Kebijakan pengelolaan dan perlindungan gambut yang diusung Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya banyak menuai kritik. Tak hanya kalangan bisnis, kebijakan perempuan yang lahir dari keluarga Betawi asli 28 Juli 1956 itu menuai kritik dari kalangan pekerja, akademisi, bahkan pejabat kepala daerah.
Meski demikian, Menteri yang yang menjadi perempuan pertama yang menjabat sebagai menteri baik di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kementerian Kehutanan (sebelum kemudian dilebur menjadi Kementerian LH dan Kehutanan) itu bergeming.
Menteri lulusan IPB dan International Institute for Aerospace Survey and Earth Sciences (ITC), Enschede, Belanda itu menyatakan, tak ada sasaran lain dari kebijakan pengelolaan dan perlindungan gambut selain mencegah kebakaran hutan dan lahan.
“Saya terus terang tidak ke sana ke sini mikirnya kecuali jangan sampai kebakaran lagi,” tukas dia.
Seperti diketahui, pasca diterbitkannya Peraturan Pemerintah (PP) No 57/2016 tentang Perubahan PP No 71 tahun 2014 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut (PP Gambut). Menteri Nurbaya melansir paket kebijakan yang terdiri atas beberapa Peraturan Menteri (permen) LHK. Yaitu Permen LHK No P.14/2017 tentang Tata Cara Inventarisasi dan Penetapan Fungsi Ekosistem Gambut, Permen LHK No P.15/2017 tentang Pedoman Teknis Pemulihan Fungsi Ekosistem Gambut, Permen LHK No P.16/2017 tentang Tata Cara Pengukuran Muka Air Tanah di Titik Penaatan Ekosistem Gambut, dan Permen LHK No P.17/2017 tentang Perubahan Permen LHK No P.12/2015 tentang Pembangunan Hutan Tanaman Industri (HTI).
Ada juga dua surat keputusan tentang peta Kawasan Hidrologis Gambut (KHG) Nasional dan Peta Fungsi Ekosistem Gambut Nasional. Terbaru, Menteri LHK sudah menekan Permen LHK No P.40/20017 tentang Fasilitasi Pemerintah pada Usaha Hutan Tanaman Industri (HTI) dalam Rangka Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut pada 4 Juli 2017.
Menteri yang punya karir birokrasi panjang dan cemerlang dan sempat menjadi Sekjen Depdagri (2001-2005) dan Sekjen DPD RI (2006-2013) itu menjelaskan, meski berdasarkan kebijakan pengelolaan dan perlindungan gambut, pemegang izin tak lagi bisa melakukan kegiatan budidaya pada kawasan gambut dengan fungsi lindung, namun kebijakan itu tidak ditujukan untuk mematikan bisnis yang beroperasi di lahan gambut. Itu sebabnya ada solusi yang ditawarkan dari kebijakan yang diterapkan.
Khusus untuk usaha Hutan Tanaman Industri (HTI), ditawarkan lahan pengganti jika ternyata 40% dari luas izin yang dialokasikan untuk tanaman pokok, ternyata masuk dalam Fungsi Lindung Ekosistem Gambut. Dengan kebijakan ini, maka kekhawatiran akan terjadinya shortage bahan baku kayu untuk industri pengolahan di tanah air bisa ditepis.
Untuk tahu lebih detil tentang kebijakan pengelolaan dan perlindungan gambut serta lahan pengganti, berikut petikan wawancara Agro Indonesia dengan Menteri yang saat bertugas lebih gemar memakai sepatu kets ketimbang sepatu formal itu, Rabu (12/7/2017) lalu.
Bu Menteri, bisa dijelaskan tentang Permen LHK No P.40/2017 tentang lahan pengganti?
Itu sudah nggak ada masalah. Itu bagian dari suatu proses penata kelola gambut. Dari kebakaran yang terjadi tahun 2013 kemudian muncul PP 71/2015. Tapi kemudian terjadi kebakaran besar tahun 2015. Tidak boleh ada yang mengaku di arealnya tidak kebakaran. Pada faktanya ada kebakaran. Kami punya semua datanya lengkap.
Nah, Permen 40 ini adalah bagian akhir dari dari upaya kami untuk tata kelola gambut.
Ketika sebuah konsesi akan melakukan pekerjaan, kan ada RKT (Rencana Kerja Tahunan). Itu tak bisa jalan kalau nggak ada RKU (Rencana Kerja Umum 10 tahun). Kami sudah cek supaya tidak ada salah fungsi gambut. Untuk itu bisa dilakukan rotasi tanam. Tanaman tahun ketiga ditarik ke sekarang, tanaman tahun keempat di tarik untuk tahun besok. Berarti ada kemungkinan di tahun ke 5-6 ada masalah. Makanya kami tawarkan lahan pengganti.
Apakah itu satu-satunya yang ditawarkan?
