
Badan Penyuluhan dan Pengembangan SDM Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan memfasilitasi munculnya generasi milenial peduli lingkungan hidup dan kehutanan.
Generasi milenial sering kali diidentikkan sebagai generasi receh. Banyak hal ‘remeh’ menjadi viral karena ramai-ramai dilakukan oleh generasi ini. Mulai dari berswafoto gaya mulut bebek, hingga video-video pendek ala aplikasi tiktok dan boomerang. Teknologi yang berkembang saat ini memang memudahkan bagi mereka untuk melakukan banyak hal tanpa makna tersebut.
Tapi ternyata, banyak generasi milenial yang punya pemikiran jauh ke depan. Mereka memanfaatkan teknologi yang berkembang saat ini untuk hal-hal bermanfaat yang oleh generasi sebelumnya tak pernah terpikirkan. Termasuk soal kelestarian hutan dan lingkungan hidup. Fenomena ini diwadahi oleh Badan Penyuluhan dan Pengembangan SDM (BPPSDM) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) untuk terus berkembang.
Generasi milenial yang menjadi pionir digandeng untuk terus menyebarkan pemikirannya demi tercapainya SDM Unggul, Indonesia Maju. Seperti saat Gelar Kebangsaan KLHK, di Gedung Manggala Wanabakti, Jakarta, Kamis (29/8/2019). Sejumlah milenial pionir peduli kelestarian lingkungan hidup dan kehutanan mendapat kesempatan untuk berbagi pemikiran.
Sebut saja Adinda Saraswati, gadis 17 tahun siswa kelas XI sekolah interasional ACS Jakarta. Buat Adinda, media sosial bukan tempat narsis. Melainkan menjadi tempat untuk menuangkan berbagai pemikirannya tentang berbagai isu terkini, termasuk soal pengendalian perubahan iklim. Unggahannya pun banyak yang kemudian menjadi viral.
“Aku ingin kita lebih peduli pada lingkungan. Kita juga harus peduli dengan orang lain,” kata Adinda.
Dia menuturkan, perubahan iklim berdampak buruk pada kehidupan manusia. Termasuk generasi milenial seperti dirinya. Pasalnya, perubahan iklim bisa menyebabkan bencana seperti kekeringan, banjir dan tanah longsor, menggangu produksi pangan, dan memicu timbulnya penyakit.
Adinda menegaskan, generasi milenial adalah pihak yang paling merasakan dampak dari perubahan iklim ketika bencana-bencana tersebut terjadi. Adinda pun menyerukan agar para pengambil keputusan bergerak lebih cepat untuk mendapatkan solusi pengendalian perubahan iklim.
“Generasi kami berharap agar bumi ini bisa dijaga selama-lamanya dari bencana perubahan iklim,” katanya.
Menurut dia, seluruh pihak harus bekerja sama untuk mengurangi emisi gas rumah kaca, mempertahankan kenaikan suhu bumi. Penggunaan energi berbasis fosil harus dikurangi untuk kemudian beralih pada energi terbarukan yang lebih rendah emisi gas rumah kaca.
Adinda, yang meluncurkan novel dalam bahasa Inggris bertajuk ‘Things That Live Within’ (Gramedia, Mei 2018), juga berpesan kepada rekannya sesama milenial untuk sebisa mungkin menjalankan gaya hidup hijau. “Kita harus menerapkan prinsip reduce, reuse, dan recycle,” katanya.
Atas kepeduliannya itu, Adinda terpilih menjadi duta Millennials Climate Change Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mewakili Indonesia pada Konferensi Internasional Climate Change di Katowice Polandia, November 2018. Pada konferensi itu, Adinda juga sempat memaparkan pemikirannya di Paviliun Indonesia.
Kurangi Sampah
Lain lagi dengan Mikail Kaysan (16 tahun). Dia mengajak rekan-rekannya dan masyarakat untuk berperilaku lebih maju dari sekadar tidak membuang sampah sembarangan. “Sebisa mungkin kita harus mencegah dan mengurangi sampah,” katanya.
Menurut Kaysan, sesedikit apapun sampah yang dihasilkan, berpotensi mencemari lingkungan. Bahkan ketika dibawa ke tempat pemrosesan akhir (TPA), ada kemungkinan tetap tidak terproses dan akhirnya berakhir ke laut.
Dia pernah punya pengalaman soal sampah ketika sedang melakukan pengamatan burung di Pulau Rambut, Kepulauan Seribu. Kaysan melihat banyak sampah mulai dari botol air mineral, sendal jepit, kemasan makanan, tas, dan yang paling banyak styrofoam. Padahal, Pulau Rambut adalah pulau yang tidak berpenghuni. Ini berarti sampah tersebut datang dari daratan, dimana lokasi terdekat adalah pesisir Jakarta Utara, yang berjarak sekitar 1 jam dengan menggunakan perahu cepat. Kaysan pun sempat mengajak teman-temannya untuk melakukan aksi memungut sampah.
