Off Taker dalam Perhutanan Sosial

Hasil hutan bukan kayu produksi perhutanan sosial
Pramono DS

Oleh:  Pramono DS (Pensiunan Rimbawan)

Peraturan pemerintah (PP) No.23/2021 tentang penyelenggaraan kehutanan pasal 203 menyebut bahwa pemanfaatan hutan melalui pengelolaan perhutanan sosial di dalam kawasan hutan negara dan hutan Adat dilaksanakan untuk mewujudkan kelestarian hutan, kesejahteraan masyarakat, keseimbangan lingkungan, dan menampung dinamika sosial budaya, diperlukan pemberian persetujuan, pengakuan, dan peningkatan kapasitas kepada masyarakat.

Untuk mewujudkan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat dalam kegiatan perhutanan sosial, masyarakat yang berhimpun dalam kelompok tani hutan (KTH) pemegang persetujuan pengelolaan perhutanan sosial diberikan kesempatan untuk melaksanakan kegiatan pengembangan usaha.

Itulah sebabnya maka Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), kelompok tanai hutan (KTH) yang mengelola kegiatan perhutanan sosial menyebut kelompok tersebut menjadi kelompok usaha perhutanan sosial (KUPS).

Pengembangan usaha perhutanan sosial yang dimaksud meliputi a) pemanfaatan kawasan; b) pemanfaatan jasa lingkungan; c) pemanfaatan hasil hutan kayu dan/atau pemungutan hasil hutan kayu; dan d) pemanfaatan hasil hutan bukan kayu dan/atau pemungutan hasil hutan bukan kayu.

Pengembangan usaha pengelolaan perhutanan sosial dapat dilakukan secara mandiri oleh pemegang persetujuan pengelolaan perhutanan sosial dan/atau bekerja sama dengan para pihak.

KUPS harus berhasil tidak hanya dalam kelola kawasan hutan yang menjadi tanggungjawabnya, tetapi juga kelola kelembagaan sebagai suatu komunitas kelompok dan yang lebih penting lagi untuk meningkatkan kesejahteraan para anggota kelompoknya adalah berhasil dalam kelola usahanya.

Kelola usaha yang dimaksud di sini adalah membangun dan mengembangkan jejaring dan kemitraan dalam rangka memasarkan produk produk dari pengelolaan perhutanan sosial. Selama ini, masalah krusial yang dihadapi oleh kelompok tani rumpun pertanian adalah kendala dalam memasarkan produk-produk komoditas yang dihasilkan.

Untuk meningkatkan dan memperbesar usahanya, pemerintah menyanggupi mengucurkan kredit murah melalui kredit usaha rakyat (KUR) dengan bunga rendah melalui bank-bank pemerintah dengan syarat adanya keterlibatan “off taker”  baik dari BUMN maupun pihak swasta yang sanggup menjadi penjamin (avalis).

Demikian juga yang terjadi dalam kegiatan perhutanan sosial masalah off taker merupakan salah satu kendala terbesar dalam pengembangan kegiatan perhutanan sosial.

Posisi Off Taker

Peran off taker dalam perhutanan sosial nampak dari kegiatan perhutanan yang telah melakukan kegiatan kelola usaha yang lengkap yakni kelola kawasan, kelola kelembagaan dan kelola usaha. Dari aspek klasifikasi indikator keberhasilan KUPS masuk dalam kategori kelas  maju (gold) dan katagori mandiri (platinium).

Masalahnya adalah KUPS yang masuk dalam kategori maju dan mandiri jumlahnya relatif masih rendah (kurang dari 10%).  Menurut hasil penilaian yang dilakukan oleh Ditjen Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan (PSKL)  KLHK dari 5.208 KUPS (81,23 % dari total 6.411 KUPS) , baru 48 KUPS (0,92%) yang benar-benar mandiri/platinum. Sisanya,  433 (8,31%) ada di tahap maju (emas/gold), 1.286 (24,69%) di tahap moderat (silver/perak), dan yang terbanyak 3.441 (66,07%) masih di tahap awal (biru).

Ini artinya bahwa  dari total KUPS 5.208 unit kelompok, yang membutuhkan peran off taker hanya sekitar 461 unit KUPS saja atau 9,22% saja. Padahal menurut Menteri LHK, hingga akhir Desember 2020, jumlah KUPS yang telah terbentuk sebanyak 7.408 KUPS dengan realisasi lahan hutan yang distribusikan seluas 4,7 juta ha.

Dengan berbagai strategi percepatan, diharapkan sampai akhir tahun 2024 sisa lahan hutan seluas 8 juta ha dapat di distribusikan kembali kepada KTH sehingga total KUPS nanti dapat mencapai 45.500 unit KUPS.

