Lagi, Kepastian Hukum dan Investasi Terguncang

Wajah Tsuyoshi Kato terlihat kalut. Pria asli Jepang yang menjabat Wakil Presiden Direktur PT Wana Subur Lestari (WSL) itu tak bisa menyembunyikan kegalauan soal masa depan investasi perusahaannya.

Padahal, WSL bersama dengan perusahaan saudarinya — PT Mayangkara Tanaman Industri (MTI) — adalah bagian dari rencana raksasa Jepang, Sumitomo membangun bisnis Hutan Tanaman Industri (HTI) di Indonesia. Hutan tanaman ini akan jadi tulang punggung rencana Sumitomo berikutnya membangun industri hilir, yakni serpih kayu (chip).

Namun, jangankan hilir, bisnis di hulu pun boleh jadi bakal berantakan. “Sekarang situasinya sulit. Kami bingung dengan kebijakan pemerintah Indonesia,” kata Kato yang ditemui di Jakarta, Jumat (19/9/2014) lalu.

Pangkal soalnya tak lain terbitnya Peraturan Pemerintah No.71 Tahun 2014 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut  (yang lebih dikenal dengan sebutan PP Gambut). Adalah sejumlah klausul yang diatur dalam PP tersebut yang membuat perusahaan HTI yang beroperasi di gambut tak memungkinkan untuk tetap menjalankan usahanya. Sebut saja soal penetapan kawasan lindung seluas 30% dari seluruh kesatuan hidrologis gambut. Ada juga ketentuan tentang penetapan fungsi lindung jika gambut memiliki ketebalan lebih dari 3 meter.

Namun, yang paling berat adalah ketentuan yang menyatakan “muka air gambut ditetapkan minimal 40 centimeter”. Lebih dari itu, maka kawasan tersebut bakal dinyatakan rusak. Jika sudah dinyatakan rusak, maka sesuai dengan PP Gambut tadi, lahan tak boleh dimanfaatkan untuk kegiatan budidaya.

Padahal, akar Akasia yang ditanam untuk pengembangan HTI bisa tumbuh lebih dari 100 centimeter. Jika muka air gambut hanya 40 centimeter, dipastikan akar akan terendam dan pohon mati.

Minta solusi

Nah, mengacu kepada PP tersebut, dua anak usaha Sumitomo, yang memang punya areal usaha di lahan gambut, terancam berhenti beroperasi. WSL dan MTI saat ini menggenggam izin HTI seluas masing-masing 40.040 hektare (ha) dan 74.870 ha di Kubu Raya, Kalimantan Barat, yang sebagian besarnya adalah lahan gambut.

Kato berharap, pemerintah bisa memberi solusi bagi agar investasi yang ditanamnya tidak layu sebelum berkembang. “Kami percaya pemerintah Indonesia bisa memberi jalan keluar yang baik,” harap dia.

Kematian bukan cuma bakal menghampir HTI milik Sumitomo, tapi juga seluruh HTI di lahan gambut jika PP Gambut tak buru-buru direvisi. Andai itu benar terjadi, maka potensi kerugian yang ditimbulkan sungguh teramat besar. Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI) menghitung potensi kerugian bisa mencapai total Rp103 Triliun. Hitungannya? Ternyata ada 1,7 juta ha HTI yang telah ditanam di lahan gambut dengan masa izin selama 60 tahun. Sementara potensi per hektare bisa menghasilkan kayu bulat sebanyak 120 m3 dengan 10 kali daur panen, sedang harga sebesar Rp300.000/m3.

“Pemberlakuan PP gambut akan mematikan HTI gambut yang berdampak buruk bagi perkenonomian, sosial dan lingkungan,” kata Ketua Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI) bidang HTI, Nana Suparna.

Nana menyebutkan, saat ini saja HTI yang terhenti operasionalnya karena berbagai kendala ekonomi, seperti konflik lahan, regulasi tumpang tindih termasuk pungutan dan iuran, sudah puluhan unit. Dia memprediksi, dengan berlakunya PP gambut,  HTI yang aktif akan berkurang lagi menjadi 27% dari 45% yang kini aktif. Pasalnya, 60% dari HTI yang beroperasi adalah HTI gambut.

“Lalu ada kerugian dari devisa yang hilang bersumber dari pendapatan pulp dan kertas sebesar 5,4 miliar dolar AS per tahun dari total produksi 16,8 juta ton, yang selama ini memanfaatkan bahan baku dari HTI. Akan terjadi PHK besar-besaran, sekitar 300.000 tenaga kerja langsung di sektor ini,” jelasnya.