Kaysan juga pernah melihat langsung bagaimana proses pengolahan sampah mulai dari diangkut dari rumah-rumah penduduk, hingga akhirnya sampai dan ditumpuk di TPA Bantargebang. Dia melihat pemandangan mengerikan bergunung-gunung sampah ditumpuk di sana.
“Kita bisa kurangi sampah dengan mengunakan tempat makan dan minum yang bisa diguna ulang,” katanya.
Upayanya untuk mengajak rekan-rekannya sesama generasi milenial dituangkannya dalam berbagai media sosial, termasuk vlog di situs berbagi video youtube. Vlog-nya kemudian empat mendapat penghargaan dari KLHK.
Sebagai pengamat burung, Kaysan juga mengajak publik untuk mengikuti akun instagramnya. Di sana, terpampang foto-foto burung hasil karyanya dan informasi terkait. “Jadi, kalau ada yang ingin tahu burung jenis apa, silakan lihat di sana,” katanya.

Bunga
Kepedulian lingkungan hidup gaya milenial yang tidak pernah terpikir oleh generasi sebelumnya juga dilakukan oleh Zacky Irwandi (23 tahun). Mahasiswa UNJ itu membentuk komunitas Daur Bunga bersama sejumlah rekannya untuk memanfaatkan bunga dekorasi sisa resepsi pernikahan dan berbagai acara lain.
“Apa yang terjadi pada bunga-bunga pasca acara? Kalau bunganya masih cantik, sayang jika dibuang,” kata Zacky.
Dia menuturkan, komunitas nonprofit Daur Bunga ingin memberikan kesempatan kedua pada bunga-bunga pasca acara pernikahan atau acara lainnya. Daripada dibuang, bunga-bunga sisa dirangkai ulang untuk kemudian dibagikan kepada orang-orang dekat, panti asuhan, atau mereka yang sedang terbaring sakit di Rumah Sakit. “Dengan berbagai rangkaian bunga, kita telah berbagi kebahagian dengan sesama,” katanya.
Untuk bunga sisa yang tak bisa dirangkai ulang, komunitas daur bunga akan mengolahnya menjadi kompos tanaman. Zacky menyatakan, komunitas Daur Bunga yang berjala sejak akhir 2016 terus mendapat respons positif. Dia juga mengajak siapa saja yang tertarik untuk bergabung.
Fasilitasi BPPSDM KLHK
Kepala BPPSDM KLHK Helmi Basalamah memuji berbagai inisiatif generasi milenial dalam mendukung pengelolaan lingkungan hidup dan kehutanan yang lebih baik. Dia menyatakan siap memfasilitasi generasi milenial yang mau berbagi pengetahuan dan pengalaman kepada sesama rekannya untuk mendorong gaya hidup hijau.
“Kalau generasi milenial yang bercerita, berbagi pengetahuan dan pengalaman akan didengar oleh teman-temannya. Tapi kalau yang tua-tua yang menasehati, hanya akan masuk kuping kanan, keluar kuping kiri,” kata Helmi.
Helmi secara khusus menyoroti bagaimana generasi milenial bisa memanfaatkan perkembangan teknologi untuk menyebarkan budaya cinta lingkungan hidup dan kehutanan. Fenomena ini, katanya, sulit ditemukan pada generasi sebelumnya.
Helmi menuturkan, pertumbuhan penduduk dunia saat ini sangat tinggi. Jumlahnya sudah mencapai 7 miliar jiwa. Sebanyak 15% adalah mereka yang berada di rentang usia 15-25 tahun atau sekitar 1,2 miliar jiwa. “Merekalah yang nantinya akan menerima bumi ini di masa depan apapun kondisinya. Makanya pendidikan karakter bagi generasi milenial sangat penting,” katanya.
Helmi menuturkan, salah satu dampak pendidikan karakter yang mulai terbentuk adalah pengurangan penggunaan plastik sekali pakai. Sudah banyak anak sekolah dan mahasiswa yang kembali mau membawa botol air minum (tumbler) ketimbang membeli air minum dalam kemasan. “Sekolah-sekolah, bahkan hotel, kini menyediakan dispenser untuk air minum,” katanya.
Helmi menekankan, dampak pendidikan peduli lingkungan mungkin tidak begitu kentara secara penglihatan. Namun gerakan ini akan terus bergulir untuk membentuk karakter dan budaya peduli lingkungan hidup dan kehutanan yang bermanfaat di masa yang akan datang. AI
