Menjaga Benteng Habitat Anggrek Hitam

Tanaman kelapa sawit mulai mengepung Desa Kasturi, Kecamatan Mandor, Kabupaten Landak, Kalimantan Barat. Di sisi lain, ada lubang-lubang sisa pertambangan emas tanpa izin (PETI) menganga.

Itulah keadaan di sekitar Cagar Alam Mandor. Bahkan, cagar alam seluas 3.080 hektare itu pun tak luput dari jarahan pelaku tambang tanpa izin. Padahal, cagar alam yang pertama kali disahkan oleh pemerintahan Hindia Belanda pada tahun 1936 itu adalah rumah bagi berbagai jenis flora asli Kalimantan, khususnya anggrek alam.

Di sana tumbuh setidaknya 15 jenis anggrek. Termasuk anggrek hitam (Cologyne pandurata) yang dilindungi dan anggrek tebu (Gramotophyllum grama) yang merupakan anggrek terbesar diantara jenis-jenis anggrek.

Selain kekayaan flora, cagar alam Mandor juga menjadi rumah bagi sejumlah satwa langka, termasuk beruang madu (Herlactos malayanus), Kelempiau (Hylobates agilis),  Binturong (Arctictis binturong), dan tentu saja satwa yang menginspirasi nama kabupaten Landak, yaitu landak (Hysterix branchyura).

Dekan Fakultas Kehutanan Universitas Tanjungpura (Untan), Pontianak, Gusti Hardiansyah menyatakan, cagar alam mandor juga dilaporkan adanya orangutan (Pongo pygmaeus). “Keberadaan cagar alam Mandor tentu saja perlu dijaga,” kata dia,

Untungnya Untan mengelola hutan pendidikan dan latihan (diklat), persis di bibir Cagar Alam Mandor. Keberadaan hutan diklat Untan bisa menjadi benteng alami untuk mengurangi tekanan terhadap cagar alam Mandor.

Apalagi, Gusti menjelaskan, tutupan vegetasi di hutan diklat Untan masih sangat baik. Lokasi tersebut sebelumnya pernah menjadi tempat pelaksanakan proyek Pembangunan Model Unit Manajemen HUtan Meranti (PMUMHM). “Ada laporan keberadaan orangutan di hutan diklat. Ini adalah bukti bahwa hutan ini kondisinya cukup baik. Bahkan, hutan diklat Untan sedang dikaji sebagai lokasi pelepasliasan orangutan hasil rehabilitasi,” katanya.

Hutan diklat Untan memiliki luas 19.662 hektare. Statusnya adalah Kawasan Hutan Dengan Tujuan Khusus (KHDTK) yang ditetapkan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan melalui Surat keputusan (SK) No 656 tahun 2016 yang diteken Menteri Siti Nurbaya 26 Agustus 2016.

Fungsi kawasan hutan tersebut didominasi Hutan Produksi dengan 60% arealnya berupa lahan gambut. Secara administratif, hutan diklat itu berada di tiga kabupaten, yaitu Landak, Mempawah, dan Kubu Raya. Meski demikian, jika dilihat secara bentang alam, maka kawasan hutan tersebut merupakan satu kesatuan bentang alam Kubu Raya.

Gusti menjelaskan, hutan diklat Untan diharapkan bisa menjadi sarana untuk mengimplementasikan dan mengembangkan ilmu pengetahuan secara komperehensif dan kompetitif. Hutan diklat tersebut adalah peluang sebagai wadah pendidikan, latihan, dan praktik penelitian bagi mahasiswa, dosen atau pemangku kepentingan lain.

“Keberadaan hutan diklat Untan ini kami harap bisa membawa manfaat positif bagi kualitas lulusan Untan,” kata Gusti.

Selain soal akademis, hutan diklat tersebut, lanjut Gusti, diharapkan bisa mendukung perekonomian, khususnya di tingkat lokal. Dia menjelaskan, hutan diklat Untan bisa dimanfaatkan sebagai sumber plasma nutfah. Hutan tersebut juga akan dikembangkan untuk kegiatan ekowisata.

Selain itu, hutan diklat Untan juga bisa dimanfaatkan untuk memperoleh berbagaoi hasil hutan non kayu seperti madu, tengkawang, sarang burung walet, dan rotan. “Hutan diklat ini juga akan kami kelola dengan pola agroforestry yang melibatkan masyarakat,” katanya.