Sebetulnya tidak sendirian juga. Ada bagian lain. Mediasi areal konflik misalnya. HTI kita itu ternyata cukup besar juga yang terkena konflik sehingga tidak efektif kepakainya. Pemerintah turun. Fasilitasi dalam rangka penataan gambut. Jadi areal yang nggak efektif dimediasi, dibantu oleh pemerintah. Kami mobilisasi juga. Susah kalau konflik dengan rakyat mereka harus menyelesaikan sendirian. Atau konflik rakyat dengan pemda, HTI dengan pemda, ada juga rakyat sama rakyat. Nah pemerintah turun. Ada fasilitasi, ada mobilisasi pemerintah untuk bantu selesaikan konflik.
Contohnya Bu?
Dalam konflik itu misalnya di areal PT MHP, Sumatera Selatan. Sangat banyak yang sudah ada kampung dan besar. Maka dengan segala yang mereka sudah tanam, perhutanan sosialnya harus dilakukan. Supaya kontinyu dan menjadi unit ekonomi dan rakyatnya produktif. Perusahaan bisa menjadi off taker-nya.
Tapi ini kan harus diatur. Nanti diatur ulang seperti apa hubungan perusahaan dengan orang-orang yang ada di situ.
Ini sebetulnya bukan langkah baru. Bukan mengada-ada. Tapi pemerintah ingin membantu, baik kepada HTI-nya untuk selesaikan persoalan dia. Supaya ayem juga baik kepada masyarakat di situ maupun kepada ekonomi kita. Jadi kalau ada tuduhan, nanti jadi rusak, ekonomi hancur menurut saya tidak relevan. Betul-betul harus dilihat spotnya.
Masih banyak yang mempertanyakan soal lahan pengganti, bagaimana pendapat Ibu?
Lahan pengganti opsi terakhir kalau dia masih punya kesulitan, dia betul-betul butuh areal untuk tanaman pokok, yang menggantikan fungsi lindung. Ini kami harus carikan tanah mineral. Di sekitar situ atau mana yang paling dekat. Jangan bilang sama saya sekarang mana tanahnya? Ada atau tidak? Tidak boleh! Lihat dulu aja bareng. Duduk, bareng lihat petanya mana? Jangan teriak-teriak dulu mana? Verifikasi dulu. Jaminan apa? Sama-sama duduk kita mesti selesaikan sama-sama. Jadi harus adil juga.
Semua harus benar-benar melihat kita punya sasaran apa? Sasaran saya terus terang tidak ke sana-ke sini mikirnya kecuali jangan sampai kebakaran lagi.
Kita rapatkan barisan jangan ada kebakaran lagi. Ini instrumen penting untuk sampai ke situ. Kalau kita kerja keras jangan ada kebakaran lagi, tapi merasa ah saya nggak apa kok, faktanya kebakaran siapa yang tanggung? Kan pemerintah, kita semua, rakyat nomor satu kenanya. Jadi saya kira harusnya jangan dicari-cari. Sama-sama lihat. Orang diajak duduk bareng kok nggak mau. Bagaimana?
Apakah saat ini sudah ada gambaran seberapa luas lahan pengganti yang diperlukan?
Total luasnya 902.000-an hektare. Lahan mineral yang sebagai pengganti 1 juta.
Sudah simulasi. Ini kenapa kami berani melangkah terus satu-satu. Kami tidak serabutan. Pemerintah sistematis. Ada 99 (HTI) yang kena (lahan tanaman pokok masuk fungsi lindung). Diantara itu 3 dicabut, 96 lainnya kami asistensi. Berapa yang dibutuhkan, sepertinya nggak sampai 20% yang perlu di bawah 10.000 hektare. Ada beberapa yang di atas 45.000 hektare.
Soal masih ada yang ragu Bu?
Siapa bilang akan ada masalah. Kan dirotasi, pindah-pindah. Tinggal yang ujungnya. Tahu nggak, saya sedih banget. Waktu masih umum, orang udah ngomong macam-macam. Nggak adil jadinya. Kekuatan HTI menanam juga ketahuan hanya 13.000 hektare per tahun. Di dalamnya apa saja, kami tahu sekarang.
Semua harus diselamatkan . Yang harus menjadi pegangan adalah pemerintah pasti memikirkan semua kepentingan. Mana ada pemerintah mau membunuh binis? Nggak akan ada. Pasti sudah dipikirkan. Tapi bagaimana melangkah di lapangan.
Tahun ini sudah ada lahan pengganti yang akan diberikan?
Saya minta pemberian izin. Catat ya, bukan permohonan. Pemberian izin jangan sampai dua bulan. Prosesnya setelah pengesahan revisi RKU Boleh ajukan untuk lahan pengganti.
Waktu pengesahan RKU ada asistensi. Kami asistensi di situ, ketahuan mau dipain. Makanya dalam dua bulan, saya minta sudah ada Surat Keputusan. Sugiharto