- Publik di tanah air sempat heboh dengan laporan tentang Pulau Pejantan yang dipublikasikan Institute of Critical Zoologist (ICZ) dan ditayangkan pada laman www.criticalzooloist.org. Bagaimana tidak, laporan yang dibuat oleh tim peneliti yang dipimpin Dr Darrel Covman mengungkap, ditemukannya 350 spesies keanekaragaman hayati baru di Pulau Pejantan.
Dr Darrel merupakan Manajer Proyek Komite Ilmiah Sistem Informasi Keanekaragaman Hayati Pasific Research Island. Dia menuliskan bahwa hampir 50 spesies baru tersebut adalah untuk zoologi. Di Pulau Pejantan terdapat banyak hal kompleks untuk semua kelompok organisme hidup. Di antaranya ada serangga yang hidup langsung dari deposit tercurah mineral ‘black geyser’ dan jenis burung yang sangat bergantung pada kabut pagi di pulau tersebut. Disebutnya mineral ‘black geyser’ membuat laporan tersebut semakin menarik perhatian publik.
Merespons kehebohan tersebut, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya memberi arahan dilakukannya eksplorasi Pulau Pejantan. Arahan tersebut ditindaklanjuti Badan Litbang dan Inovasi Kementerian LHK dengan membentuk Tim Kajian Keanekaragaman Hayati di Pulau Pejantan. Tim dibentuk berdasarkan Surat Keputusan Kepala BLI No. SK. 5/Litbang/P3H/REN.2/1/2017, pada 23 Januari 2017.
Untuk tahu lebih banyak bagaimana eksplorasi Pulau Pejantan dan hasilnya, berikut petikan wawancara Agro Indonesia dengan Dr Ir Hendra Gunawan, Peneliti Utama BLI Kementerian LHK yang menjadi Ketua Tim Ekspedisi Pulau Pejantan.
Bisa diceritakan latar belakang mengapa ekspedisi ini dilakukan?
Ya ekspedisi ini dilakukan tidak lepas dari apa yang dipublikasikan oleh Institute of Critical Zoologist (ICZ) dan tayangkan pada laman www.criticalzooloist.org. Hasil penelitian tim peneliti yang dipimpin Dr Darrel Covman mengungkap ada 350 spesies keanekaragaman hayati baru di Pulau Pejantan. Informasi ini kemudian ramai diberitakan. Kami berangkat, melakukan eksplorasi ke sana pada akhir Januari lalu. Kami amati, catat, dokumentasikan, dan koleksi spesimen yang ada. Untuk menyiasati keterbatasan waktu, kami juga melakukan wawancara mendalam dengan masyarakat setempat.
Informasinya kan banyak spesies baru di sana. Kesannya lokasi Pulau Pejantan sangat terpencil dan tidak terjamah. Sebenarnya, bagaimana kondisinya?
Pulau Pejantan ini sebenarnya bagian dari Provinsi Kepulauan Riau, Kabupaten Bintan. Tapi lokasinya dekat dengan Kalimantan. Di sana ada penduduknya. Sekitar 40 orang. Juga ada kelas jauh, meski hanya sampai kelas 3. Luas pulaunya sendiri sekitar 900 hektare.
Memang lokasinya cukup jauh. Tim kami melakukan perjalanan cukup panjang sekitar dua hari perjalanan. Dari Jakarta, kami naik pesawat menuju Tanjung Pinang, kemudian kami naik kapal sabuk nusantara menuju Pulau Tambelan. Dari situ lanjut dengan kapal motor Taurus menuju Pulau Mentebung. Ini empat jam di laut. Kemudian dilanjutkan empat jam lagi menuju Pulau Pejantan. Masih lanjut lagi naik perahu kecil sebelum sampai di Pulau Pejantan.
Perjalanannya cukup menantang. Apalagi sempat ada larangan untuk berlayar karena cuaca buruk. Satu orang wartawan yang ikut dalam ekspedisi akhirnya memutuskan mundur karena nggak kuat.
