Kinerja penerimaan negara bukan pajak (PNBP) Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) tahun 2015 terbukti jeblok. Inilah noktah hitam di tengah kinclongnya paras popularitas Menteri Susi Pudjiastuti. Upaya menaikkan pungutan untuk mengejar target malah menjadi bumerang dan melahirkan protes dan gugatan: berpihak ke mana pemerintah?
Kegagalan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) meraih target PNBP 2015 benar-benar bertolak belakang dengan tingginya popularitas Menteri Susi Pudjiastuti. Alih-alih mampu menembus angka triliunan seperti yang digadang-gadang di saat awal Susi menjabat, yang terjadi malah memalukan. Dari target yang dipasang Rp578,7 miliar saja, uang yang masuk sampai November baru seuprit alias Rp70,089 miliar (12,11%).
Sejauh ini, Susi selalu mengelak mengakui kegagalan itu — yang sebetulnya sudah bisa dibaca jauh-jauh hari. Dia malah menyebut raihan PNBP jangan jadi ukuran, tapi lihatlah bagaimana KKP mampu menghemat BBM Rp12 triliun karena menghentikan subsidi untuk kapal di atas 30 gross ton (GT). Selain itu, juga soal keberhasilan memperoleh pembebasan bea masuk ke pasar Amerika.
Padahal, kalau mau jujur, untuk mengetahui kegagalan itu sangat mudah. Asal tahu saja, target PNBP yang dikerek Susi di tahun pertamanya menjabat menteri memang luar biasa tinggi. Bahkan, menurut Kepala Bidang Hukum dan Organisasi Asosiasi Tuna Indonesia (Astuin), Muhammad Billahmar, target PNBP yang sebagian besar disumbang oleh perikanan tangkap itu tertinggi sejak KKP berdiri 15 tahun silam.
Sayangnya, optimisme tersebut malah diikuti oleh beberapa kebijakan yang kontraproduktif. Yang paling utama adalah keluarnya Permen KP No.56/2014 tentang Penghentian Sementara (Moratorium) Perizinan Perikanan Tangkap. Dengan Permen KP ini, maka kapal-kapal perikanan eks pengadaan dari luar negeri tidak diterbitkan izin baru, apakah SIUP, SIKPI maupun SIPI. Moratorium selama 6 bulan itu sudah diperpanjang dua kali sampai Oktober 2015.
Dengan moratorium itu, praktis pungutan hasil perikanan (PHP) dan pungutan pengusahaan perikanan (PPP) — yang merupakan komponen utama PNBP sumber daya alam perikanan dan dipungut saat seseorang ketika ingin memperoleh SIUP, SIPI dan SIKPI — hilang. Padahal, dari 5.329 kapal di atas 30 GT yang beroperasi di perairan Indonesia, sekitar 20% adalah kapal eks asing.
“Belum lagi kebijakan larangan Pukat Tarik dan Pukat Hela di WPP NRI terhadap semua kapal perikanan, dan adanya penertiban perizinan usaha perikanan tangkap terhadap kapal-kapal buatan dalam negeri baik izin baru maupun perpanjangan,” ujar Billahmar.
PP 75/2015
Bersamaan dengan berbagai larangan itu, pemerintah pun menyiapkan revisi PP yang mengatur PNBP. Sasarannya tak lain mengejar target perolehan PNBP, dengan cara menaikkan tarif. Pada 7 Oktober 2015, Presiden Jokowi akhirnya meneken Peraturan Pemerintah (PP) No.75/2015 tentang Jenis dan Tarif atas Jenis PNBP yang Berlaku di KKP.
Namun, PP revisi ini malah memicu kontroversi baru. Pelaku usaha perikanan protes keras karena terjadi kenaikan tarif royalti PHP sebesar 400%-1.000% dibanding PP 19/2006. Bahkan, besaran itu bisa bengkak jika komponen produktivitas kapal dan harga patokan ikan (HPI) juga mengalami penyesuaian.
Sialnya, pemerintah masih menambah komponen tarif PHP dengan memasukan faktor pengali “ukuran GT kapal”. Alhasil, pelaku usaha bakal makin tercekik. Menurut Billahmar, jika komponen ukuran GT kapal dimasukkan, harusnya komponen produktivitas kapal diubah menjadi “produktivitas alat penagkapan ikan”. “Selama ini kan produktivitas kapal ditentukan berdasarkan jenis alat penangkapan ikan dengan satuan ton/GT/tahun,” ujarnya.
Hal ini terbukti ketika kenaikan BBM tahun 2005. “Banyak kapal buatan Indonesia yang berganti alat tangkap, terutama kapal-kapal penangkap ikan tuna yang berganti alat dari longline ke purse seine atau alat lainnya yang lebih produktif, meski PHP-nya lebih mahal,” urainya.
Billahmar juga mempertanyakan apa alasan pemerintah membagi skala usaha kapal penangkap ikan dan kapal pendukung operasi penangkapan ikan berukuran 30 GT dalam tiga kelompok. Selain itu, apa dasar kenaikan tarif royalty PHP menjadi 5%, 10% dan 25% untuk masing-masing kelompok usaha. Berdasarkan PP 75/2015, usaha penangkapan ikan dikelompokan dalam skala kecil, menengah dan besar berdasarkan ukuran kapal, yakni kecil (30-60 GT), menengah (60-200 GT) dan besar (200 GT ke atas).
