Harga daging sampai kini tetap stabil tinggi, dan pemerintah tak mampu menurunkan harga di bawah Rp100.000/kg. Belakangan, Presiden Joko Widodo malah menjanjikan harga daging sapi malah bisa di bawah Rp70.000/kg karena pemerintah sudah berhasil menekan biaya-biaya sejak infrastruktur dibenahi.
Presiden bahkan mengaku pemerintah sudah memesan lima kapal khusus pengangkut sapi dan baru satu kapal yang sudah siap, dengan kapasitas angkut 500 ekor sapi. “Dulu sekali angkut per sapi biayanya Rp2 juta. Setelah ada kapal, biayanya Rp300.000/ekor. Artinya, cost-nya langsung jatuh,” kata Presiden.
Dengan penurunan ongkos tersebut, maka harga daging bisa menjadi Rp60.000/kg, sehingga di pasaran konsumen bisa membeli di kisaran Rp70.000-Rp80.000/kg. “Kalau lebih efisien lagi, bisa dilepas di bawah Rp70.000/kg-nya,” kata Presiden.
Pertanyaannya, benarkah demikian? Ketua Perhimpunan Peternak Sapi dan Kerbau Indonesia (PPSKI), Teguh Boediyana menyatakan sulit bagi pemerintah untuk menyediakan daging dengan harga Rp70.000/kg. “Harga sapi hidup per kilogram sudah mahal. Mana mungkin harga daging bisa mencapai Rp70.000/kg,” katanya.
Dia mengatakan, Kementan terlebih dahulu harus perbaiki akurasi data peternakan. Selama data tidak diperbaiki, maka kebijakan yang diambil pasti selalu salah. “Kegagalan swasembada daging salah satunya karena data populasi yang tidak akurat,” tegasnya.
Teguh juga menyebutkan ada upaya Kementan untuk menutupi kegagalan-kegagalan yang pernah terjadi selama ini. Semestinya, Kementan mengakui kegagalan itu dan kemudian melakukan evaluasi di mana letak kegagalan tersebut.
Betina produktif terkuras
Disinggung soal kewajiban serap daging lokal bagi importir, Teguh mengatakan upaya itu sangat baik karena untuk melindungi peternak. Hanya saja, itu bisa jadi persoalan jika sapi lokal tidak tersedia. Kondisi itu akan berimbas kepada sapi betina produktif yang akan dipotong.
“Kebijakan wajib serap lokal itu kebijakan yang baik untuk melindungi peternak. Namun, jika sapi tidak tersedia, maka dikhawatirkan sapi betina produktif yang akan dipotong,” tegasnya.
Teguh menyebutkan, PPSKI telah lama mengusulkan kepada pemerintah tentang ketentuan wajib serap daging sapi lokal minimal 10% dari volume daging yang diimpor.
Hal tersebut dimaksudkan selain adanya perlakukan yang sama dengan feedloter juga untuk memantapkan rantai pasok dan rantai daging dari daerah produsen daging (terutama di luar Jawa) ke daerah pemasaran.
PPSKI juga pernah mengusulkan importir daging sapi wajib melakukan kegiatan breeding sapi. Untuk setiap 100 ton daging yang diimpor, wajib memiliki satu ekor sapi induk untuk breeding.
Ketentuan ini dimaksudkan selain untuk mengembangkan peternakan sapi potong di dalam negeri, juga bentuk kontribusi konkret importir daging. “Dulu, ketentuan ini pernah ada tapi tidak berjalan karena masih bersifat imbauan. Kalau hal ini mau berjalan, maka harus dibuat aturannya terlebih dahulu,” katanya.
Selain itu, lanjut Teguh, feedloter diharuskan menggunakan sapi bakalan local, yang jumlahnya minimal 10% dari izin impor yang diberikan. Kebijakan ini dimaksudkan untuk merangsang usaha peternakan sapi potong rakyat dan kepastian pasar. “Dengan ketentuan ini, secara bertahap dapat dikembangkan sistem lelang sapi di sentra produksi sapi lokal,” tegasnya.
Sedangkan ketentuan lain yang bisa diatur dalam pola plasma ini adalah 5% dari kapasitas kandang feedlotter harus digunakan untuk usaha breeding baik dengan sapi eks impor maupun sapi lokal.
Dengan kebijakan ini, maka dapat membantu mengurangi pemotongan sapi betina produktif dan keikutsertaan perusahaan penggemukan dalam breeding sapi. “Pemotongan sapi betina produktif semakin mengkhawatirkan. Jika ini tidak dikendalikan, maka populasi ternak sapi sulit untuk ditingkatkan,” katanya. Jamalzen
Dan Bulog pun Berkelit
Harga daging sapi di dalam negeri saat ini memang masih stabil tinggi. Pemerintah pun sudah melakukan berbagai cara untuk menekan harga jual daging. Kran impor daging sapi dan hewan sapi hidup juga telah dibuka.
