Norwegia Bayar Penurunan Deforestasi RI

Norwegia akhirnya sepakat membayar kinerja penurunan emisi gas rumah kaca (GRK), yang dilakukan Indonesia dengan cara mengorbankan peluang ekonomi di lahan hutan primer dan gambut. Namun, harga yang diberikan dinilai terlalu rendah, hanya 5 dolar AS/ton setara karbon dioksida (CO2eq). Perlu negosiasi ulang dan tidak menggunakan Bank Dunia sebagai harga rujukan.

Setelah berjuang keras dan “membuang” peluang ekonomi di lahan hutan primer dan gambut, Indonesia harus rela menerima kompensasi penurunan emisi GRK dari deforestasi dan degradasi hutan lewat skema REDD+ — yang diteken dengan Norwegia 10 tahun silam –sebesar 56 juta dolar AS. Ini pembayaran berbasis kinerja (result based payment/RBP) perdana dari komitmen Norwegia senilai 1 miliar dolar AS, yang tinggal tersisa 800 juta dolar AS karena sudah terpakai 200 juta dolar AS pada fase persiapan.

Baca juga: Ternyata, Norwegia Sempat Minta Diskon

Nilai itu diperoleh dari penghitungan penurunan GRK sebanyak 11,2 juta ton CO2eq. Awalnya, penurunan GRK Indonesia dihitung hanya 4,8 juta ton setara CO2. Tapi setelah diverifikasi lembaga independen asal Spanyol dan dilakukan perbaikan metodologi, bertambah jadi 11,2 juta ton CO2eq. Sayangnya, harga CO2 hanya dibandrol 5 dolar AS/ton, mengacu pada harga REDD+ yang dibuat Bank Dunia.

“Kesepakatannya seperti itu,” ujar Dirjen Pengendalian Perubahan Iklim Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Ruandha Agung Sugardiman, ketika dihubungi, Jumat (12/6/2020).

Bahkan, Norwegia juga terkesan tidak tulus. Menurut Ruandha, saat pembahasan MRV (Measuring, Reporting, and Verification), terjadi tarik-ulur hingga tertunda sampai setahun. Norwegia ternyata ngotot minta diskon terhadap capaian penurunan emisi GRK Indonesia. Alasannya menyakitkan. Akurasi data Indonesia dinilai rendah. Hanya “Dengan negosiasi yang cukup keras, akhirnya bisa disepakati,” papar Ruandha.

Baca juga: Harga Karbon Indonesia Terlalu Murah

Namun, pakar Manajemen Risiko Iklim, Adaptasi dan Mitigasi Perubahan Iklim, yang juga guru besar klimatologi IPB, Prof. Rizaldi Boer meminta pemerintah menegosiasi ulang harga CO2 yang dibayar Norwegia. “Norwegia seharusnya memberi harga lebih tinggi,” kata Rizaldi, Jumat (12/6/2020), seraya mengingatkan besarnya tantangan Indonesia dalam menurunkan laju deforestasi dan degradasi hutan secara signifikan. Dia juga meminta agar harga Bank Dunia tidak dijadikan patokan. Apalagi, kenyataannya, Bank Dunia juga menjual karbon ke pasar dengan harga sampai 8 dolar AS/ton CO2eq. Jadi, tegasnya, angka itu bisa dinegosiasikan lagi. AI

Selengkapnya baca: Tabloid Agro Indonesia, Edisi No. 768 (16-22 Juni 2020)