Misteri dan Jejak UKP4

Meski sudah ditandatangani oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, dokumen resmi Peraturan Pemerintah tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut (PP gambut) hingga kini masih misterius dan menyisakan rumor tak sedap.

Informasi yang beredar, PP gambut diatur dalam PP No. 71 tahun 2014. Namun, dokumen tak ditemukan bahkan di situs resmi Sekretariat Negara (Setneg), yang lazimnya memuat semua produk hukum pemerintah. Di situs Setneg muncul sejumlah PP yang baru disahkan, berturut-turut PP No.70 tahun 2014, PP No.72 tahun 2014, dan PP No.73 tahun 2014. Sementara PP No.71 tahun 2014, malah tak muncul.

Situasi tersebut jelas memunculkan tanda tanya. Namun, Zulkifli Hasan, saat masih menjabat sebagai Menteri Kehutanan memastikan, PP gambut telah diteken presiden. “Sudah ditandatangani,” kata dia saat dikonfirmasi, Jumat (26/9/2014).

Bisik-bisik yang berhembus, ‘ngumpetnya’ dokumen tersebut dikarenakan saat diteken presiden, ada satu halaman dari draft final yang ternyata tertinggal. Jika itu benar adanya, maka PP tersebut bisa dipastikan cacat hukum, yang menjadikannya hingga tak jua dimunculkan di situs resmi pemerintah.

Misteriusnya PP gambut sejatinya sudah terjadi sejak masih dalam kandungan. Dipimpin oleh Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) untuk pembahasannya, PP gambut sempat tertahan lama di Kementerian Kehutanan. Zulkifli rupanya tak mau begitu saja menyetujui draft yang disiapkan.

Dia memang sempat membubuhkan parafnya pada draft PP gambut. Namun, dalam draft tersebut, ketentuan soal batas bawah muka air gambut masih diatur setinggi 1 meter. Draft kemudian berubah lagi, di mana batas bawah muka air gambut masih diatur setinggi 0,4 meter. Nah, di sini Zulkifli bertahan.

Namun, desakan dari Kementerian Lingkungan Hidup dan juga Unit Kerja Presiden bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4) akhirnya mengoyahkan Zulkifli. Dia pun akhirnya membubuhkan parafnya.

Dikonfirmasi soal hal itu, Zulkifli menjelaskan, PP gambut dirancang atas inisiatif Kementerian Lingkungan Hidup. Pihak Kemenhut, katanya, menyepakati ketentuan yang diatur dalam PP tersebut — termasuk soal penetapan kawasan lindung gambut dan batas paling rendah muka air gambut. “Tidak bisa jika kami menolak sendiri. PP itu kesepakatan antarlembaga pemerintah,” katanya.

Dia mengakui, banyak ketidakpuasan atas PP gambut yang diterbitkan. Untuk itu, pemangku kepentingan yang merasa tidak puas dipersilakan menempuh upaya hukum. “Ini negara demokrasi dan hukum, silakan ajukan gugatan hukum jika memang tidak puas dengan PP gambut,” katanya.

Kajian Litbang

Bertahannya Zulkifli untuk tak buru-buru meneken draft PP gambut tak lepas dari rekomendasi kajian Badan Litbang Kehutanan. Intitusi riset Kemenhut itu tidak merekomendasikan penetapan muka air paling rendah 0,4 meter sebagai indikator kerusakan gambut dalam pembahasan PP gambut.

Menurut Kepala Badan Litbang Kehutanan San Afri Awang, pihaknya merekomendasikan batas paling rendah untuk muka air gambut adalah 0,8 meter. Batasan tersebut mengacu kepada kajian ilmiah yang dibuat peneliti Belanda, Hooijer. “Batas bawah 0,8 meter masih memungkinkan tanaman keras yang dibudidayakan untuk hidup,” kata dia di Jakarta, Selasa (23/9/2014).

Menurut Awang, batas bawah muka air 0,4 meter hanya cocok untuk budidaya tanaman semusim. Sementara untuk tanaman keras yang dibudidayakan seperti akasia, muka air tersebut akan membanjiri akar dan membuat pohon mati.

Awang menegaskan, lahan gambut bukanlah lahan yang haram untuk dimanfaatkan. Berbekal iptek, lahan gambut terbukti bisa dikelola secara lestari. Dia menyayangkan masih adanya kekhawatiran dari beberapa pihak bahwa pengelolaan gambut akan merusak. “Kami sudah membuktikan, gambut bisa dikelola. Bahkan pada lahan gambut yang sudah rusak, gambut bisa dimanfaatkan untuk budidaya, asal ipteknya tepat,” kata Awang yang juga guru besar di Fakultas Kehutanan UGM.

