Tren penurunan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) sumber daya alam kelautan dan perikanan nampaknya sudah terlihat jauh-jauh hari. Namun, apakah itu yang menyebabkan Gellwynn Daniel Hamzah Jusuf dicopot dari jabatannya sebagai Direktur Jenderal (Dirjen) Perikanan Tangkap, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) per 21 September 2015 lalu?
Tak ada yang tahu pasti, memang, kecuali Menteri KKP Susi Pudjiastuti.
Yang jelas, PNBP KKP — yang mayoritas disumbang oleh perikanan tangkap — memang mencatat kinerja buruk di tengah sorotan mengkilat publik terhadap kinerja Menteri Susi Pudjiastuti. Bayangkan, dari target Rp578,79 miliar atau naik 100% lebih dari target 2014 sebesar Rp250 miliar, sampai November 2015, KKP baru bisa mengumpulkan Rp70,04 miliar atau 12,11% dari target.
Target tertinggi PNBP dalam sejarah berdirinya KKP itu memang coba dicapai Gellywnn, yang dilantik sebagai Dirjen Perikanan Tangkap pada 27 November 2014, melalui pungutan perikanan berupa Pungutan Pengusahaan Perikanan (PPP) dan Pungutan Hasil Perikanan (PHP). Dasar pemikiran PHP adalah bagi hasil sumberdaya ikan hasil produksi selama 1 tahun yang dibedakan berdasarkan usaha skala kecil (hanya 1% dari hasil produksi dan skala besar 2,5% dari hasil produksi) atau sering dikenal dengan production sharing.
Besarnya PHP diperoleh dari formula 1% atau 2,5% dikalikan produtivitas kapal penangkap ikan menurut alat tangkap yang digunakan lalu dikalikan harga patokan ikan.
Tagihan itu dikenakan pada perusahaan-perusahaan nasional yang menggunakan kapal penangkap ikan dengan bobot lebih dari 30 gross ton (GT) atau yang mesinnya berkekuatan lebih dari 90 daya kuda dan beroperasi di luar 12 mil laut.
Gellwynn mengakui, angka Rp5 triliun setahun di luar jangkauan pihaknya. Yang masuk akal, target Rp5 triliun untuk 5 tahun. “Namun, untuk mencapai Rp5 triliun agak sulit. Hasil akhir kami bisa menaikkan jadi Rp1,3 triliun dan angka ini tahap final.”
Menteri Susi sendiri terhenyak ketika tahu sektor kelautan dan perikanan menghabiskan uang negara sekitar Rp18 triliun/tahun, di mana sekitar Rp6,5 triliun dipakai untuk operasional pengembangan kelautan dan perikanan serta Rp11,5 triliun untuk keperluan subsidi bahan bakar minyak perikanan.
Susi juga kecewa dengan hasil PNBP KKP yang hanya Rp300 miliar/tahun. PNBP ini sebagian besar berasal dari pembayaran retribusi perizinan kapal penangkapan ikan yang rata-rata Rp90 juta/unit.
“Nilainya yang minim itu saja sudah sangat merugikan negara, hingga sudah saatnya kita meningkatkannya. Negara kita sesungguhnya bisa mandiri, berdiri sendiri dengan mengoptimalkan sektor kelautan dan perikanan,” kata Susi.
Belakangan, KKP menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 75 Tahun 2015 tentang Jenis dan Tarif atas Jenis PNBP yang Berlaku pada KKP, di mana PHP-nya naik jadi 1.000%. Hal ini dikritik banyak pihak.
Dirjen Perikanan Tangkap, Narmoko Prasmadji minta publik tidak meributkannya lagi. “Mengenai PP 75/2015 nanti kami akan konsolidasi dengan jajaran kami lagi. Karena memang tarif PHP untuk nelayan miskin dengan nelayan kaya seharusnya tidak sama,” ujar Narmoko dalam jumpa pers di kantornya (20/11/15).
Narmoko menjelaskan, proses terbitnya PP 75 Tahun 2015 sudah melalui tahapan proses pembahasan antarkementerian/lembaga terkait. “Kami juga telah mengupayakan sosialisasi terhadap penyesuaian tarif dilakukan bersamaan dengan tim evaluasi analisis dan evaluasi terhadap kapal-kapal eks asing,” paparnya.
Mantan Kepala Kepala Badan Karantina Ikan, Pengendalian Mutu dan Keamanan Hasil Perikanan ini menambahkan, rencana penyesuaian tarif pungutan perikanan juga telah di diskusikan kepada pelaku usaha. Menurutnya, pelaku usaha tidak keberatan atas penyesuaian tarif dengan syarat adanya peningkatan pelayanan perizinan.
