Kementerian Pertanian menolak relaksasi atau pelonggaran izin daging sapi beku dalam bentuk potongan sekunder (secondary cut). Kementan malah mempertegas aturan wajib serap daging sapi lokal. Importir umum hanya bisa memperoleh rekomendasi impor daging potongan primer (premium cut) jika menyerap 3% daging sapi lokal, sementara mandat importir produsen adalah 1,5%.
Paket deregulasi ekonomi ternyata tidak mampu menembus kebijakan ketat di subsektor peternakan. Meski harga daging tetap tinggi dengan kisaran Rp110.00-Rp130.000/kg di pasar tradisional Jakarta, namun Kementerian Pertanian keukeuh menolak membuka kran impor daging sapi potongan sekunder (secondary cut). Impor daging sekunder hanya bisa dilakukan oleh Bulog untuk stabilisasi harga — yang sampai kini gagal diemban karena harga masih tetap di atas Rp100.000/kg.
Harga yang tinggi itu, yang bisa melejit lagi menjelang Natal dan Tahun Baru, mendorong importir giat melobi Kantor Menko Perekonomian. Apalagi, ketersediaan daging juga masuk dalam paket I deregulasi ekonomi. Beleid yang dibidik adalah Permentan No. 139/Permentan/PD.410/12/2014 tentang pemasukan karkas, daging dan atau olahannya.
“Yang ingin melonggarkan Permentan 139/2014 adalah Kemenko. Mereka mencoba mengakomodir usulan importir, yang mengusulkan relaksasi pemasukan secondary cut,” ungkap Direktur Kesehatan Masyarakat Veteriner dan Pasca Panen, Ditjen Peternakan dan Kesehatan Hewan, Kementan, Sri Mukartini. Namun, katanya, keinginan yang sempat disetujui dalam draf revisi Permentan 139/2014 itu kandas karena Mentan Andi Amran Sulaiman tidak setuju dengan alasan melindungi peternak dalam negeri. Bahkan, Sri mengungkapkan “revisi Permentan 139/2014 sudah ditandatangani Mentan,” katanya, Kamis (26/11/2015).
Kementan tak hanya menolak keinginan importir. Menurut Sri, dalam permentan yang baru, kewajiban serap daging lokal oleh importir ditegaskan dengan persentase. Untuk importir umum wajib serap 3% daging lokal sebagai syarat rekomendasi impor, sementara importir produsen 1,5%. “Dalam Permentan lama, serapan lokal ditetapkan berdasarkan kesepakatan dan kesanggupan importir. Tapi dalam revisi ini, kita tetapkan besaran angkanya,” tegasnya.
Kebijakan ini kontan membuat sesak nafas importir. Lho? Ternyata, importir selama ini kesulitan mencari sapi lokal. “Saya sudah survey ke Jogjakarta, Jawa Timur, Jawa Tengah dan Bali. Ternyata sulit dapatkan sapi lokal,” kata Direktur Eksekutif Asosiasi Pengusaha Importir Daging Indonesia (Aspidi), Thomas Sembiring. Jika pemerintah tetap ngotot, katanya, yang terjadi nantinya malah pengurasan betina produktif.
Lalu, bagaimana pemerintah bisa menurunkan harga daging, seperti yang dijanjikan Presiden Jokowi bisa di bawah Rp70.000/kg? Entah serius atau bercanda, Thomas menukas: “Kalau mau daging murah, beli saja daging India. Meski kita belum buka impor dari India (karena negara belum bebas penyakit mulut dan kuku, Red.), toh daging India sudah banyak beredar di dalam negeri,” katanya. Wah! AI