Solusi
Itu sebabnya, dia menilai kebijakan yang ada perlu ditinjau karena dilakukan tanpa dasar yang jelas serta membebani pelaku usaha. “Tanpa landasan yang jelas, kebijakan itu menimbulkan kecurigaan keberpihakan negara untuk siapa?” tegasnya.
Jika terkait dengan capaian PNBP yang selalu di bawah target, harusnya pemerintah lakukan evaluasi internal terlebih dulu untuk mengetahui penyebab rendahnya PHP sebelum langsung menaikkan tarif royalti PHP
Menurut kajian Astuin, ada tiga hal yang bisa mendongkrak realisasi PNBP melalui PHP tanpa menaikkan royalti. Pemerintah hanya membebaskan pungutan untuk nelayan kecil yang menggunakan kapal maksimal 5 GT — sesuai UU Perikanan. Faktanya saat ini, berdasarkan PP 75/2015, kapal yang dibebaskan adalah di bawah 30 GT.
“Padahal, kapal di kisaran 5-30 GT itu jumlahnya sekitar 70.348 unit atau 94,29% dari seluruh kapal penangkap ikan di Indonesia yang jumlahnya 639.681 unit menurut statistik perikanan tangkap 2013. Dengan kata lain, kapal yang kena pungutan perikanan hanya 5,71%, sementara mayoritas sisanya tidak dipungut,” papar Billahmar.
Dia juga berharap pemerintah bisa menertibkan praktik-praktik mark down alias menyusutkan ukuran (GT) kapal. Praktik ini banyak dilakukan di daerah, untuk itu perlu ada koordinasi dengan instansi terkait. Terakhir, pemerintah melakukan penyesuaian HPI.
“Jika ketiga hal itu bisa ditertibkan dan ditangani dengan baik, PHP akan meningkat tanpa harus menaikkan tarif royalti hingga 1.000%. Kecuali kalau ada maksud tersirat, yakni membatasi ukuran kapal penangkan ikan yang akan dizinkan menangkap ikan di WPP RI hanya berukuran paling besar 200 GT,” tandasnya. AI
Perbandingan Tarif Pungutan Hasil Perikanan (PHP) Menurut PP No.75/2015 Dan PP No.19/2006
PP No. | Skala Usaha | Ukuran Kapal | Tarif PHP |
75/2015 | Kecil | >30 – 60 GT | 5% x Produktivitas Kapal x H Patokan Ikan x Ukuran GT Kapal. |
Menengah | >60 -200 GT | 10% x Produktivitas Kapal x Harga Patokan Ikan x Ukuran GT Kapal. | |
Besar
|
>200 GT | 25% x Produktivitas Kapal x Harga Patokan Ikan x Ukuran GT Kapal. | |
19/2006 | Kecil | ? | 1% x Produktivitas Kapal x Harga Patokan Ikan |
Besar | Izin Pusat
(> 30 GT) |
2, 5% x Produktivitas Kapal x Harga Patokan Ikan |
Catatan: Skala Usaha Berdasarkan Permen KP No.36/2015
Pencitraan yang Mengecoh Presiden
Buat Komisi IV DPR, penurunan PNBP Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) mencerminkan bahwa langkah-langkah yang diambil Menteri Susi Pudjiastuti lebih banyak untuk pencitraan.
“Bu Susi pandai membuat gebrakan pencitraan, tapi belum terdampak pada kesejahteraan rakyat, produktivitas dan PNBP. Meski dia berdalih (kenaikan) tidak dari PNBP, tapi diambil dari pajak, tapi bagaimana mau memungut pajak jika produksi turun,” ujar Wakil Ketua Komisi IV DPR (F-Partai Demokrat), Herman Khaeron.
Bahkan, anggota Komisi IV lainnya, Firman Subagyo (F-Partai Golkar), menilai akibat pencitraan dengan menggunakan media tertentu sebagai iklan terselubung bisa mengecoh Presiden. “Terbukti fakta yang ada PNBP tidak tercapai,” kata Firman.
Dia juga menilai banyak program KKP yang aneh-aneh. “Beberapa program kita tolak. Misalnya saja KKP mengajukan pembelian pesawat pengintai. Kenapa harus KKP, kenapa tidak serahkan ke lembaga yang berwenang sepeti Angkatan Udara atau Angkatan Laut.”
Bahkan, KKP juga mengajukan pembelian kapal penangkap ikan dan kapal pengolahan. Belum lagi kapal induk untuk satgas.
Pemerintah harusnya membuat kebijakan yang pro-rakyat. Namun, dari hasil kunjungan kerja ke daerah ternyata rata-rata nelayan mengeluh. Mulai dari nelayan di Jawa, Kalimantan, Sumatera sampai Bali. “Kebijakan pemerintah dinilai merugikan masyarakat. Mulai dari moratorium sampai larangan penggunaan cantrang,” tandas Firman. AI