Peneliti pada Pusat Kajian Pembangunan Kelautan dan Peradaban Maritim, Suhana menilai PP 75/2015 ganjil. Pasalnya, PP 75/2015 tidak memasukan Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 2009 dan UU 45/2009 tentang Perikanan. Padahal, dalam PP 19/2006 tentang Jenis dan Tarif Jenis PNBP Yang Berlaku pada KKP sudah dimasukan sebagai dasar pertimbangan hukumnya.
“Akibatnya, ada beberapa pasal dalam PP No. 75 Tahun 2015 ini dianggap bermasalah, terutama terkait diberlakukannya kembali Pungutan Usaha Perikanan bagi nelayan/usaha perikanan kecil,” kata Suhana.
Cuma pencitraan
Namun, gagalnya capaian PNBP ini sudah bisa dibaca karena target yang ada dinilai berlebihan. Pengamat Kelautan yang juga dosen Fakultas Perikanan IPB, Fredinan Yulianda menilai, PNBP DJPT yang hanya mengandalkan peningkatan produksi dari minus pelaksanaan illegal fishing — yang digembar-gemborkan sebagai prestasi spektakuler KKP — berlebihan.
“Menurut saya terlalu berlebihan. Karena produksi ikan tangkap bukan hanya mengurusi illegal fishing porsi kecil, tetapi justru program pemulihan populasi ikan harusnya menjadi prioritas utama seperti kerusakan ekosistem pesisir,” ujar Fredinan.
Seandainya illegal fishing dihentikan, lanjut Fredinan, bukan berarti produksi otomatis meningkat begitu saja. “Belum lagi KKP tidak memaksimalkan operasi penangkapan dan tidak tercapai optimal pasarnya.”
Itu sebabnya, kata Fredinan, Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (MenPan RB), Yuddy Chrisnandi menempatkan kinerja KKP ranking 2 sebetulnya tidak tepat. Dia menduga hal itu karena hanya berdasarkan popularitas saja.
“Di negeri ini banyak sekali penilaian popularitas menjadi acuan, tapi tidak tepat sasaran karena masyarakat tidak memahami substansi yang sebenarnya,” kata Fredinan.
Kritik senada juga dikemukakan Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan, Abdul Halim, yang menilai MenPAN-RB keliru menterjemahkan kinerja antara fakta di lapangan dengan pencitraan.
“Padahal, serapan anggaran KKP tidak mencapai 70%. Bahkan, ada rencana pengembalian anggaran kepada Kementerian Keuangan sebesar Rp1,5 triliun dari Rp10,5 triliun,” sergah aktivis muda yang akrab disapa Halim ini.
Sedangkan Ketua Umum Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI), Riza Damanik menyoroti kinerja Dirjen Perikanan Tangkap. Menurutnya, mustahil PNBP DJPT meningkat tanpa perbaikan sistem perijinan, pelayanan dan pelaporan.
“Saya melihat gebrakan untuk hal ini relatif lambat, bahkan terabaikan. Sepertinya, target Menteri Kelautan dan Perikanan mendongkrak peningkatan PNBP tidak berhasil diterjemahkan dengan baik di level dirjennya,” kata Riza.
Riza pun menduga ada persoalan serius di kelembagaan KKP. Karena gagasan Menteri Susi tidak didukung oleh team work yang memadai. Atau kemungkinan lainnya, target yang ditetapkan tidak melalui proses internalisasi yang baik.
DJPT Bungkam
Sayangnya, sepanjang minggu lalu, permintaan wawancara Agro Indonesia kepada Dirjen Perikanan Tangkap, KKP, Narmoko Prasmadji dan Sekretaris DJPB, Abduh Nurhidajat tidak kunjung digubris.
Padahal, Menteri Kelautan dan Perikanan, Susi Pudjiastuti wanti-wanti kepada jajarannya untuk mewakiili dirinya jika ada media yang minta konfirmasi.
Beruntung, Kepala Sub Bagian Humas DJPT, KKP, Hendy Thos Sofyanur bersedia menjembatani keperluan tersebut. Dia pun berjanji jawaban dari pertanyaan Agro Indonesia akan dikirim via surat elektronik. Menurutnya, konsep jawaban sudah ditangan Sesditjen, Abduh yang mengarahkannya kepada Direktur Pengendalian Penangkapan, Saifuddin.
Anehnya, Saifuddin mengelak mengetahui permintaan konfirmasi seputarnya jebloknya PNBP KKP. “Kami belum mengetahui tentang pertanyaan yang dimaksud,” tulis Saifuddin dalam WhatsApp.
Saifuddin pun minta waktu untuk menjawabnya seluruh pertanyaan yang diajukan. Karena pihaknya perlu melihat referensi dan koordinasi terkait PNBP DJPT, KKP. Fenny