Pemerintah ternyata belum juga mampu menyelesaikan persoalan harga daging sapi di dalam negeri. Selain harga yang stabil tinggi, ternyata kebutuhan nasional juga belum bisa dicukupi dari peternak lokal.
Sampai kini, Kementerian Pertanian (Kementan) tetap yakin sapi lokal tersedia dalam jumlah yang cukup, sehingga tidak perlu membuka kran impor daging sapi dalam bentuk potongan sekunder (secondary cut) — yang memang banyak dibutuhkan.
Kalangan importir daging sempat mendapat celah ketika pemerintah mengeluarkan serangkaian paket kebijakan deregulasi ekonomi, terutama paket I deregulasi kebijakan pangan. Pasalnya, sudah hampir setahun impor daging sapi potongan sekunder ditutup pemerintah. Importir daging hanya boleh memasukkan daging potongan primer (premium cut), daging variasi, dan daging industri.
Lobi pun digencarkan ke Kantor Kementerian Koordinasi Perekonomian, terutama merevisi Permentan No.139/Permentan/PD.410/12/2014 tentang pemasukan karkas, daging dan atau olahannya ke dalam wilayah Indonesia. Intinya, impor daging potongan sekunder kembali dibuka untuk umum. Pemerintah sendiri sudah mengubah Permentan 139/2014 dengan Permentan No.02/Permentan/PD.410/1/2015. Daging potongan sekunder dibuka kembali, tapi hanya untuk BUMN, dalam hal ini Bulog. Alasannya, untuk stabilisasi harga.
Keinginan importir membuka potongan sekunder sempat diakomodir Kantor Menko. Namun, Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman ternyata tidak setuju, dan poin tersebut akhirnya dicoret.
“Pak Menteri menolak kran impor secondary cut dibuka karena untuk melindungi peternak lokal. Saya dapat info, revisi Permentan 139/2014 juga sudah ditandatangi Mentan,” kata Direktur Kesehatan Masyarakat Veteriner dan Pasca Panen, Ditjen Peternakan dan Kesehatan Hewan, Kementan, Sri Mukartini kepada Agro Indonesia.
Sri mengungkapkan, munculnya wacana membuka kran impor secondary cut memang hasil lobi para importir daging kepada Menko Perekonomian agar dilakukan relaksasi pemasukan secondary cut. “Menko Perekonomian ingin melonggarkan kran impor secondary cut, tapi Mentan menolak dengan alasan melindungi peternak lokal,” katanya.
Wajib serap
Tak cukup dengan menolak melonggarkan impor daging potongan sekunder, Kementan malah makin mempertegas aturan wajib serap. Menurut Sri, perubahan prinsip dalam revisi Permentan No.139/2014 antara lain jumlah penyerapan daging lokal ditetapkan 3% untuk importir umum dan 1,5% untuk importir produsen.
“Dalam Permentan yang lama, tidak ditetapkan angka persentasenya. Jumlah serap lokal ditetapkan berdasarkan kesepakatan dan kesanggupan importir. Tapi dalam revisi ini, kita tetapkan besaran angkanya,” tegasnya.
Untuk pemasukan secondary cut impor, aturannya tetap hanya bisa dilakukan oleh Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD), yang dilakukan berdasarkan hasil rapat koordinasi yang dipimpin oleh menteri yang melaksanakan dan mensinkronkan serta mengkoordinir bidang perekonomian.
Pesimis
Keputusan ini ditanggapi pesimis kalangan importir daging dan sapi. Direktur Eksekutif Asosiasi Pengusaha Importir Daging Indonesia (Aspidi), Thomas Sembiring mengatakan, Kementan sampai sekarang masih saja yakin populasi sapi lokal mampu memenuhi kebutuhan dalam negeri. “Kalau lokal mampu memenuhi permintahan pasar mestinya harga daging tidak mahal dong,” tegasnya.
Menurut dia, jika pemerintah tidak mau melihat kenyataan dan bertahan mengatakan lokal tersedia cukup, maka masalah daging tidak akan pernah selesai.
Pemerintah, lanjutnya, harus menghitung terlebih dahulu ketersediaan sapi lokal, konsumsi daging per kapita per tahun. Jika angka ini sudah ditemukan, maka dalam mengambil kebijakan tidak salah lagi.
“Kebijakan pemerintah soal daging ini karena berawal dari data populasi dan konsumsi yang berbeda-beda. Akibatnya, kebijakan yang diambil jadi salah,” ungkapnya.
