Pembenahan Tata Kelola Demi Kelestarian Sawit

Deputi Bidang Pangan dan Pertanian Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Musdalifah Machmud (dua dari kanan) berfoto bersama Dirjen Pengendalian Perubahan Iklim KLHK Ruandha Agung Sugardiman (tiga dari kanan), Direktur Eksekutif Yayasan Kehati Riki Frindos (kiri), dan Senior Vice President Sustainability and Public Affairs Neste Corporation Simo Honkanen usai diskusi tentang kebun sawit berkelanjutan di Paviliun Indonesia pada Konferensi Perubahan Iklim (COP UNFCCC) ke 24 di Katowice, Polandia, Jumat (7/12/2018) siang waktu setempat.

Pembenahan tata kelola perkebunan sawit terus dilakukan di tanah air. Sejumlah kemajuan yang mulai dicapai memastikan konsumen global bisa terus menikmati minyak sawit lestari yang ramah iklim asal Indonesia.

Demikian mengemuka pada sesi diskusi panel yang digelar di Paviliun Indonesia pada Konferensi Perubahan Iklim (COP UNFCCC) ke 24 di Katowice, Polandia,  Jumat siang (7/12/2018) waktu setempat.

Deputi Bidang Pangan dan Pertanian Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Musdalifah Machmud mengungkapkan pentingnya minyak sawit untuk mendukung kesejahteraan rakyat dan pertumbuhan ekonomi nasional.

Saat ini,  katanya ada 4,2 juta tenaga kerja langsung dan 12 juta tenaga kerja tidak langsung yang terlibat di industri minyak sawit. “Sementara itu ada 2,4 juta usaha kebun rakyat yang melibatkan 4,6 juta individu petani,”  katanya.

Komoditas sawit juga memberi kontribusi signifikan bagi penerimaan negara.  Pada tahun 2016 nilai ekspor minyak sawit Indonesia mencapai 16,28 miliar dolar AS. Ini setara dengan 11,2% total ekspor nasional.

Musdalifah menuturkan, pemerintah Indonesia saat ini sedang membenahi tata kelola untuk mendukung produksi kelapa sawit berkelanjutan. Salah satunya dengan memperbaiki skema sertifikasi Indonesian Sustainable Pal Oil (ISPO) agar menjadi lebih transparan, akuntabel,  dan inklusif bagi petani.  Pemerintah, kata Musdalifah, menargetkan seluruh perkebunan di Indonesia tersertifikasi ISPO pada tahun 2025.

Untuk pembenahan, Presiden Joko Widodo telah menerbitkan Instruksi Presiden No 8 tahun 2018 soal moratoroum izin kebun sawit.  Ketentuan itu juga mengamanatkan untuk mengevaluasi seluruh izin kebin sawit yang ada saat ini.

Dirjen Pengendalian Perubahan Iklim Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Ruandha Agung Sugardiman menyatakan moratoium diharapkan bisa membenahi keberadaan kebun kelapa sawit di dalam kawasan hutan. Analisis citra satelit resolusi tinggi yang dilakukan mengungkap, ada 3,47 juta hektare kebun sawit diantara seluruh 126 juta hektare kawasan hutan Indonesia.

Ruandha menuturkan, verifikasi data dan evaluasi perizinan yang dilakukan KLHK akan berujung pada sejumlah keputusan. Selain mengembalikan lahan yang sudah dilepas kembali sebagai kawasan hutan, ada juga keputusan berupa penegakan hukum untuk aktivitas perambahan.

“Untuk penguasaan lahan hutan yang dilakukan rakyat, pemerintah menyediakan opsi perhutanan sosial dan reforma agraria,” kata Ruandha.

Direktur Eksekutif Yayasan Kehati Riki Frindos menekankan pentingnya studi lapangan untuk memastikan opsi yang disediakan bagi rakyat oleh pemerintah benar-benar diterima manfaatnya oleh rakyat. “Penyelesaian dengan pola reforma agraria bisa dilakukan untuk penguasaan lahan oleh rakyat dengan luas kurang dari 5 hektare,” kata Riki.

Saat ini Yayasan Kehati sedang melakukan ujicoba penyelesaian penguasaan lahan oleh rakyat di sejumlah Kampung. Keberhasilan yang dicapai bisa direplikasi di tempat lain.

Sementara itu Simo Honkanen Senior Vice President Sustainability and Public Affairs Neste Corporation, perusahaan penyulingan bahan bakar nabati global menyambut positif langkah-langkah perbaikan tata kelola kebun sawit yang dilakukan pemerintah. Langkah itu diharapkan bisa menjawab tantangan tentang kelestarian mnyak sawit Indonesia. “Langkah itu penting karena dunia sesungguhnya membutuhkan minyak sawit,” kata Simo merujuk produktivitas dan variasi produk dari minyak sawit. Sugiharto