Selain distribusi akses dan pembentukan KUPS, tantangan juga pada program kenaikan kelas KUPS pada setiap tahunnya. Masalah kenaikan kelas KUPS ini, sejalan dengan jumlahnya penyuluh kehutanan dan tenaga pendamping kegiatan perhutanan sosial yang jumlahnya sangat terbatas.

Pada saat ini di 6.725 lokasi perhutanan sosial, telah memiliki 1.250 pendamping. Dengan cara apapun, cepat atau lambat tenaga penyuluh kehutanan/tenaga pendamping harus dapat dipenuhi penambahan jumlahnya. Syukur syukur satu lokasi satu penyuluh/tenaga pendamping, kalau ingin katagori KUPS cepat naik kelas sesuai dengan yang diharapkan.

Kondisi Off Taker yang Diharapkan

Meskipun off taker mempunyai peran strategis dan penting dalam pengembangan kelola usaha kegiatan KUPS, namun faktanya hingga hari ini faktanya off taker belum memberikan peran yang signifikan kepada KUPS.

Berdasarkan data yang dapat dikumpulkan dari berbagai sumber, ternyata peran off taker dalam kegiatan KUPS belum banyak dan masih terbatas dalam wilayah KUPS yang berada di Pulau Jawa dan Bali.

Sebagai contoh dilaporkan bahwa pada tahun 2017, Dirjen PSKL KLHK menyebutkan bahwa tiga BUMN dan sejumlah perusahaan lokal segera MoU dengan pemegang Izin Pemanfaatan Hutan Perhutanan Sosial (IPHPS) sebagai off taker.  Tiga BUMN diantaranya PTPN yang akan menyerap tembakau dan tebu dan Bulog akan menyerap padi dan jagung dari IPHPS di Probolinggo. Selain itu, Perindo untuk tambak udang di IPHPS Muara Gembong, Bekasi. Selebihnya adalah janji pemerintah untuk memfasilitasi adanya off taker baik dari BUMN ataupun pihak swasta. Kenapa demikian ?

Sampai saat ini, KUPS yang terbentuk didominasi oleh tak kurang dari 60% KUPS dengan kategori yang paling rendah yakni KUPS tahap awal (blue), sementara KUPS yang siap dilayani oleh off taker (katagori maju (gold) dan mandiri (platinium)) kurang dari 10%. Ini membuktikan bahwa sinyalemen peran off taker belum banyak dan terbatas dalam kegiatan KUPS, ternyata benar adanya.

Untuk mendongkrak dan menaikkan kelas KUPS pemula (blue) menjadi KUPS yang siap dilayani off taker (setidak-tidaknya KUPS kelas maju (gold)) dibutuhkan dua tingkatan/level kenaikan kelas.

Untuk menilai kualitas KUPS diperlukan proses dan waktu. Dalam perjalanan waktu, posisi kelas KUPS ini dapat mengalami promosi (meningkat), stagnan (tetap), demosi (turun kelas) bahkan yang paling buruk bisa saja KUPS ini bubar. Dari indikator capaian proses pendampingan perhutanan sosial (PS) dalam buku dalam panduan pendampingan PS, proses naik kelas dari kelola kawasan kekelola kelembagaan diprediksi membutuhkan waktu minimal dua tahun.

Demikian juga, dari kelola kelembagaan kekelola usaha usaha juga membutuhkan waktu  2 (dua) sampai 5 (lima)  tahun. Kualitas PS dan kenaikan kelas KUPS, semata mata tidak tergantung dan ditentukan dari kemauan dan kemampuan pengurus dan anggota KUPS itu sendiri untuk maju, melainkan  juga tergantung dari kemampuan penyuluh kehutanan/pendamping PS dalam mendampingi PS dan kemampuan pemerintah dalam memfasilitasi PS. Penilaian kemampuan kelas KUPS dapat dilakukan secara berkala misalnya setiap dua atau tiga tahun sekali tergantung dari kebutuhan yang diinginkan.

Peran off taker dalam memfasilitasi KUPS akan nampak menonjol apabila KUPS yang akan difasilitasi dari total jumlah KUPS yang ada; setidak tidaknya lebih dari 50% KUPS telah masuk dalam katagori maju (gold).

Mungkinkah ini terjadi? Kita tunggu saja pada akhir tahun pemerintahan kedua Presiden Joko Widodo (2024), apabila target KUPS yang dibentuk akhir tahun 2024 mencapai 45.400 unit KUPS, maka harusnya lebih dari 22.700 unit KUPS masuk dalam katagori KUPS maju (gold). Itu harapannya. AI