Pedagang Enggan Serap OP Bulog

Meski kebanjiran beras impor jutaan ton, Perum Bulog tidak mampu menyalurkan beras dalam bentuk operasi pasar (OP). Padahal, harga beras di pasar masih jauh di atas harga eceran tertinggi (HET). Ada apa?

Kisruh impor beras yang mendadak menjadi 2 juta ton nampaknya masih akan berlanjut. Apalagi, program penyaluran beras untuk keluarga miskin (raskin) menyusut diganti dengan bantuan sosial tunai (e-money). Terbukti, Bulog keteteran menyalurkan stok beras yang saat ini melimpah di gudang sebanyak 2,4 juta ton. Mayoritas adalah beras eks impor.

Bayangkan, OP Bulog dari cadangan beras pemerintah (CBP) selama Agustus hanya laku 14.000 ton, dan untuk September sampai tanggal 27 juga hanya 14.000 ton. Padahal, Bulog punya target bisa melepas beras OP 15.000 ton/hari. Menurut Dirut Bulog, Budi Waseso (Buwas), hal itu terjadi karena pedagang masih punya stok banyak. “Harga beras di pasar masih ada yang di bawah harga beras OP,” ujar Buwas.

Benarkah? Bulog memang melepas beras OP-nya Rp8.100/kg untuk wilayah 1 (Jawa, Lampung, Sumsel, Bali, NTB, Sulawesi), Rp8.600/kg untuk wilayah 2 (Sumatera kecuali Lampung dan Sumsel, NTT, Kalimantan) serta Rp8.900/kg untuk wilayah 3 (Maluku, Papua). Harga itu jauh di bawah harga yang berlaku di Jakarta, misalnya. Data dari infopangan.jakarta.go.id, harga beras medium (IR 64-III dan II) masing-masing masih Rp9.412/kg dan Rp10.629/kg. Bahkan, harga beras medium IR 64-II di Pasar Induk Beras Cipinang (Sabtu, 29/9/2018) juga masih stabil tinggi di posisi Rp9.650/kg.

Loh, jadi apa masalahnya? Bukan harga, ternyata. Pedagang mitra Bulog, yang selama ini jadi sasaran OP Bulog, ogah membeli karena takut intervensi pemerintah. “Kita sebenarnya ingin sekali menyerap beras OP Bulog, namun karena besarnya intervensi dalam penjualan beras OP itu, pedagang tidak begitu bernafsu. Khawatir berurusan dengan hukum nantinya,” ujar Ketua Koperasi Pedagang Pasar Induk Cipinang (Koppic), Zulkifli Rasyid, Sabtu (29/9/2018).

Semuanya memang terkait dengan praktik lazim cari untung pedagang: mengoplos beras. Sementara, ada aturan labelisasi beras kemasan yang mewajibkan pencantuman varietas beras. “Dengan tidak bolehnya mengoplos beras, maka kami enggan menyerap beras Bulog karena takut berurusan dengan hukum,” paparnya.

Kekhawatiran ini memang beralasan. Itu sebabnya, Kementerian Perdagangan sudah menyurati Satgas Pangan Polri untuk tidak mengambil tindakan represif di lapangan terkait labelisasi kemasan beras (AgroIndonesia, No.695). Direktur Operasional dan Pelayanan Publik (OPP) Perum Bulog, Tri Wahyudi Saleh mengaku akan menyebar OP tidak semata pada mitra pedagang, tapi juga ke pasar-pasar dan tempat strategis. “Kami juga menggunakan sistem digitalisasi bulir.id sehingga beras dapat dipantau secara daring (online),” ujarnya. AI