Jika kondisi itu tak diantisipasi, maka bisa dipastikan bakal mengganggu pertumbuhan ekonomi, perkembangan wilayah, lingkungan, dan sosial juga menjadi negatif.

Pernyataan Nana diamini Wakil Ketua Asosiasi Pulp dan Kertas Indonesia (APKI), Rusli Tan. Dia mengingatkan, saat ini sejumlah industri kertas sudah mati akibat ketiadaan bahan baku. Sebut saja, Leces, Basuki Rahmat, dan Kertas Kraft Aceh. “Industri kertas lainnya akan menyusul jika pasokan bahan baku dari lahan gambut berhenti,” kata dia.

Rusli menyerukan, pemerintah seharusnya melindungi industri strategis seperti pulp dan kertas dengan memberikan regulasi yang mendukung. “Jangan malah mengikuti kampanye yang dilancarkan oleh LSM asing yg tidak ingin kita berkembang,” katanya.

Gugatan

Yang miris, meski pemegang izin HTI merupakan pemangku kepentingan yang besar dan PP gambut memberi dampak besar terhadap masa depan mereka, namun urusan nyawa usaha tak pernah dilibatkan. Rupanya, para pemegang izin HTI gambut tak pernah sekalipun dilibatkan dalam pembahasan PP gambut. Padahal, aturan itu bisa mematikan usaha mereka.

Kondisi inilah yang disesalkan Nana. Padahal, tak sekali-dua para pelaku usaha kehutanan yang tergabung dalam Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI) meminta kepada pemerintah agar mereka dilibatkan dalam pembahasan PP gambut. “Tapi permintaan kami selalu diabaikan,” keluh dia.

APHI melayangkan beberapa surat kepada pemerintah. Pertama, tanggal 30 Juni 2014 lewat surat bernomor 490/DP-APHI/VI/2014 tentang Usulan APHI Atas RPP Gambut yang dikirimkan ke Sekretariat Negara.

Tak mendapat tanggapan, APHI kembali berkirim surat kepada pemerintah. Kali ini yang dituju adalah menteri kehutanan lewat surat bernomor 544/DP-APHI/VII/2014 tertanggal 23 Juli 2014 tentang Permohonan Penyusunan Naskah Akademis untuk Penyusunan RPP Gambut. Sayangnya, meski menhut adalah pembina bisnis kehutanan, harapan APHI untuk mendapat tanggapan juga kandas.

APHI kemudian kembali mengirimkan surat kepada Sekretariat Negara pada 28 Agustus 2014 lewat surat bernomor 572/DP-APHI/VIII/2014 tentang Tanggapan APHI Atas  RPP Gambut. Lagi-lagi surat tersebut tak ditanggapi.

Terakhir, APHI melayangkan surat langsung kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 3 September 2014 lewat surat bernomor 583/DP-APHI/IX/2014 tentang RPP. Sama seperti surat-surat sebelumnya, surat APHI juga tidak diakomodir.

Nana mengingatkan, sebagai stakeholders utama dalam pengelolaan gambut, APHI wajib dilibatkan dalam penyusunan PP. Jika tidak, maka hal itu bertentangan dengan UU No.12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan khususnya Bab XI Pasal 96, Pasal 5 huruf (e) dan (g) dan Pasal 6 ayat (1) huruf (a), huruf (g) dan huruf (j).

Apalagi, banyak ketentuan-ketentuan dalam PP gambut yang bertentangan dengan ketentuan lain. Sebut saja Keputusan Presiden No.32 tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung, pasal 10, yang menyatakan “Kriteria kawasan bergambut adalah tanah bergambut dengan ketebalan 3 meter atau lebih yang terdapat di bagian hulu sungai dan rawa”.

Demikian juga dengan yang tercantum dalam PP No.26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional, Pasal 55, yang menegaskan bahwa “Kawasan bergambut ditetapkan dengan kriteria ketebalan gambut 3 (tiga) meter atau lebih yang terdapat di hulu sungai atau rawa”.

Atas dasar itulah, APHI pun siap mengambil langkah hukum. Menurut Nana, saat ini pihaknya sedang mengumpulkan materi untuk mengajukan uji materi ke Mahkamah Agung. “Gugatan uji materi sudah kami siapkan,” kata dia.

Sementara Rusli menyatakan, pelaku usaha perlu juga melapor kepada Ombudsman Republik Indonesia. Menurut Rusli, adalah pelanggaran penyelenggaraan pelayanan publik yang dilakukan pemerintah dalam penyusunan PP gambut. Sugiharto