Manfaatkan teknologi

Soal penerapan ilmu dan teknologi dalam pengelolaan gambut juga ditekankan oleh pakar gambut dan tanah IPB, Dr Basuki Sumawinata. Dia menegaskan, penerapan iptek bisa dilakukan agar sumberdaya gambut bisa dimanfaatkan untuk kesejahteraan masyarakat Indonesia. “Tapi PP gambut tidak mengakomodir kemajuan teknologi untuk perbaikan, pemanfaatan sehingga cenderung mengunakan prinsip kehati-hatian saja. Jadi, setiap ada potensi kerusakan, solusinya konservasi atau biarkan tidak dikelola,” kritik dia.

Basuki mengingatkan, tidak semua lahan gambut bisa secara otomatis ditetapkan sebagai kawasan lindung. Ada lahan gambut yang telah dibebani izin pemanfaatan seperti HTI. Di luar kawasan hutan, lahan gambut juga ada yang dibebani izin perkebunan ataupun infrastruktur. “Badan Pertanahan Nasional (BPN) juga telah banyak mengeluarkan sertifikat hak milik, terutama terkait transmigrasi. Kalau seperti itu, masa langsung ditetapkan sebagai kawasan lindung?” katanya.

Basuki menegaskan, penerapan teknologi ekohidro, di mana air gambut diatur ketinggiannya, sangat tepat untuk pengelolaan gambut. Teknologi itu menjaga gambut tetap basah sehingga memaksimalkan petumbuhan tanaman, yang berarti meningkatkan penyerapan karbon, mengurangi risiko kebakaran, menahan subsidensi gambut, dan menjaga emisi gas rumah kaca. Sugiharto

Investasi Sawit Rp136 Triliun Terganggu

Bukan cuma pelaku usaha kehutanan yang menjerit dengan pemberlakuan PP gambut. Hal yang sama juga terjadi pada pelaku usaha perkebunan. Pemberlakuan PP gambut dinilai bakal menggangu operasional perkebunan kelapa sawit dengan nilai investasi paling sedikit Rp136 triliun dengan berkontribusi pada devisa negara sebesar 6,8 miliar dolar AS setiap tahunnya dan menjadi gantungan penghidupan 340.000 kepala keluarga.

Sekjen Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki), Joko Supriyono menyatakan, pihaknya khawatir dengan pemberlakukan PP gambut. “Ketentuan itu akan berdampak pada 1,7 juta hektare (ha) kebun sawit yang ada di lahan gambut,” kata dia di Jakarta, Jumat (3/10/2014).

Selain investasi yang sudah berjalan, Joko menambahkan, PP gambut juga akan mengganjal investasi baru kebun sawit. Potensinya bisa mencapai Rp240 triliun dengan nilai ekspor mencapai 12 miliar dolar AS. Investasi itu akan menyerap tenaga kerja langsung sebanyak 400.000 kepala keluarga dan petani plasma sebanyak 300.000 kepala keluarga.

Joko menegaskan, kerugian akibat terganggunya perkebunan sawit di gambut bukan hanya dirasakan oleh korporasi, tapi juga diderita oleh masyarakat petani sawit. Dia mengungkapkan, dari sekitar 9 juta ha perkebunan sawit yang ada saat ini, sebanyak 42% adalah perkebunan skala rakyat.

“Kami cemas akan ada kriminalisasi pelaku usaha perkebunan karena adanya ketentuan-ketentuan yang kontraproduktif dengan upaya pengelolaan gambut,” katanya.

Termasuk ketentuan yang kontraproduktif adalah soal penetapan batas bawah muka air gambut yang ditetapkan 40 centimeter (0,4 meter). Ada juga ketentuan soal penetapan 30% luas lahan dari kawasan hidrologi gambut sebagai fungsi lindung. Ketentuan lain adalah soal larangan adanya saluran drainase di lahan gambut.

Dia menambahkan, sebenarnya banyak bukti bahwa pengelolaan kebun sawit di lahan gambut bisa berkelanjutan. Contoh kebun Ajamu milik PT Perkebunan IV di Sumatera Utara yang telah berumur 60 tahun. Ada juga perkebunan di Indragiri Hilir, Riau yang mulai dikembangkan awal tahun 1990-an dan berproduksi dengan baik. Demikian pula kebun milik PT Socfindo di Negeri Lama, Sumatera Utara yang kini telah berusia 80 tahun dan mampu menghasilkan panen 25 ton/ha/tahun. “Yang paling penting adalah manajemen airnya dikelola dengan baik,” kata Joko.

Joko sendiri memandang pembatasan pemanfaatan gambut tidak lepas dari kampanye negatif yang kerap dilancarkan untuk kelapa sawit yang sebenarnya paling kompetitif dan efisien dalam pemanfaatan lahan.

Kampanye negatif itu dilancar untuk mengerem laju penerimaan pasar minyak nabati internasional. Tahun 2013/2014 minyak sawit menguasai 30% dari total pasar minyak nabati internasional yang mencapai 193 juta ton. Pasar minyak nabati sendiri diperkirakan akan terus berkembang sebanyak 5-6 juta ton/tahun. EY Wijiyanti/Sugiharto