Bagaimana hasil eksplorasi yang dilakukan?
Kami mengidentifikasi ada beberapa ekosistem yang ada di Pulau pejantan. Yaitu ekosistem mangrove. Tidak luas, hanya sekitar 100 meter. Ini menunjukan bahwa di Pulau Pejantan ada aliran air tawar. Di ekosistem itu hidup jenis mangrove seperti bruguiera, rhizophora dan ada juga nipah
Kemudian di belakang ekosistem mangrove ada ekosistem hutan pantai. Di sana tumbuh bintaro, nyamplung, bungun, pongamia ketapang, waru laut, pandan laut, dan bakung. Di hutan pantai ini sebagian juga sudah ditanami kelapa oleh penduduk setempat.
Kemudian di belakang hutan pantai ada ekosistem hutan hujan dataran rendah yang membentang hingga puncak bukit. Di sini kami temukan banyak pohon jenis Dipterocarpaceae, yang justru sangat banyak ditemukan di Kalimantan.
Relatif sama dengan Pulau lain di Indonesia ya?
Nah yang menarik, kami juga identifikasi adanya habitat unik di batu granit. Selama 22 tahun saya menjadi peneliti, baru ini menemukan ekosistem seperti ini. kalau yang sudah ada kan ekosistem di atas batu kapur, yaitu ekosistem karst. Ini batu granit. Ini unik. Sebab biasanya pohon bersimbiosis dengan mikoriza. Nah, mikoriza apa yang tahan di batu granit. Ini perlu penelitian khusus.
Pada ekosistem hutan dataran rendah, kami juga temukan kayu hitam, yang berbeda dengan yang ada di Sulawesi. Bisa jadi bisa jadi jenis dipterocarpaceae itu adalah spesies baru yang belum tercatat.
Ada juga ekosistem goa, dan ekosistem terumbu karang. Sebagian terumbu karang memang ada yang dirusak karena bom. Tapi sebagian besar masih bagus. Menurut Informasi banyak orang asing melancong ke situ di bulan November Desember.
Bagaimana dengan satwanya?
Satwanya dengan waktu yang terbatas tak banyak kami temukan. Tapi ada indikasi jenis baru. Ada jenis macaca fascicularis, tapi di sana rambutnya lebih putih, mirip hanoman. Kemudian kami temukan tupai tiga warna, sama seperti tupai tiga warna Kalimantan. Tapi tupai tiga warna ini sepertinya spesies baru, karena saya cari di literatur tidak ada yang sama.
Ada juga kalong yang setelah kami identifikasi tidak ketemu yang sama. Bisa jadi spesies atau sub spesies baru. Untuk spesies baru ini butuh penelitian lanjutan. Prosesnya panjang, bisa dua tahun sebelum dideklarasikan.
Untuk burung, tak banyak yang kami temukan. Tapi ada spesies unik, kuau kerdil. Spesies ini melakukan ritual menari-nari untuk membersihkan areal sebelum kawin. Ada juga merpati putih yang perlu diperdalam lagi.
Sejumlah reptil juga kami temukan. Sebab mereka adalah pionir dalam evolusi suksesi.
Apa kesimpulan awal dari ekspedisi yang dilakukan?
Untuk mineral black geyser tidak kami temukan. Tapi Pulau Pejantan ini memang memiliki ekosistem unik. Yaitu batu granit yang tidak ada di tempat lain. Ada juga indikasi spesies baru. Perlu penelitian lanjutan untuk memastikan.
Kawasan ini perlu dilindungi atau dikonservasi. Bisa menjadi kawasan konservasi untuk wisata, berupa Taman Wisata Alam sehingga pemerintah daerah bisa mendapat pemasukan dari sana. Bisa juga menjadi kawasan ekosistem esensial. Yaitu kawasan bernilai konservasi tinggi tapi di luar kawasan hutan. Perlu dipelajari lebih lanjut lagi.
Sugiharto