Hal serupa juga dikemukakan Direktur Eksekutif Asosiasi Produsen Daging Sapi dan Feedlot Indonesia (Apfindo), Joni Liano. Menurut Joni, sulitnya mencapai swasembada daging sapi berawal dari perbedaan data konsumsi daging dalam negeri. “Hingga saat ini belum ada kesamaan data konsumsi daging sapi. Akibatnya, kebijakan yang diambil pemerintah menjadi bias dan tidak tepat,” katanya.
Joni mengatakan, data pemerintah (Kementan) saat ini mencatat konsumsi daging sapi Indonesia mencapai 3,09 kg/kapita/tahun, sementara data Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan, malah hanya 1,7 kg/kapita/tahun. Sedangkan Apfindo juga punya data, yakni konsumsi daging 2,56 kg/kapita/tahun. “Perbedaan ini sangat membingungkan. Akhirnya kebijakan yang diambil bias dan tidak tepat,” tegasnya.
Dia menyatakan, Kebijakan di sektor peternakan yang ada saat ini sangat bias akibat data konsumsi yang tidak seragam. Pemerintah mestinya terlebih dahulu memperbaiki data konsumsi daging nasional, biar seragam. “Yang terjadi saat ini adalah kita seolah-olah mengharamkan impor, dengan bersumber pada data yang tidak sama,” katanya.
Joni mengatakan, peternak sapi dalam negeri sampai saat ini belum mampu memenuhi kebutuhan konsumsi nasional. Sapi lokal saat ini masih belum siap untuk penuhi kebutuhan konsumsi dalam negeri, yang hingga kini permintaannya semakin besar,” katanya.
Tidak logis
Sementara itu, Ketua Asosiasi Distribusi Daging Indonesia (ADDI), Suharjito mengatakan, pemerintah seharusnya memang membuka kran impor secondary cut karena WTO tidak pernah melarang atau membatasi.
“Jadi, tidak logis kalau pemerintah, terutama Kementan, tetap ngotot tidak mau buka impor secondary cut. Jenis daging ini banyak dibutuhkan masyarakat,” ungkapnya pada Agro Indonesia.
Dia menyebutkan, kesulitan pemerintah menurunkan harga daging saat ini, di samping harga dari negara asal impor sudah mahal, kurs rupiah sudah sudah tinggi. “Jadi, hal yang mustahil harga daging murah, apalagi mencapai Rp70.000/kg,” ungkapnya.
Menyinggung masalah kewajiban serap lokal, Bos PT Dua Putra ini mengatakan, izin saja sudah dipersulit, ditambah lagi dengan kewajiban serap tentunya akan memberatkan para importir. “Masalahnya, barang yang akan kita beli tidak tersedia atau sulit kita dapatkan. Padahal, pemerintah bilang sapi lokal banyak, tapi kami kesulitan mendapatkannya,” kata Harjito.
Hal itu juga dikemukakan Thomas. Menurutnya, saat ini importir masih sulit mengimplementasikan serapan 3% produksi daging sapi lokal. Dia malah khawatir jika kewajiban ini tetap diimplementasikan, populasi sapi lokal akan kian terkuras. “Saya sudah survey ke Jogjakarta, Jawa Timur, Jawa Tengah dan Bali, dan kita sulit dapatkan sapi lokal,” katanya.
Kalau pun sapi lokal tersedia, harganya lebih mahal daripada harga impor. “Ya, kita pasrah saja dengan kebijakan pemerintah. Mereka yang berkuasa, ya, sesuka mereka saja buat aturan,” kata Thomas.
Menanggapi keluhan para impotir daging soal kesulitan serap daging lokal, Sri Mukartini mengatakan kewajiban itu sudah dilakukan sejak Permentan 139/2014. Hanya sajanamun jumlah serapannya tidak ditegaskan, tapi ditetapkan berdasarkan kesepakatan dan dilakukan evaluasi per tiga bulan.
“Kita ambil berdasarkan kesepakatan karena khawatir di lapangan kesulitan mendapatkan daging beku,” katanya. Untuk tahun 2015, sesuai dengan ketentuan untuk setiap priode importir diharuskan menyerap 3% daging lokal. Ini berlaku untuk importir umum, sedangkan untuk importir produsen ditetapkan 1,5%.
Menurut Sri, jika importir tidak sanggup menunjukan bukti serap, maka otomatis rekomendasinya tidak akan diterbitkan pada periode permohonan berikutnya. Jamalzen