Kemiri Sunan

Salah satu pemanfaatan yang sedang digarap adalah pengembangan kemiri sunan (Aleurites trisperma Blanco). Pengembangan kemisi sunan selain bertujuan untuk merehabilitasi lahan yang terbuka, juga diharapkan mendukung mendukung pengembangan energi terbarukan.

Penanaman perdana kemiri sunan di hutan diklat Untan dilakukan Senin (31/7/2017). Hadir dalam kesempatan tersebut Ketua Dewan Pertimbangan Pengendalian Perubahan Iklim (DPPI) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Sarwono Kusumaatmadja, Gubernur Kalbar Cornelis, Bupati Landak Karolin Margret Natasa dan Staf Ahli Menteri LHK bidang Ekonomi Sumber Daya Alam Agus Justianto.

Penanaman kemiri sunan  dilakukan di areal seluas 4 hektare pada titik yang terdegradasi. Kegiatan penanaman tersebut didukung oleh Yayasan Belantara

Sarwono menyambut baik penanaman kemiri sunan di hutan diklat Untan. Dia menjelaskan, saat ini negosiasi pengendalian perubahan iklim terus berlangsung di forum internasional. Meski demikian, kita tidak boleh menunggu negosiasi tuntas dan harus mengambil peran dalam upaya pengendalian perubahan iklim.

“Penanaman pohon yang melibatkan masyarakat adalah contoh bagus aksi di tingkat lokal yang berdampak global. Ini harus kita teruskan,” katanya.

Sarwono menyatakan, penanaman yang dilakukan masyarakat Indonesia saat ini akan berdampak 5-6 tahun ke depan. Pada saat itu, dunia global akan memberi pengakuan atas upaya yang dilakukan Indonesia.

Sementara itu Agus Justianto menjelaskan, pasca Persetujuan Paris, Indonesia telah mencangkan pengurangan emisi gas rumah kaca (GRK) sebanyak 29% pada 2030 mendatang atau 41% dengan dukungan pemangku pihak internasional. Untuk itu upaya-upaya terkait pengurangan dan penyerapan emisi GRK perlu terus dilakukan.

Di sisi lain, Indonesia juga memiliki target untuk meningkatkan bauran energi terbarukan sebesar 23% pada 2025 mendatang. Padahal, saat ini bauran energi terbarukan baru berkisar 5%-6%. “Pengembangan kemiri sunan bisa menjawab dua kebutuhan tersebut,” kata Agus.

Dalam kesempatan tersebut, Gubernur Cornelis menegaskan komitmen pihaknya untuk mendukung upaya pengendalian perubahan iklim. Dia menegaskan Kalbar merupakan salah satu Provinsi di Indonesia yang aktif dalam kegiatan Reducing Emission from Deforestation and Degradation Plus (REDD+).

Diantara aktivtas dukungan tersebut adalah keterlibatan pada Governors Climate Forum (GCF) yang merupakan satuan tugas iklim dan hutan, kolaborasi subnasional antara 26 negara bagian, provinsi dan kawasan di delapan negara yang berupaya melindungi hutan tropis, serta mengurangi emisi dari deforestasi dan degradasi hutan.

Penasehat Yayasan Belantara Tachrir Fathoni mengungkapkan, tanaman kemiri sunan layak dilirik karena bisa ditanam di lahan marjinal penanaman di KHDT yang dikelola Untan dilakukan di lahan gambut.

Biji kemiri sunan dapat diolah untuk menghasilkan minyak sebagai bahan baku biodisel. Hasil penelitian di Sukabumi mengungkapkan, dari sisi produktivitas minyak, kemiri sunan lebih baik dari tanaman penghasil minyak nabati lain, seperti sawit, jarak pagar atau nyamplung. Kemiri sunan sudah mulai berbuah sejak umur 4 tahun dan mulai mencapai puncak berbuah pada umur 8 tahun.

Produktivitas biji kemiri sunan bisa berkisar 50-300 kilogram (kg) per pohon per tahun. Sementara rendemen minyak kasar yang dihasilkan bisa mencapai 52% yang mampu diolah menjadi biodisel hingga 88% dan sisanya berupa gliserol. Perhitungan yang dilakukan Kementerian Pertanian, setiap hektare kemiri sunan dengan 100-150 pohon, bisa menghasilkan 6-8 ton biodisel per tahun, sehingga bisa mengurangi ketergantungan kepada pada bahan bakar fosil yang melepas emisi GRK dalam jumlah besar. Sugiharto