Bahkan, untuk menekan harga di dalam negeri, Kementerian Perdagangan (Kemendag) sempat menetapkan batas harga daging sapi untuk menentukan dibuka dan ditutupnya kran impor daging sapi. Kemendag menetapkan harga jual daging sapi Rp76.000/kg sebagai patokan dibuka atau ditutupnya impor daging sapi. Jika harga daging sapi di pasaran berada di atas Rp76.000, maka kran impor tetap dibuka.
Pemerintah juga telah melibatkan Perum Bulog menstabilkan harga daging, terutama menjelang datangnya bulan Ramadhan dan Idul Fitri. Pada pertengahan Juni, Kemendag menugaskan Bulog mengimpor daging sapi potongan sekunder (secondary cut) dengan kuota 1.000 ton. Kuota impor ini diberi tenggang waktu 40 hari, yakni dari 11 Juni hingga 31 Agustus 2015.
Persoalannya, tugas stabilisasi harga tersebut tak pernah bisa dicapai Bulog. Harga daging tak pernah bisa turun dari posisi Rp100.000/kg. Apalagi, kuota impor daging 1.000 ton juga tak direalisasikan sepenuhnya.
Persoalan lainnya, dalam operasi pasar (OP), Bulog melepas daging dengan harga Rp90.000/kg. Namun, OP ini belum bisa diterima pasar. Bahkan, kegiatan OP sempat mendapatkan penolakan pedagang daging sapi di sejumlah pasar, baik di Jakarta maupun Bandung. Mereka menilai kegiatan OP itu justru merugikan mereka yang menjual daging dengan harga pokok lebih dari Rp100.000/kg.
Dua faktor
Dirut Perum Bulog Djarot Kusumayakti, yang dimintai komentarnya tentang gagalnya Bulog menstabilkan harga daging sapi, punya alasan. Menurut Djarot, ada dua faktor tidak maksimalnya Bulog menstabilkan harga.
“Pertama, masa untuk mengimpor daging sapi secondary cut yang diberikan pemerintah kepada kami cukup singkat,” katanya kepada Agro Indonesia, akhir pekan lalu.
Menurutnya, untuk bisa memenuhi kuota impor daging sesuai penugasan pemerintah diperlukan waktu yang lebih longgar lagi. Pasalnya, kegiatan impor butuh sejumlah langkah, seperti pemesanan, pencarian kapal angkut, pengangkutan daging, proses bongkar di pelabuhan tujuan dan penjualan ke masyarakat. “Kami butuh waktu yang lebih longgar lagi agar bisa memenuhi kuota impor yang diberikan pemerintah,” ujarnya.
Sedangkan faktor kedua adalah prilaku atau kebiasaan masyarakat dalam membeli daging sapi. Menurutnya, masyarakat masih banyak yang tidak menyukai membeli daging sapi beku. Mereka lebih suka membeli daging sapi yang baru dipotong, walaupun dengan harga yang lebih mahal. “Prilaku masyarakat juga ikut menentukan upaya stabilisasi harga daging sapi di pasaran,” katanya.
Dalam melakukan OP, Bulog mengaku tidak bisa menjual daging secondary cut lebih murah lagi karena harga beli juga cukup tinggi. Saat itu, nilai tukar rupiah terhadap dolar AS berada di kisaran Rp13,000-an. Bahkan Djarot sempat menyatakan, jika kurs dolar mencapai Rp14.000/dolar AS, pihaknya hanya bisa menjual daging sapi dengan harga Rp100.000/kg.
Dia juga mengakui hingga saat ini pihaknya masih memiliki stok daging sapi, namun jumlahnya tidak terlalu banyak. Stok daging sapi itu bisa digunakan untuk kegiatan OP hingga akhir tahun ini.
Jika didasarkan pada cold storage yang dimiliki Bulog, stok daging secondary cut yang dimiliki Perum Bulog saat ini juga tidak lebih dari 200 ton, sesuai dengan kapasitas cold storage.
Djarot sendiri mengaku Bulog sudah melakukan persiapan yang cukup dalam menjalankan tugas stabilisasi harga daging. “Kami telah melakukan persiapan yang cukup, tetapi terganjal oleh dua faktor itu,” jelasnya.
Ketika disinggung kemungkinan pihak swasta ikut kembali mengimpor daging potongan sekunder, Djarot mengaku tak masalah. “Revisi Permentan agar impor secondary cut dibuka juga untuk swasta boleh saja. Itu artinya upaya menstabilkan harga daging di dalam negeri melalui impor daging secondary cut tidak hanya dilakukan oleh Bulog saja, tetapi oleh semua pihak,” ucapnya.
Sementara itu, Kementerian Perdagangan mengaku masih menunggu hasil revisi Permentan No.139/2014, apakah akan terjadi perubahan impor secondary cut atau tidak. “Saya dengar Kementan memang sedang melakukan revisi Permentan 139/2014. Kami kini masih menunggu hasilnya,” ujar Plt Direktur Impor Kemendag, Nusa Eka kepada Agro Indonesia.
Menurutnya, Kemendag selaku pihak yang mengeluarkan izin impor daging sapi, siap melakukan sinkronisasi kebijakan dengan kebijakan yang diterapkan Kementan selaku pihak yang mengeluarkan rekomendasi. B Wibowo