusat lebih berperan sebagai otoritas pemberi izin ketimbang pengawas hutan. Fenomena ini juga menjalar hingga ke pemerintah daerah yang seharusnya menjadi elemen paling vital untuk menjaga lahan. Sugiharto