Ancaman Maut PP Gambut

Niat pemerintah menata dan membangun citra bagus soal lingkungan selalu tidak sinkron dan terkesan “berjalan sendiri”. Ujungnya, selain memicu kegaduhan, juga mengancam bangunan bisnis yang sudah lebih dulu ada dan sah. Itulah yang terjadi dengan PP No.71 Tahun 2014 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut.

Pengaturan lahan gambut kembali memicu kegaduhan tak perlu dan berpotensi besar merusak daya saing. Setelah penerapan moratorium izin baru di hutan primer dan lahan gambut, kini giliran Peraturan Pemerintah tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut atau yang dikenal luas sebagai PP gambut yang jadi masalah. Sialnya, produk hukum turunan dari UU No.32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup ini lagi-lagi mengancam dua bisnis nonmigas utama: Hutan Tanaman Industri (HTI) dan perkebunan sawit.

Persoalan utama yang berpotensi membunuh bisnis HTI dan kebun sawit tak lain soal penetapan kawasan lindung seluas 30% dari seluruh kesatuan hidrologis gambut serta masalah fungsi lindung jika ketebalan gambut mencapai 3 meter. Yang paling mematikan adalah ketentuan bahwa muka air gambut ditetapkan minimal 40 centimeter (0,4 meter). Jika lebih dari itu, kawasan tersebut bakal dinyatakan rusak. Konsekuensinya? Sesuai dengan PP Gambut tadi, lahan tak boleh dimanfaatkan untuk kegiatan budidaya.

Ini yang membuat berang Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI). Pasalnya, HTI akasia di lahan gambut bisa tumbuh lebih dari 1 meter, yang berarti dengan ketinggian muka air 40 cm akan membunuh tanaman karena akar terendam. “Pemberlakuan PP ini akan mematikan HTI gambut,” tegas Ketua APHI bidang HTI, Nana Suparna. Kematian itu mengancam HTI seluas 1,7 juta ha di lahan gambut dengan total potensi kerugian Rp103 triliun dan mem-PHK 300.000 tenaga kerja langsung.

Keluhan dan potensi mematikan yang sama juga disuarakan Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki). “Ketentuan itu akan berdampak pada 1,7 juta ha kebun sawit yang ada di lahan gambut,” kata Sekjen Gapki, Joko Supriyono. Dia lugas menyebut aturan itu tak lepas dari kampanye hitam untuk menghantam industri sawit nasional, yang makin berkibar dan tak tersaingi minyak nabati dunia lainnya.

Yang menarik, meski PP ini sudah ditandatangani Presiden SBY dan diberi nomor 71, seperti diakui Zulkifli Hasan saat masih menjabat menteri kehutanan, namun sampai kini dokumen itu tak bisa diperoleh. Bahkan, di laman Setneg.go.id yang resmi memuat aturan baru, PP No.71/2014 ini tak ditemukan dan urutannya langsung lompat dari 70 ke PP No.72 dan 73.

Misteri makin menarik ketika dalam proses persetujuannya kabarnya ada peran Unit Kerja Presiden bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4), yang bersama Kementerian LH, “menekan” Zulkifli untuk memaraf draft PP. Entah benar atau tidak, yang jelas Presiden SBY pun tidak menggubris surat permintaan APHI agar dilibatkan saat pembahasan RPP. Jadi? APHI menyatakan akan menyiapkan langkah hukum ke Mahkamah Agung, selain melaporkan ke lembaga Ombudsman Indonesia. AI